LOGINtolong tinggalkan komen kalian ya, terimakasih.
Sore itu Reya masih di kantornya, terpaku pada layar laptop, memeriksa beberapa dokumen yang harus segera ia selesaikan.Ponselnya berdering. Reya mengernyit saat melihat nama yang berkedip di layar, Mr. Alex– konselor di sekolah Sky itu. Ini sudah lewat jam pulang sekolah. Ada apa?“Ya, selamat siang, Sir,” sapa Reya begitu ponsel menempel di telinganya. Di seberang, suara Mr. Alex terdengar hati-hati. “Ada hal penting yang harus saya sampaikan tentang Sky.”Deg. Perasaan Reya langsung tidak enak.“Ada apa, Sir?” tanyanya, pelan tapi tegang.“Sky memukuli temannya hingga pingsan, dan sekarang temannya sedang dibawa ke rumah sakit.”Reya bangkit dari kursinya seketika. Jantungnya bertalu. “Apa‒ tunggu! Sky … apa?” suara Reya gemetar.“Saya rasa anda harus segera ke sini.”Meski Mr. Alex jelas tidak akan melihatnya, Reya mengangguk cepat, panik. “Baik. Saya akan ke sana sekarang.”Telepon ditutup.Reya menyambar tas dan kunci mobilnya lalu meninggalkan ruangan dengan tergesa. Ia ba
Sky sudah cukup tenang.Bisik-bisik itu masih beredar. Tatapan aneh pun masih mengikutinya sepanjang pagi. Bahkan di kelas, dia berkali-kali memergoki teman-temannya menoleh ke arahnya. Tapi Sky belajar mengabaikannya. Tidak apa-apa. Dia bisa menahannya. Selama Elio, Lyra, Noah, dan Bian tetap berdiri di sisinya, semua itu bukan masalah besar.Pergantian jam terakhir berbunyi. Kelas Sky harus menuju laboratorium kimia. Elio dan Bian sudah lebih dulu keluar, disusul anak-anak lain. Sky masih di dalam kelas, merapikan buku-bukunya dengan gerakan pelan.Saat ia melangkah keluar, lorong sudah hampir kosong. Dan di sanalah Xander berdiri. Bersandar di dinding, tangan terlipat di dada, dengan senyum miring yang sejak pagi jelas mencarinya. Sepertinya melihat Sky tetap tenang setelah provokasi tadi pagi membuat Xander tidak puas.“Ternyata selain nggak punya bapak,” Xander membuka suara, nyaring di lorong sepi itu, “elo juga nggak punya malu ya.”Sky tidak berhenti. Dia terus berjalan.“Eh?”
Reya menurunkan kaca mobil begitu Sky membuka pintu.“Good luck, Sayang. See you after school.”Sky mendekat, mencium pipi ibunya singkat. “See you, Mom.”Ia berbalik, melangkah ke arah gerbang. Pagi itu cerah, tapi langit tidak menjamin perasaan manusia di bawahnya ikut cerah, kan?Begitu Sky melewati gerbang, ia menangkap sekilas tatapan beberapa siswa. Bukan tatapan biasa. Cara mereka melihat Sky terasa aneh.Mereka menunduk cepat setelah Sky menoleh. Tapi jelas tadi mereka saling bisik di belakang tangan, menunjuk samar ke arah Sky.Apa gue cuma overthinking? Mungkin. Sky menarik napas, memilih tidak ambil pusing. Namun semakin jauh Sky masuk ke halaman, semakin banyak tatapan itu berdatangan. Sama bentuknya, sama nadanya: berbisik, melirik, dan menahan tawa kecil.Langkah Sky mulai terasa berat.Saat ini tiba di depan kelasnya, Xander sudah disana, berdiri bersandar pada dinding. Tangannya terlipat di dada, wajahnya memancarkan senyum yang menyebalkan. Senyum yang membuat Sky me
Setengah sepuluh pagi. Matahari Jakarta menanjak cerah, menembus sela dahan peneduh di sudut taman Maplewood International High School. Daun-daun rimbun membentuk bayangan teduh, cukup untuk Lyra dan Sky berlindung. Kedua duduk bersila beralas rumput hijau. Jauh dari keramaian. Jauh dari kemungkinan Elio melihat dan mengolok-olok Lyra yang sedang pucat karena gugup.Lyra menggenggam ponselnya. Sudah tiga kali Lyra berkali-kali menggulir layar, tapi tetap tidak berani menekan link berwarna biru itu. Hasil Ujian Tengah Semester. Jari-jarinya seperti membeku.“Gue yakin hasilnya bagus, Ra. Chill.” Sky menepuk-nepuk pundak Lyra pelan. Tapi itu jelas tidak terlalu membantu. Lyra justru menatapnya sebal. Alis gadis itu bertaut lucu dengan pipi menggembung. Jujur Sky ingin tertawa, tapi dia tidak tega. Lyra benar-benar terlihat panik.Lyra kembali menatap layar. “Tapi jawaban gue banyak yang ngasal, Sky. Banyak banget. Gimana kalau …”Ia berhenti sendiri lalu menggeleng cepat seperti mengu
Sudah hampir sebulan sejak pertandingan Sky. Sudah hampir sebulan juga Langit tidak pulang ke rumahnya. Ini rekor. Biasanya Langit akan pulang setidaknya seminggu atau dua minggu sekali. Meski pulang dalam konteks Langit ini artinya hanya sekedar tidur dan memeriksa keadaan rumahnya. Tapi kali ini Langit benar-benar tidak menyambangi rumahnya sama sekali. Rumah yang dulu Langit bangun dengan penuh ambisi dan mimpi itu, kini hanya menjadi benda asing benda asing, tempat yang bahkan tak sanggup ia dekati.Sebulan ini Langit berpindah-pindah seperti pengungsi: beberapa hari tidur di rumah Sadewa, beberapa hari lagi pindah ke rumah Orion. Entah alasan apa yang ia pakai, tapi mereka semua seperti sepakat untuk tidak menebatnya. Hari ini hari minggu. Jam menunjukkan 11.30. Dan Langit masih tidur seperti batu di kamar tamu rumah Sadewa.Hingga pintu mendadak terbuka. Sisi kiri kasur melesak lebih dalam. Seseorang baru saja naik dan tubuh Langit tiba-tiba tertindih beban berat.“Bangun, Lan
Sometimes you have to be cruel to your own heart to keep everyone safe.Lobi Skywave sore itu tidak terlalu ramai, hanya suara AC dan langkah staf yang sesekali lewat. Reya duduk di kursi tunggu dekat kaca besar, memainkan ponsel di tangan. Sekedar membunuh waktu. Ia baru saja selesai rapat dengan Langit. Rania sudah lebih dulu pergi bersama driver kantor. Reya tidak ikut karena ada janji bertemu seseorang dan ia sedang menunggu orang itu. Reya menghela napas, mencoba menenangkan sesuatu yang menggumpal di dadanya. Rapatnya dengan Langit yang berjalan mulus dan hening ternyata tak sepenuhnya membuat Reya lega. Itu yang dia mau, tapi di waktu yang sama profesionalitas yang Langit tunjukan itu juga yang membuat Reya … hampa.Bodoh. Semakin bertambah usia, bukannya menjadi semakin dewasa, Reya justru merasa dirinya makin tak punya pendirian. Tak lama terdengar suara langkah mendekat. “Re.”Reya menoleh. Wendy berdiri di dekatnya, menyodorkan sekaleng soda. Rambut pendeknya sedikit bera







