Share

Bab 4

“Aku senang bisa berbuat lebih untuk kamu, Put. Kita kan sahabat, sudah selayaknya selalu saling mendukung.”

Aisyah memberi pelukan penuh kasih sayang. Putri yang selalu dimanja, terbiasa bebas, akhirnya tiba pada masa, di mana kedewasaannya diuji. Setelah beberapa hari di rawat, akhirnya Putri diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dengan sisa kekuatan dan ketegaran, dia mencoba melangkah. Aisyah turut mengantarnya pulang, bersama ayah dan ibunda Putri.

Namun, tiba di rumah, sosok yang paling tidak diinginkan Putri, berdiri tepat di depan gerbang rumahnya. Tanpa kata, Putri langsung turun dan menemui Andi.

“Putri, kamu hati-hati. Kamu belum sepenuhnya pulih,” ucap Aisyah, sambil memegang tubuh Putri, yang masih lemah.

“Untuk apa kamu kesini?!” tanya Putri, sangat emosi.

“Aku datang menjengukmu, Sayang. Aku dengar kamu masuk rumah sakit. Terus mengapa kamu membatalkan pernikahan kita? Aku perlu tahu alasannya. Aku sangat mencintaimu.”

Wajah Andi yang penuh drama, semakin membuat amarah Putri tersulut.

“Laki-laki berengsek!!!” Putri melemparkan sepatu yang dikenakannya, ke arah Andi.

“Ada apa ini, kamu kenapa?” tanya Andi, sambil menghindar dari lemparan sepatu Putri. Ternyata Andi belum mengetahui pertemuan Putri dan Rosa. Aisyah tak sempat berkata-kata, karena Putri tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.

“Kamu pergi sekarang, sekarang!!!” teriak Putri. “Oke, aku pergi sekarang. Nanti aku datang lagi kalau kamu sudah tenang ya.”

“Pergi!!! Aku tidak mau melihat muka brengsek-mu lagi!”

Andi pun berlari kecil, menuju mobilnya dan seketika meninggalkan rumah Putri.   Tangis Putri pecah. Dia benar-benar menyesali seluruh perjalanannya.

“Putri, kamu tenang ya. Kamu baru pulih lho, belum sepenuhnya sehat. Kalau kamu begini, nanti kamu malah tambah sakit.”

Aisyah membantu Putri menuju kamarnya.

“Putri, kamu sudah di rumah sekarang. Jadi aku mohon, jangan lakukan hal-hal yang merugikan dirimu sendiri.”

“Terima kasih ya. Aku tadi, tak mampu mengendalikan emosi. Aku tak mampu lagi melihat wajah laki-laki berengsek itu!”

Putri menghela napas, menenangkan sesak di hatinya, yang tak kunjung bersahabat.

“Sabar Put ya. InsyaaAllah, setelah ini keadaanmu akan lebih baik. Kamu istirahat ya, aku balik dulu.”

“Salam aku untuk Kak Rumi ya.”

“Oke, kamu istirahat.”

Aisyah pun meninggalkan kamar Putri.

“Tante, Om, Aisyah pamit,” tutur Aisyah, pada orang tua Putri. “Terima kasih ya Aisyah, sudah banyak membantu Putri.”

“Sama-sama Om. Kami sudah lama bersahabat, jadi sudah seharusnya saya selalu ada untuk Putri.”

“Aisyah hati-hati ya.”

“Terima kasih om.”

Aisyah meninggalkan rumah Putri, mengggunakan taksi. Ya, beberapa hari ini dia sangat lelah. Belum tuntas persiapan ujian sidangnya, energinya terkuras, mengurusi Putri di rumah sakit.

Ya Allah semoga lelahku ini, menjadi berkah buatku dan keluargaku, Aamiin Allahumma Aamiin.

Beberapa hari menghabiskan waktu menemani Putri di rumah sakit, lelah itu baru terasa sangat. Tiba di rumah, dia langsung berbaring di sofa. Dia seakan kehilangan kekuatan menuju kamarnya.

“Bagaimana kabar Putri, Syah?” ucap Rumi, mendapati adiknya di ruang tamu. “Alhamdulillah sudah lebih baik, Kak.”

“Kenapa dia sampai pingsan begitu?”

“Ya masalah Andi!”

“Calon suaminya, kan?”

“Iya, Kak. Putri syok setelah bertemu dengan pacar Andi yang sedang hamil.”

Astagfirullah, dia punya pacar dan hamil?”

“Ya, itu Kak kelakuannya. Sejak awal, memang aku sudah tidak setuju, tetapi ya itulah Putri.”

“Jadi, Putri sudah kembali ke rumah?”

“Iya Kak, sore tadi sudah dijemput orang tuanya.”

Alhamdulillah. Semoga ini jadi pelajaran berharga untuk Putri.”

“Iya Kak, semoga. Aisyah berharap banyak, dia bisa jadikan ini pelajaran. Untung dia belum nikah. Syukur, Allah masih berikan kesempatan untuk dia, bisa sadar lebih awal.”

“Jangan pernah berhenti mendoakan sahabatmu, Dik.”

“Iya Kak, insyaaAllah. Kak aku istirahat dulu ya, aku sangat lelah.”

“Ya kamu istirahat saja.”

Aisyah bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Dia sangat merindukan kamar yang ditinggalkannya beberapa hari ini. Beberapa hari jauh dari kamarnya, serasa pergi berbulan-bulan. Kamar, di mana satu-satunya, dia bisa merasakan kenyamanan dan bisa menjadi dirinya yang sebenarnya.

Malam terasa sangat singkat. Dia merasa baru tidur beberapa jam, matahari sudah tersenyum lebar bersama cahayanya.

“Aisyah!!!” suara Rumi menggelegar, membuat Aisyah tersadar dan bangkit dengan secepat kilat dari tidurnya.

“Kenapa sih, Kak? Aisyah masih mengantuk banget,” keluh Aisyah, memaksa kakinya melangkah, menuju ke meja makan, menemui Kakaknya.

“Kok masih malas-malasan?” tanya Rumi melihat Aisyah melangkah tanpa semangat.

“Kak, aku masih capai banget.”

“Sarapan dulu!” perintah Rumi. “Kak, ayah dan ibu sudah balik kemarin, ya?”

“Iya.”

“Aku enggak sempat bertemu, Kak, karena enggak ada yang mengurus Putri di rumah sakit.”

“Ayah dan ibu mengerti kok, Dik. Mereka paham kondisimu.”

“Iya Kak, aku bahkan tidak bisa keluar, walau sebentar saja. Karena Putri sendiri di rumah sakit.”

“Oh ya, Putri itu anak tunggal, kan? Terus ayah dan ibunya ke mana?”

“Itulah Kak. Ayah dan ibunya sama-sama sibuk. Mungkin alasan itu juga, Putri seperti anak yang kehilangan perhatian. Jadinya, saat Andi memberikan perhatian, Putri tidak berpikir panjang lagi.”

“Jadi, di rumah, siapa yang mengurus Putri?”

“Mereka punya dua pembantu Kak.”

“Syukurlah. Intinya adalah kita harus banyak bersyukur atas semua yang telah dikaruniakan oleh Allah.”      

“Iya Kak. Hidup sederhana namun penuh kebersamaan, jauh lebih berharga dibanding kehidupan dengan materi melimpah, namun selalu merasa sunyi.”

“Kita banyak bersyukur saja, Dik.”

“Iya Kak InsyaaAllah.”

“Oh ya, Syah. Ujian sidang kamu kapan?”

InsyaaAllah pekan depan, Kak.”

“Jadi bagaimana persiapan kamu?”

“Saat ini, yang kurang siap hanya fisik saja, Kak. Karena beberapa hari ini menginap di rumah sakit, jadinya badan Aisyah terasa berat sekali.”

“Oke, jadi hari ini kamu istirahat saja di rumah. Jangan mengerjakan apa-apa. Enggak usah masak ya?” ejek Rumi.

“Ini Kak Rumi, mengejek lagi. Memangnya siapa yang mau masak. Mending aku tidur!”

“Haha, siapa tahu kamu tiba-tiba mau masak. Kakak pamit ya, Kakak berangkat dulu.”

“Iya Kak, hati-hati.”

Rumi pun berangkat ke kantor.

Hari ini Aisyah ingin beristirahat penuh. Dia merasakan, fisiknya belum sepenuhnya pulih, setelah tidur semalam. Melihat kakaknya berangkat ke kantor, dia kembali ke tempat tidur kesayangannya. Tak butuh waktu lama, dia akhirnya tertidur pulas.

Beberapa jam berlalu, azan berkumandang, tanda waktu zuhur, tiba. Aisyah sempat bangun, namun setelah menunaikan salat zuhur, dia melanjutkan tidurnya. Kelelahannya sangat bertumpuk, tidur berjam-jam belum juga mengembalikan tenaganya yang sangat terkuras beberapa hari ini.

Namun, di tengah tidur nyenyak, ponselnya berdering keras.

Ya, Allah aku baru memulai tidurku, kenapa ada lagi yang mengganggu siang-siang begini.

Dengan berat hati, Aisyah mengangkat teleponnya, yang sedari tadi terus bernyanyi.

Assalamu’alaykum, Aisyah.”

Wa’alaykumussalam. Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Aisyah dengan pikiran yang tidak fokus.

“Syah, kamu masih tidur? Kok siang-siang begini masih tidur!”

“Siapa, sih?” Dengan sedikit kesadaran, Aisyah melihat layar ponselnya. Ternyata Rumi yang menelepon.

“Kak Rumi ada apa, sudah tahu Aisyah mau istirahat hari ini. Ada apa sih Kak?”

“Kakak punya berita penting buat kamu.”

“Kan bisa nanti malam, saat Kak Rumi pulang. Kak, Aisyah mengantuk sekali,” keluh Aisyah.

“Pasti kantukmu akan hilang, kalau mendengar berita ini.”

“Langsung saja deh Kak.”

“Ternyata anak tante Maya, kerja di kantor Kakak. Kakak baru tahu.”

“Ha? Kerja di kantor Kakak?” Mata Aisyah seketika membelalak.  “Iya. Kamu langsung enggak mengantuk kan?”

“Ya, tetapi aku enggak ada urusan!”

“Kamu yakin, enggak mau tahu siapa?”

“Memangnya, Aisyah kenal? Kan, Aisyah enggak kenal dengan teman-teman kantor Kak Rumi.”

“Kamu kenal.”

“Kok bisa, siapa sih?”

“Pak Wahyu.”

“Ha, Pak Wahyu?”

Aisyah, terperanjat.

“Bukannya kamu sempat suka dia kan?”

“Bukan aku! Tapi Kak Rumi!”

“Itu saja dulu infonya. Kamu lanjutkan istirahatnya.”

“Kak Rumi menjengkelkan!!!” teriak Aisyah, saat Rumi menutup telepon.

“Sudah merusak tidurku, memberikan informasi juga setengah-setengah. Awas ya Kak. Tunggu pembalasanku. Eh, Pak Wahyu itu anak tante Maya? Kok aku enggak percaya. Ternyata takdir itu dekat ya. Pak Wahyu itu kan usianya tidak jauh beda dari Kak Rumi. Ehm, pasti Ibunya khawatir makanya dia dicarikan jodoh. Laki-laki dewasa, kok enggak bisa menentukan masa depannya sendiri. Masa, orang tua lagi yang harus turun tangan.”

Aisyah sibuk bicara sendiri, mengomentari percakapan barusan.

“Tetapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya Pak Wahyu itu cocok dengan kak Rumi. Tetapi sayang, kak Rumi di awal sudah mengatakan tidak. Ya mau bagaimana lagi, ya sudah.”

Dia pun kembali menuju tempat tidur. Dia mencoba melanjutkan tidur yang tertunda tadi. Namun, belum sepuluh menit memejamkan mata, ponselnya kembali berbunyi.

“Ya Allah, ujianmu begitu berat. Siapa lagi yang menelepon? Astagfirullah, kapan aku bisa tidur baik. Awas ya kalau Kak Rumi lagi!” ucap Aisyah, kesal.

Dia pun menatap layar ponselnya.

“Ya Allah, alarm salat asar. Ahh, akhirnya aku tidak bisa lagi tidur. Kak Rumi, awas, aku ingin membuat perhitungan!”

Rasa tidak enak dihatinya, membuat Aisyah begitu terganggu siang ini. Tidur yang tidak tuntas, membuatnya sangat tidak nyaman.

Menikmati sore, Aisyah menyibukkan diri membersihkan halaman, sambil mengobrol dengan Mira. Sejak mereka pindah ke rumah ini, Aisyah sering menghabiskan waktu bersama Mira.

“Aisyah, enggak punya jadwal kuliah hari ini?” tanya Mira. “Iya Kak, hari ini jadwal Aisyah kosong.”

“Kak Rumi kerja ya?”

“Iya Kak, kak Rumi berangkat sejak jam enam pagi.”

“Pagi banget ya, berangkatnya?”

“Biasalah Kak, kalau enggak pagi-pagi, kak Rumi akan terlambat sampai kantor.”

“Iya ya, semakin hari, kota kita semakin macet saja.”

“Kak Mira, sendiri saja di rumah?”

“Iya Dik, sendiri saja.”

“Kak Mira, boleh Aisyah bertanya?”

“Iya Dik, mau tanya apa?”

“Kak, sejak kami pindah kesini, kami hanya sekali, melihat suami Kak Mira. Sejak beberapa bulan ini, Aisyah ingin bertanya, tetapi khawatir, nanti Kak Mira enggak enak hati.”

“Oh itu, enggak kok Dik, Kak Mira enggak masalah. Kak Mira kan, sudah dekat banget sama kamu dan  Rumi. Kalian berdua sudah kakak anggap, seperti saudara Kak Mira sendiri.”

“Iya Kak.”

 “Ayo kita masuk ke dalam dulu, supaya lebih enak ngobrolnya.”

Mira mengajak Aisyah masuk ke dalam rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status