Share

Bab 3

“Tante Maya itu punya anak laki-laki, sudah dewasa dan mapan. Tante Maya berniat menjodohkannya dengan Aisyah.”

Hening!

Aisyah dan Rumi saling bertatapan, kaget.

“Kok aku? Kenapa bukan Kak Rumi? Ayah ini apa enggak salah? Aku belum selesai kuliah, aku yang adik! Kok bukan Kak Rumi saja yang dijodohkan? Kak Rumi kan, juga sudah dewasa sedangkan aku belum!”

Aisyah tidak percaya ucapan Ayahnya. Kalimat pembelaannya, tiba-tiba terucap begitu deras.

“Tetapi mereka maunya dengan Aisyah,” sambung Ibu, mencoba menjelaskan.

“Bagaimana sih, Yah? Kok Ayah enggak bisa memberikan pendapat sedikit? Sampaikan dong ke mereka, Aisyah itu masih kecil. Ayah punya anak tertua, lebih dewasa. Jadi lebih baik Kak Rumi saja!”

Aisyah terus mencari alasan, untuk menolak permintaan ayah dan ibunya. Dia merasa tidak masuk akal, terjadi perjodohan seperti ini, sedangkan kuliahnya saja belum selesai, belum kerja, belum ini itu.

“Ayah dan Ibu, enggak memaksa kok, Aisyah. Kalau kamu enggak mau ya enggak masalah. Mereka juga baru mengajukan keinginannya. Kamu punya hak menerima ataupun menolak. Ayah dan Ibu enggak akan memaksa kamu,” jawab Ayah Aisyah, bijak.

“Aku heran, sebenarnya kenapa mereka enggak melamar Kak Rumi saja, kenapa harus Aisyah?!” sambung Aisyah.

“Mereka bilang, Kak Rumi-mu terlalu dewasa,” jelas Ibu.

Aisyah mengangkat alis. Terkejut dengan jawaban Ibunya. “Lho, kok terlalu dewasa? Bukannya, anak tante Maya juga sudah dewasa? Atau mungkin mereka takut, kalau dengan kak Rumi yang sudah dewasa, makanya mencari seperti aku yang belum punya apa-apa. Sehingga bisa seenaknya diperlakukan, diatur. Begitukah, Yah?!”

“Kamu tidak usah berpikir sejauh itu. Kalau kamu memang enggak mau ya enggak usah. Tetapi sebenarnya Ayah dan Ibu, juga, sudah berharap ada di antara kamu dan kakakmu yang menikah. Ayah dan Ibu sudah tua, ingin juga gendong cucu,” sahut ayah.

“Kok aku sih yang Ayah desak. Kenapa enggak bicara dengan kak Rumi? Kak Rumi itu lebih pantas dan lebih siap untuk menikah, Yah. Aku tidak akan menikah sebelum mapan dan sebelum kak Rumi menikah!”

Aisyah terus membela dirinya, sedangkan Rumi hanya diam, menyimak apa yang dibicarakan kedua orang tuanya. Dia hanya sesekali tersenyum setiap mendengar jawaban adiknya.

“Ayah hanya berharap, kamu atau kakakmu segera menikah. Itu saja!” ujar ayah, masih dengan harapannya.

“Ayah itu beraninya sama Aisyah, kenapa enggak berani sama Kak Rumi? Kalau begini, aku akan seperti kak Rumi, bisa merancang masa depannya sendiri!” Suasana hati Aisyah semakin buruk, dengan pembahasan perjodohan ini.

“Yah,” sela Rumi. “Kalau menurut Rumi, ada baiknya Aisyah menyelesaikan dulu kuliahnya. Sedikit lagi, dia akan selesai kok, Yah. Kasihan, kalau dia harus mengubur impiannya. Apa pun yang Aisyah dan Rumi lakukan, tiada lain dan tiada bukan hanya untuk ayah dan ibu,” tutur Rumi, sangat lembut.

“Yah, Aisyah juga mau bilang, menikah itu bukan satu-satunya cara membuat ayah dan ibu bangga. Okelah kalau Aisyah dan kak Rumi menikah dan bertemu dengan pria yang baik dan bertanggung jawab.

“Tetapi tiba-tiba takdir berubah arah, ayah dan ibu juga yang akan terseret dalam kesedihan. Izinkan Aisyah dan kak Rumi menata masa depan kami sebaik mungkin, Yah. Ayah kan sangat paham tentang jodoh. Biarkan dia datang sesuatu waktunya, biarkan dia datang sendiri,” ungkap Aisyah, jelas.

“Ya, jika sudah memang seperti itu keputusan kalian berdua, Ibu dan Ayah mau bagaimana? Intinya, doa Ayah dan Ibu akan selalu menyertai Aisyah dan Rumi.” Ayah tampak menyerah setelah mendengar penjelasan kedua putrinya.

“Lakukan yang terbaik untuk kehidupan kalian, Nak. Ibu dan Ayah hanya ingin kalian sukses dan bahagia.” Ibu menambahkan.

Aisyah lega, akhirnya bisa mengatakan tidak. Dan ayah ibunya bisa menerima alasannya. Aisyah bersyukur memiliki kedua orang tua yang sangat memahami anak-anaknya. Mereka begitu paham dan mengerti, orientasi kehidupan kedua anaknya.

Malam yang berat akhirnya terlewati.

Perjalanan hidup selalu saja tidak bisa ditebak. Aisyah yang baru mempersiapkan diri, menyambut garis akhir perkuliahannya, tiba-tiba dihadang oleh kata pernikahan. Itulah kenyataan hidup, yang multak akan hadir di waktu tidak terduga.

***

Setelah beberapa pekan, tak bertemu dengan Aisyah, Putri mendatangi kediaman sahabatnya itu.

Ya seperti biasa, dia akan mencari Aisyah, saat dia punya masalah dan butuh pendengar. Karena pendengar sejatinya itu adalah Aisyah. Walaupun kadang tak sejalan, Putri selalu merasa nyaman bersama Aisyah.

“Syah, ada seorang wanita mengajakku bertemu di taman sore ini,” ucap Putri. “Wanita? Siapa?”

“Aku juga enggak tahu, katanya dia ingin menyelamatkan masa depanku.”

Aku yakin ini tentang Andi, batin Aisyah.

“Iya kamu ke sana saja Put, siapa tahu dia punya informasi penting.”

“Tetapi kamu ikut ya? Aku takut sendiri.”

“Pasti! Aku akan menemanimu.”

Putri tampak tidak seperti biasa, dia terlihat banyak beban.

“Put, kamu enggak apa-apa?” tanya Aisyah, memastikan keadaan Putri. “Iya, aku baik,” jawabnya lemah. Dia kelihatan sedang memikirkan hal berat, dia sangat tidak bersemangat.

“Syah, kenapa ya, justru menjelang pernikahanku, perasaanku malah galau begini. Aku menjadi ragu akan langkahku ini. Akhir-akhir ini, komunikasiku dengan Andi justru tidak sebaik sebelum lamaran kemarin. Andi jauh lebih cuek dan kami semakin jarang berkomunikasi,” sambung Putri.

Ehm. Saat ini, kamu memang harus berpikir panjang, Put. Karena menikah, bukan hanya persoalan kebersamaan sepekan, sebulan, setahun. Tetapi pernikahan, kita harapkan menjadi kebersamaan selamanya. Kalau aku, gunakan waktu ini untuk mempertimbangkan kembali segalanya,” ujar Aisyah.

“Iya Syah. Aku takut. Aku justru jadi kepikiran keadaanku nanti setelah menikah. Aku takut membayangkan, semua akan berubah. Aku tak mampu lagi bebas, aku terikat.”

“Itulah pernikahan Put, semua pasti akan berubah.”

“Semoga aku bisa mencari keyakinan itu lagi, Syah. Aku tidak tahu mau cerita ke siapa, aku hanya punya kamu.”

Aisyah bersyukur, atas perubahan cara berpikir sahabatnya itu. Aisyah berharap, inilah cara Allah menunjukkan jalan terbaik untuk sahabatnya.

InsyaaAllah, aku akan selalu di sampingmu, Put.” 

“Terima kasih ya.”

Putri kembali diam. Pernikahan yang tak lama lagi, justru membuatnya berubah. Tidak semangat lagi, seperti cintanya yang begitu besar ke Andi.

Sore tiba.

Putri dan Aisyah menuju taman. Tampak wanita muda, cantik, rok sebatas lutut, dengan kemeja ketat.

“Kenalkan, saya Rosa,” ungkap wanita itu. Tak lama setelah Putri dan Aisyah, menyapanya.

“Saya, Putri, dan sahabat saya Aisyah. Enggak apa-apa kan saya datang berdua?”

“Iya, tidak apa-apa. Jadi kita langsung saja, ada yang ingin saya sampaikan sama kamu.”

“Apa itu? Masalah apa? Mengapa Mbak mengatakan, ini tentang masa depan saya?” tanya Putri.

“Saya Rosa, pacar Andi! Kami sudah pacaran sebelum kamu bertemu dengan dia.”

Tersentak!

Raut wajah Putri, seketika menjadi tegang, sangat tertekan.

“Saya mengajak kamu bertemu di sini, karena saya keberatan Andi menikah dengan kamu, bukan dengan saya. Saya sudah menyerahkan seluruh hidup saya, bahkan kehormatan saya untuk dia.

“Tetapi akhirnya dia meninggalkan saya. Saya sudah hamil dua bulan. Kamu juga harus tahu, Andi mau menikah dengan kamu, karena harta, bukan karena cinta. Dia tidak pernah mencintai kamu, tidak pernah!”

Putri terkulai, jatuh ke tanah.

“Putri, Putri!!!!” teriak Aisyah, panik. Dia lantas memapah Putri, bersama Rosa, menuju mobil, dan membawanya ke rumah sakit.

Ya, Allah apa lagi yang terjadi pada sahabatku ini?

Aisyah diliputi rasa khawatir. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, dia menghubungi Rumi.

Assalamu’alaykum Kak.”

Wa’alaykumussalam, Dik. Ada apa?”

“Kak, aku lagi di perjalanan ke rumah sakit.”

“Rumah sakit, kamu sakit apa?”

“Bukan aku Kak, Putri.”

“Putri kenapa?”

“Putri pingsan.”

“Nanti kabari Kakak jika sudah tiba di rumah sakit.”

“Baik Kak.”

Setelah Aisyah menutup telepon, tak lama, mereka tiba di rumah sakit. Putri langsung diangkat ke atas brankar.

Aisyah gelisah. Rasa takut, khawatir dan syok atas keadaan sahabatnya. Azan magrib berkumandang, dia langsung menuju musala. Dia berusaha mencari ketenangan. Dia harus kuat untuk sahabatnya, yang tengah tak berdaya.

Setelah melaksanakan salat magrib, Aisyah menghubungi Rumi untuk memberi kabar tentang kondisi Putri.

“Kak, ini Aisyah.”

“Bagaimana keadaan Putri?”

“Ini sudah dua jam, dia belum sadar Kak.”

“Jadi kamu bagaimana?”

“Kak, malam ini aku di rumah sakit dulu menemani Putri, ya.”

“Iya Dik. Nanti kalau sempat, Kakak singgah jenguk Putri.”

“Iya Kak.”

Setelah percakapan dengan kakaknya, Aisyah menghubungi orang tua Putri, namun tidak juga bisa tersambung.

Ya, orang sibuk. Beginilah kalau orang tua hanya fokus mengurusi karier. Tidak ada lagi waktu untuk memberikan perhatian kepada anak gadisnya.

Saat kembali ke kamar, Aisyah kembali tersentak, tak ada Putri di tempat tidurnya. “Putri kamu ke mana, kamu jangan melakukan hal bodoh sahabatku!” teriak Aisyah, mencari keberadaan Putri.

Beberapa detik termangu, Aisyah menatap pintu kamar mandi.

Terbuka?

Pelahan dia melangkah dengan perasaan takut. Dia terus dibayangi kondisi terburuk.

 “Putri, Putri! Aku mohon jangan lakukan itu. Ingat orang tuamu, ingat impianmu Put. Jangan lakukan hal bodoh!” teriak Aisyah mendapati Putri, sedang bermain dengan benda tajam nan membahayakan, di tangannya.

“Aku sudah tidak punya harapan lagi, Syah! Aku sudah mempermalukan orang tuaku, aku malu!”

Aisyah berjalan lambat, mendekati Putri. Tapi belum sempat…

“Putri!!!” Suara Aisyah melengking keras, menyaksikan Putri melukai dirinya sendiri. Darah bercucuran dari tangannya. Benda tajam itu mendarat mulus, menyayat.

Aisyah menangis. Syok. Suaranya semakin keras, meminta pertolongan.

“Putri kamu harus kuat sahabatku! Ya Allah, ampuni kami!”

Aisyah terus berteriak.

Beberapa saat kemudian, beberapa perawat sudah berlarian masuk ke kamar Putri.

Putri dikembalikan ke tempat tidur. Perawat dengan cepat menangani luka Putri. Tak henti, Aisyah terus berzikir. Memohon pertolongan pada Sang Penguasa Hidup. Air matanya terus mengalir. Ketakutan terus menghantuinya.

Sekitar dua puluh menit, perawat baru meninggalkan kamar Putri. Aisyah sudah diizinkan untuk masuk kembali. Dengan air mata yang terus mengalir, Putri menguatkan diri untuk berbicara dengan Aisyah.

“Aisyah, aku minta maaf, aku menyesal, aku bodoh! Aku tidak pernah mau mendengarkan nasihatmu, aku menyesal, maafkan aku!” tutur Putri, sangat sedih.

Aisyah tidak mampu menahan tangis melihat keadaana sahabatnya. Dia merangkul Putri, dan terus memberikan kekuatan. Kenyataan yang begitu pahit, semoga bisa menjadi pelajaran berharga buat Putri.

Manusia dianugerahkan mata untuk melihat dengan jelas, dan telinga untuk mendengar kebenaran. Jika manusia masih saja melawan apa yang terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga, apa bedanya manusia dengan ciptaan Tuhan yang tidak diberi akal?

Kita tidak pernah tahu, cara Allah menyampaikan takdirnya. Ada kalanya kita telah yakin dengan apa yang tampak jelas di depan mata, namun di lain waktu yang tampak jelas, justru membuat kita semakin ragu. Memaknai setiap keyakinan dan keraguan hanya bisa diperoleh, apabila kepasrahan itu sepenuhnya dihadirkan di dalam jiwa.

Setelah pertemuan di taman, kondisi Putri yang memburuk membuatnya harus di rawat sepekan di rumah sakit. Rencana awal yang telah dipersiapkan dengan sempurna, akhirnya berakhir lebih awal. Impian Putri, pun, seketika sirna.

Pernikahannya dengan Andi dibatalkan. Undangan yang telah tercetak, kini menjadi kenangan. Gaun pengantin yang telah dijahit, kini hanya menjadi bukti, sakit hati Putri yang sangat dalam.

“Syah, aku semakin tidak percaya dengan laki-laki. Ayahku, sejak kecil sulit aku percaya. Apa yang diucapkannya padaku, dia selalu ingkari. Pun, sekarang, laki-laki yang aku cintai, yang aku impikan menjadi pasangan hidupku selamanya, ternyata hanya sebuah bayangan gelap yang membawa kesakitan yang sangat, dalam hidupku. Aku tak menyangka, dia setega itu padaku!”

“Seperti itulah kenyataannya, Put. InsyaaAllah ini cara Allah menunjukkan siapa Andi sebenarnya.”

“Aku sangat bersyukur, aku belum menikah dengannya dan mendengar kenyataan ini. Karena jika itu terjadi, mungkin aku sudah meninggalkan dunia ini, karena aku tak bisa membayangkan hancurnya diriku.”

Alhamdulillah, semoga Allah senantiasa melindungimu. Semoga ini menjadi awal kehidupanmu yang baru ya, Put.”

“Terima kasih Syah, sudah selalu ada di sampingku. Entah apa yang terjadi denganku jika tidak ada kamu.”

Air mata Putri kembali mengalir.

Betapa rasa syukur itu hadir, dia memiliki seorang sahabat, yang selalu ada untuknya. Sahabat yang selalu dia lawan, sahabat yang selalu dia abaikan nasihatnya, dia sangat menyesal. Dia banyak menghabiskan waktu yang sia-sia dan sering menyakiti hati Aisyah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status