Aisyah dan Putri menuju meja makan dan segera menyantap makanan yang telah disediakan Rumi. Mereka berdua memang sangat kelaparan, saking terburu-burunya ke kantor Fikri. Mereka tidak sempat memikirkan untuk makan siang.
“Syah, jadwal wisudanya sudah ada belum?”tanya Rumi. “Sudah Kak, insyaaAllah awal bulan depan.”
“Iya harus jelas, karena ibu dan ayah perlu datang, kan? Jadi bisa diatur waktunya, sehingga ayah dan ibu bisa hadir.”
“Iya Kak, insyaaAllah itu sudah fix jadwalnya.”
“Jadi Syah, apa rencanamu setelah ini?” tanya Putri. “Aku magang di tempatnya kak Rumi, sambil menunggu ijazah. Iya kan Kak?”
“Iya,” jawab Rumi. “Andai aku juga kelar ya, aku juga bisa kerja di tempatnya Kak Rumi,” sambung Putri.
“Ehm, yang ada kalian buat kerjaan Kak
Ternyata sekian tahun, Kak Mira hidup sendiri, betapa sunyinya rumah ini, gumam Abduh setibanya di kamar. Dia lantas meletakkan barang-barangnya di kamar, yang akan menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Setelah melaksanakan salat, dia menuju meja makan. Mira telah menunggunya “Abe?” panggil Mira, saat Abduh telah duduk di meja makan, tepat di depannya. “Iya Kak. Kak Mira masih ingat saja panggilan kecilku,” jawab Abduh dengan senyuman manis, ditambah lesung pipinya yang menawan. “Iya dong. Mulai hari ini, Kak Mira panggil kamu Abe ya?” “Siap, Kak.” “Ayo kita makan dulu, kamu pasti lapar.” “Iya Kak. Apalagi masakan Kak Mira sangat enak, persis masakan ibu.” “Iya dong, anak ibu.” “Iya, deh.” Abe tersenyum lebar menanggapi ucapan Mira. Dia pun menyantap makan siang yang telah tersedia di depannya. “Dik, kamu besok sudah ada jadwal ke kampus kan?” “Iya Kak
Tiba di rumah, tepat azan magrib berkumandang.Suara azan begitu terdengar jelas di rumah Putri. Putri bersegera menunaikan salat magrib. Ada yang berbeda sore ini, ada sesuatu yang menarik Putri untuk melaksanakan salat di masjid, tidak seperti biasanya. Tiba-tiba ada kerinduan yang sangat untuk bertamu ke rumah Allah. Sesuatu yang telah berpuluh tahun dia tinggalkan.“Pa, ada apa dengan Putri?” tanya Fitri, ibunda Putri.“Kita harus bersyukur, Ma. Putri kini jauh berubah. Alhamdulillah, semoga inilah petanda, putri kita akan semakin dekat dengan Tuhannya.”Ayah dan ibu Putri, tercengang dengan perubahan sikap sang anak. Setelah perpisahan dengan Andi, hidayah seakan memeluknya erat.Sejak Putri keluar dari rumah sakit, ayah dan ibunya juga sudah mulai mengurangi aktivitas di luar rumah. Mereka sepakat untuk memberikan waktu lebih untuk putri mereka s
Berselang beberapa menit, Aisyah muncul dari dalam rumah. “Kak Mira sudah ada? Aku pikirnya tadi Kak Mira masih lama, jadinya Aisyah hanya menunggu di dalam.” “Iya Syah. Ini Abduh juga sudah siap. Enggak apa-apa, Abduh yang bawa mobil?” “Oh iya, Kak,” jawab Aisyah dengan senyuman tulus. “Oh ya, aku belum kenalin kalian berdua ya. Syah ini Abduh, adik Kak Mira.” “Salam kenal Abduh,” “Salam kenal, kak Aisyah,” sahut Abduh. “Aku serasa tua banget ya dipanggil Kakak, haha.” Aisyah tertawa lebar mendengar Abduh memanggilnya dengan sebutan Kakak. “Kan kamu memang lebih tua Syah.” “Tetapi kan, enggak tua-tua amat Kak Mira. Panggil Aisyah saja ya, aku enggak enak dipanggil Kakak.” “Baiklah. Dengar ya Be, kamu jangan manggil Kakak, kalau dia ngamuk bahaya lho,” canda Mira yang disertai tawa, yang membuat wajah Aisyah berubah cemberut.
Aisyah terus mengawasi Mira yang tertidur pulas. Tampak kelelahan yang sangat di wajahnya. Aisyah lantas mengambil posisi di sebelah tempat tidur Mira, sambil menoleh ke arah buku-buku yang tersusun rapi di meja kerja Mira. Dia mengambil salah satu buku untuk menemaninya menuju tidur malam ini. Berat sekali rasanya, matanya ingin terpejam, sedang disampingnya ada seseorang yang tengah terbaring lemah. Setiap menit, Aisyah selalu berusaha memantau panas Mira. Aisyah akhirnya memutuskan, jika suhu badan Mira tak jua turun sampai besok pagi, Mira harus dibawa ke rumah sakit. Dia khawatir, kondisi Mira semakin lemah. Aisyah menatap wajah Mira. Dia melihat ketegaran yang luar biasa. Seorang wanita yang mampu berdiri tegak dengan status jandanya selama dua tahun ini. Kak Mira memang luar biasa. Aku menyayangkan kegagalan pernikahan kak Mira. Mengapa harus kak Mira? Wanita
“Pak Rayhan itu mau melamar aku, Put!” Tersentak! “Melamar? Ya Allah, Aisyah kok kamu enggak pernah cerita?” Giliran Putri yang terperanjat kaget. “Kan, ini aku sudah cerita.” “Sejak kapan kalian dekat?” “Sebenarnya kami enggak pernah dekat. Hampir setahun aku kerja di kantor kak Rumi, dia selalu berusaha mau dekat dengan aku, dia langsung bilang begitu.” “Memangnya dia orangnya, bagaimana sih?” “Sebenarnya kami nyambung, kami punya banyak kesamaan”. “Tetapi dia masih single, kan?” sambung Putri. “Iyalah Put, masa aku mau membuka hati dengan orang yang sudah punya keluarga!” “Membuka hati? Jadi kamu sudah ada hati dengan dia?” “Kamu Put, jago banget mancingnya.” “Syah, aku sahabat kamu. Aku sangat kenal kamu. Kamu tidak pernah membuka hati ke siapa pun. Jadi aku terkejut, saat kamu bilang barusan,
Setelah magrib, semuanya telah bersiap-siap, sangat rapi. “Syah, lho kok kamu tampak seperti enggak mandi seharian?” tegur Rumi, saat melihat Aisyah masih dengan penampilan yang sama. “Kak Rumi!!! Ngapain sih?” sahut Aisyah, dongkol. Aisyah mulai merasa bosan dengan permainan yang sedang dimainkan kakaknya. “Kamu ganti baju Adikku sayang, jangan bikin malu Kakak dong. Atau perlu Kakak yang gantikan bajunya?” “Apa sih Kak Rumi, aku bukan anak kecil,” kesal Aisyah. Dia pun berlari menuju kamar mengganti pakaian. Dengan perasaan yang sangat tidak enak, dia berusaha tetap menghargai perintah Rumi. Dia merasa diperlakukan seperti anak kecil hari ini. Beberapa menit berlalu, Aisyah sudah kembali menemui kakaknya. “Alhamdulillah, begitu dong. Sekarang kan, baru tampak Aisyah yang sebenarnya,” lanjut Rumi, saat Aisyah tampak berpakaian lebih rapi. Aisyah
Saat Aisyah dan Putri merasakan duka yang sama, Abduh pun tenggelam dalam kepahitan takdir. Saat dia baru mulai menyadari perasaannya, takdir justru berkata lain. “Kamu kenapa enggak ikut ke acara lamarannya Aisyah, padahal Rumi juga mengundang kamu?” tanya Mira, sesampainya di rumah. “Kak Mira seperti tidak tahu perasaanku.” “Be, sejak awal Kakak sudah minta, kamu jangan berharap terlalu jauh. Kamu dan Aisyah terlalu banyak perbedaan. Kamu fokus ke kuliah kamu, Dik.” “Tetapi hati tidak bisa dipaksakan Kak. Sampai saat ini pun, aku tidak bisa menghilangkan perasaanku ke Aisyah. Ditambah lagi dia kemarin menginap di sini, merawat Kakak, bagaimana aku bisa berpaling Kak? Dia sangat menyayangi Kak Mira, aku akan sangat bahagia jika impianku bisa saja terkabul. Aisyah wanita yang selama ini sangat kuimpikan Kak.” “Abe, Kakak ngomong ini sekali lagi. Kamu fokus kuliah dulu ya Dik, insyaaAllah akan ada wanita lain dan terbaik untuk kamu. Ka
Aisyah dan Putri kembali bertatapan, terkejut dengan pertanyaan Rumi. Mereka tidak menyangka, kepergian mereka ke kantor Fikri tempo hari, akan diketahui Rumi. Rumi tersenyum pahit. “Kalian berdua, tega-teganya menghancurkan Kakak kalian sendiri!” “Maksud Kak Rumi?” tanya Aisyah, tidak mengerti. Rumi menggelengkan kepalanya, tanda tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan kedua adiknya. “Apakah kalian berdua tidak pernah berpikir, konsekuensi keberanian kalian menemui Pak Fikri?! Selama hidup, Kak Rumi selalu berjuang, bekerja keras membangun citra positif, harga diri, tetapi seketika kalian hancurkan!” “Kak—” “Kamu tidak perlu jelaskan. Kakak sangat kecewa pada kalian berdua. Kalian telah menghancurkan Kak Rumi. Kalian memperlakukan Kakak kalian, seperti perawan tua yang tidak ada lagi harapan menemukan pendamping hidup. Serendah itukah kalian menilai Kak Rumi?!” Suara Rumi semakin meninggi.