Share

Bab 2

Beberapa hari terakhir, persoalan Putri dan pacarnya Andi, terus saja mengusik Aisyah. Inginnya mengabaikan, tetapi dia masih sangat peduli dengan sahabatnya. Dia tidak tega melihat sahabatnya disakiti terus menerus. Tetapi, entah apa yang bisa dilakukannya. Semakin dia menasihati Putri, semakin buruk hubungan mereka.

Di kampus pagi ini, Aisyah, lagi, menyinggung perihal Andi. “Putri bagaimana kabarmu dengan Andi?”

“Masih baik-baik saja, Syah. Andi barusan dari sini menemuiku.”

Apa yang bisa kukatakan lagi. Bagaimana aku harus menguraikan kata untuk mengingatkanmu lagi sahabatku. Andi itu tidak layak untukmu, secara terang-benderang dia mengkhianatimu seperti ini tetapi kamu masih saja mempertahankannya.

Aisyah hanya bisa membatin. Dia kehilangan kekuatan untuk mengingatkan Putri.

“Syah, aku mau kasih kabar baik,” ucap Putri. “Kabar baik?”

“Tadi, waktu Andi kesini, aku tanya bagaimana kelanjutan hubungan kami. Dia bilang sangat serius. Untuk membuktikannya, dia akan segera datang melamarku,” tutur Putri, dengan wajah yang berseri-seri.

“Melamar? Serius?” Aisyah kaget.

“Iya serius. Kamu saja yang selalu berprasangka buruk pada Andi. Apa yang aku katakan kepada kamu terbukti benar, kan? Aku tak masalah dengan siapa Andi sekarang, apa yang dia lakukan sekarang. Karena aku tahu, dia akhirnya akan bersamaku.”

Putri, Putri, sahabatku. Sedemikian besarkah rasa cintamu kepada Andi, laki-laki seperti itu. Bagaimana dia bisa menjadi penjagamu kelak. Sekarang saja dia tidak pernah memedulikan perasaanmu, sahabatku.

“Terus kuliahmu bagaimana, Put? Apa enggak sebaiknya kamu selesaikan dulu?”

“Kamu bagaimana sih, Syah. Dulu meragukan Andi, sekarang Andi mau serius, kamu malah memintaku mundur!”

“Sayang kan, kuliahmu Put, sudah hampir selesai,” sambung Aisyah.

“Intinya sekarang, aku mau fokus ke hubunganku dengan Andi.”

Aisyah menarik napas panjang.

“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu, Put.”

“Kini semua prasangka baikku terbukti, aku tidak perlu menunggu lama untuk meresmikan hubunganku dengan Andi. Janjiku akan setia padanya tidak sia-sia.”

“Terus bagaimana janji Andi, setia sama kamu?”

“Kesetiaan Andi? Walaupun fisiknya dengan orang lain, asalkan dia tetap bisa menjaga hatinya untukku, ya itu kan sudah setia namanya.”

“Putri, kamu wanita yang baik, cerdas. Aku hanya berharap kamu bisa mendapatkan yang terbaik untuk menemanimu sampai akhir nanti.”

“Kamu tidak usah khawatir Syah, Andi adalah laki-laki terbaik yang tepat untukku. Kamu jangan takut, percaya padaku, Aisyah.”

“Iya Put, semoga dialah yang terbaik.”

Dengan berat hati, Aisyah hanya bisa menguatkan dirinya, mendengar keputusan Putri. Percakapan keduanya, kembali mengakhiri pertemuan di kampus pagi ini. Pertemuan yang selalu sama, dan tidak membawa ketenangan bagi Aisyah.

Setelah menyelesaikan semua urusan di kampus, Aisyah bersegera kembali ke rumah. Percakapan dengan Putri pagi tadi, selalu saja mengganggu kedamaian hatinya. Dia selalu bingung menempatkan dirinya.

Setelah tiba di rumah, persoalan Putri masih saja membayangi setiap langkahnya. Dimana pun dia berada, apa pun yang dia kerjakan. Kekhawatiran terhadap sahabatnya, tidak bisa menjauh.

“Syah.” Suara Rumi, membawa Aisyah, bangun dari lamunan.  “Kok kamu murung?” tanya Rumi.

“Aku bingung Kak, sikap Putri.”

“Putri, kenapa lagi?”

“Putri mau menikah.”

“Mau menikah? Bukannya kuliahnya belum selesai?”

“Ya itu, yang aku ingatkan ke dia. Apa tidak bisa, dia selesaikan dulu kuliahnya? Sayang kan, Kak? Banyak orang yang mau kuliah, tetapi enggak mampu. Sedang dia mampu, tetapi menyia-nyiakannya begitu saja.”

“Ya, kalau itu keputusan Putri, kamu enggak bisa juga, mengatur terlalu jauh, Syah.”

“Aku seperti sahabat yang gagal Kak.”

“Intinya, kamu sudah berusaha dan selalu mengingatkan Putri. Pernikahan juga sesuatu yang baik, Dik. Setidaknya Putri tidak berlama-lama dalam hubungan yang salah.”

“Tetapi itu lho Kak, pacarnya itu penipu!”

“Maksudnya?”

“Andi itu suka selingkuh Kak. Dia sudah berulang kali selingkuh, sejak pacaran dengan Putri.”

“Terus kenapa Putri menerima?”

“Ya begitu, Putri seperti sudah kena pelet cintanya Andi. Putri menjadi buta Kak. Dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Andi. Kalau aku ingatkan, jawabnya selalu sama. Aku sangat percaya sama Andi. Percaya bagaimana, jelas-jelas dihadapannya Andi selingkuh. Aku enggak mengerti sama sekali Kak!”

“Kamu sudah berusaha, sekarang tugas kamu doakan yang terbaik untuk Putri.”

“Ya memang hanya itu yang tersisa Kak. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.”

“Kamu istirahatlah, besok masih puasa, kan?”

“Iya Kak.”

Percakapan Aisyah dan Rumi berakhir. Persoalan Putri betul-betul sangat mengganggu Aisyah. Dia dianugerahkan keluarga yang sempurna, kaya raya. Namun sayang, dia dengan mudahnya terjerumus dalam cinta yang salah.

***

Satu pekan setelah pembahasan keseriusan Andi, pria itu, benar-benar melamar Putri. Aisyah tak menyangka secepat ini.

Apa yang dipikirkan Putri selama ini, bahwa Andi adalah laki-laki yang mampu menepati janji, ternyata dia buktikan.

“Selamat ya Put sahabatku, akhirnya apa yang kamu impikan sebentar lagi akan kamu dapatkan.”

Aisyah mencoba membuka hati, menerima kenyataan yang terjadi kini di depan matanya.

“Iya terima kasih Syah.”

Aisyah masih saja belum bisa menerima kenyataan ini.

Apa benar sahabatku akan menikah dengan laki-laki seperti Andi? Ya Allah, aku tidak bisa memahami cerita ini, aku sangat menghawatirkan Putri.

Pernikahan Putri pun, direncanakan tidak lama dari acara lamarannya.

“Kok acara pernikahanmu mendadak sekali, Put?” tanya Aisyah, kaget mendengar rencana pelaksanakaan pernikahan yang begitu mendesak.

“Andi inginnya seperti itu Syah. Katanya, dia sudah tidak sabar lagi menikah denganku. Betapa dia sangat mencintaiku, betapa aku sangat beruntung,” jawab Putri, polos.

Putri sahabatku, betapa Andi sangat berhasil membutakan mata hatimu.

Aisyah sudah merasa berada di titik stres paling tinggi. Dia merasa nyaris gila, mendengar semua kalimat-kalimat bodoh Putri.

“Jadi, Andi sudah memutuskan selingkuhannya itu?” sambung Aisyah, memastian. “Iya, katanya sebelum lamaran kami, dia sudah meninggalkan temannya itu.”

“Semoga, ini akhir yang indah untuk hubungan kalian ya, Put?” harap Aisyah.

Aisyah seperti tidak percaya, semudah itu Andi meninggalkan wanita-wanitanya itu.

Justru dia curiga, ada maksud Andi mempercepat pernikahannya dengan Putri.

***

Setelah pertemuan di lamaran itu, Aisyah semakin jarang bertemu dan berkomunikasi dengan Putri. Aisyah sedang fokus menyelesaikan skripsi, yang tinggal satu tahap lagi. Dia harus mengerahkan seluruh semangat dan kemampuannya menjalani ujian sidang. Inilah, salah satu tahapan, untuk bisa memberikan kebanggaan, untuk kakaknya. Rumi yang selama hidupnya, selalu berjuang untuknya, menyekolahkannya sampai ke jenjang ini.

Setelah dari kampus, Aisyah langsung pulang ke rumah. Tanpa sepengetahuannya, ternyata ayah dan ibunya tampak ada di rumah.

“Ayah dan Ibu kapan datang?” tanya Aisyah, terkejut. “Pagi tadi Nak. Tidak lama setelah kamu berangkat ke kampus, kami tiba.”

“Jadi Ayah dan Ibu menunggu di mana? Kunci rumah kan, enggak kami simpan, karena Ayah dan Ibu enggak mengabari sebelumnya?”

“Ayah dan Ibu, beristirahat di rumah Kak Mira, Dik,” sela Mira, yang tiba-tiba muncul dari arah belakang Aisyah.

Mira adalah tetangga mereka. Sosok wanita yang baik hatinya, sudah seperti keluarga bagi Aisyah dan Rumi.

“Terima kasih ya Kak, maaf sudah merepotkan.”

“Ya enggak merepotkan. Kak Mira malah senang kalau ada teman.”

“Kak Mira enggak ke kantor hari ini?”

“Iya Dik, kebetulan Kak Mira lagi cuti. Ada acara keluarga.”

“Oh iya Kak, terima kasih ya.”

“Kok terima kasih lagi? Bawa Ayah dan Ibumu masuk!”

“Baik Kak.”

Aisyah lantas membuka pintu rumah dan mengajak kedua orangnya untuk masuk.

Mira pun, kembali masuk ke dalam rumahnya.

Semoga kebahagiaan selalu bersamamu Kak, ucap Aisyah, membatin.

“Ayah Ibu, kok enggak memberi kabar mau datang?” lanjut Aisyah. “Ayah dan Ibu, cuma rindu dengan Rumi dan Aisyah.”

“Tetapi biasanya, kami dapat kabar dulu,” Aisyah masih terus penasaran. “Ya enggak usah dipersoalkan Nak, yang penting Ayah dan Ibu sudah ada di rumah ini,” jawab Ayah, tegas.

“Iya deh. Ayah Ibu, istirahat di kamar kak Rumi ya. Aisyah mau bersih-bersih dulu.”

“Iya Nak,” jawab ayah Aisyah. Beliau mengajak sang istri menuju kamar Rumi.

Ayah dan ibu Aisyah adalah guru sekolah menengah pertama. Kedisiplinan dan kecerdasan keduanya, jelas menurun pada kedua anaknya. Ketegasan dan kesabaran ayahnya, menurun pada Rumi, sedangkan kemanjaan dan kebaikan hati Aisyah, menurun dari sang ibu.

Beberapa jam kemudian, ibu beserta Aisyah sudah berkumpul kembali di dapur. Seperti biasa, ibunda langsung terjun ke dapur. Hobby-nya memasak, membuat makanan Aisyah dan Rumi sangat terjamin, apabila ibu mereka datang.

“Ibu, kok tumben datang sih?” tanya Aisyah yang masih penasaran. “Jadi, Ibu enggak boleh datang ya?”

“Bukan begitu Bu. Maksudnya, ini bukan waktu liburan. Memang ayah dan ibu enggak ada jadwal mengajar?”

“Ayah dan Ibu sengaja datang, karena ada hal yang perlu kami sampaikan dan mendesak.”

“Apa sih, Bu? Aku jadi penasaran?”

“Nantilah, kalau kak Rumi sudah kembali dari kantor.”

Aisyah manyun. Kecewa mendengar jawaban sang Ibu. Ibundanya pun, kembali fokus, memasak menu kesukaan kedua putrinya.

Setelah semua menu siap, Rumi juga telah tiba di rumah. Dia pun tak kalah terkejutnya, melihat keberadaan kedua orang tuanya. Setelah mengucap salam dan memeluk kedua orang tuanya, Rumi langsung berujar, “Ayah Ibu datangnya jam berapa?”

“Siang tadi, Nak.”

“Jadi, Aisyah sudah masak nih? Banyak banget makanan di atas meja,” goda Rumi, ke adiknya yang pantang berteman dengan kompor dan minyak.

“Apa sih Kak Rumi, mengejek! Sejak kapan aku masak Kak?!” jawab Aisyah dongkol.

“Kirain, kamu sudah belajar, jadi calon ibu rumah tangga.”

“Mengejek, mengejek lagi!”

Aisyah terdengar jengkel dengan kakaknya, yang terus saja menggodanya.

Tak lupa, Aisyah membawa, semangkuk sup hangat untuk Mira. Dia tidak pernah dilupakan oleh Aisyah. Mira sangat baik dan selalu hadir saat Aisyah dan Rumi membutuhkan bantuan.

“Ayah, kok tumben datang, tidak kabari kami?” tanya Rumi. “Ada hal penting, yang kami mau bicarakan dengan Aisyah.”

“Ada yang penting? Rumi jadi penasaran.”

“Kita tunggu adikmu dulu, setelah itu Ayah akan bicara semuanya.”

“Ada apa sih, Yah? Apa yang penting dengan diriku ini?” tutur Aisyah, kembali dari rumah Mira.

“Kamu duduk dulu!”

“Ada apa sih, Yah?” tanya Aisyah, semakin penasaran. “Begini, saudara Ayah, tante Maya, kamu kenal?”Ayah membuka pembicaraan.

“Tante Maya? Aisyah baru dengar. Aisyah enggak kenal!” jawab Aisyah. “Dia memang tinggalnya di Surabaya, jadi kamu dan Rumi belum pernah bertemu.”

“Tunggu dulu, Yah. Bukannya Ayah itu anak tunggal. Kok Ayah bilang saudara Ayah? Memangnya Ayah punya saudara?” lanjut Aisyah.

“Tante Maya itu saudara se-Bapak Ayah. Ayah memang anak tunggal, tetapi Ayah punya dua saudara dari istri pertama kakekmu yang sudah meninggal.”

“Pantas, kami enggak kenal. Memangnya ada apa, Yah? Ada urusan apa dengan Aisyah?” sambung Aisyah, lagi, meminta penjelasan.

“Tante Maya itu punya anak laki-laki, sudah dewasa dan mapan. Tante Maya berniat menjodohkannya dengan Aisyah.”

Hening!

Aisyah dan Rumi saling bertatapan, kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status