Share

Bab 5

Pertama kalinya, Aisyah masuk di rumah ini. Rumah besar namun terasa sangat sunyi. Setahun bertetangga dengan Mira, Aisyah hanya banyak ngobrol di halaman dan sesekali masak bersama, di rumah mereka.

“Kak Mira mau cerita yang sebenarnya, supaya kamu dengan Rumi bisa tahu kehidupan Kakak yang sebenarnya.”

“Iya Kak, saya siap menjadi pendengar,” jawab Aisyah, sangat bersemangat. “Kak Mira sudah resmi berpisah empat bulan yang lalu Dik, setelah pisah rumah selama setahun.”

“Berpisah? Bukannya Kak Mira dan mas Bambang sudah menikah sepuluh tahun, kenapa bisa sampai pisah Kak?” tanya Aisyah, terkejut.

“Ceritanya panjang Dik. Kalau Aisyah mau dengar, Kak Mira akan cerita.”

“Iya Kak. Saya bahagia sekali, jika Kak Mira mau berbagi. Pasti jadi pelajaran berharga untukku, Kak.”

Mira lantas memulai ceritanya. Persoalan rumah tangganya, campur tangan orang tua suaminya, adalah kenyataan terpahit yang membuat pernikahan mereka berakhir.

“Kami menikah hampir sebelas tahun. Selama itu, keluarga kami sangat hangat dan bahagia. Dia suami yang luar biasa dan sangat menyayangiku sebagai istrinya. Tidak ada masalah yang tidak bisa kami bicarakan, semuanya bisa kami lalui dengan baik.

“Kami menikah saat usia kami masih terbilang muda. Usiaku dua puluh dua tahun sedangkan dia dua puluh lima tahun. Waktu terasa singkat selama sepuluh tahun ini. Keluarganya, pun, sangat menghargaiku, dan memperlakukanku seperti anaknya sendiri.”

Mira menghela napas. Tampak bulir-bulir bening, mulai hadir di ujung matanya.

 “Tetapi, benarlah bahwa kehidupan tak ada yang sempurna. Memasuki tahun sepuluh pernikahan, kami belum diberi keturunan. Walaupun selama ini, hal itu tidak menjadi persoalan bagi Mas Bambang, tetapi aku sadar, bahwa suami dan orang tua, sangat mengharapkan kehadiran keturunan.”

“Aku merasa sangat bersalah dengan keadaan ini. Aku berpikir, saatnya kami memperioritaskan tentang keturunan. Akhirnya, aku mengajak Mas Bambang ke dokter dan memulai program kehamilan.

“Hal ini ternyata juga mulai mengusik pikiran mertuaku. Mereka mulai bertanya, mengapa kami belum memiliki keturunan. Saat itu, di akhir pekan, kami berkunjung ke rumah mertua. Ternyata, itu menjadi pertemuan terakhir Kak Mira dengan mertua.”

“Terakhir?” Aisyah tersentak.

“Iya. Karena setelah itu, keadaan keluarga kami sangat terguncang. Di pertemuan itu, mertua mulai menunjukkan rasa kecewa dan lelahnya menunggu cucu dari kami.”

“Mira, Bambang. Ayah dan Ibu mau bertanya ke kalian berdua,” ucap Ayah saat itu.

“Iya Yah, silakan,” jawab Mas Bambang.

“Kalian kan sudah menikah sepuluh tahun. Ayah dan Ibu mau tahu, apa memang kalian belum memprogramkan keturunan? Karena Ayah dan Ibu, sudah rindu memiliki cucu.”

“Kami selalu berusaha kok, Yah. Cuma mungkin Tuhan belum mempercayai kami untuk memiliki anak.”

“Tujuan kalian menikah kan, untuk memiliki keturunan?”

“Mas Bambang tidak memiliki keberanian di depan Ayahnya. Mas Bambang hanya diam, merasa serba salah menjawab pertanyaan Ayah.”

“Jangan-jangan istri kamu mandul Bambang?” lanjut Ayah.

“Aku kaget mendengar tuduhan Ayah mertuaku. Mengapa dia seakan-akan menuduhku menjadi penyebab kami belum diberi keturunan?”

“Ayah, jangan menuduh Mira seperti itu. Bisa saja Bambang yang tidak bisa memiliki keturunan.”

“Mas Bambang pun angkat bicara, membelaku dari tuduhan Ayahnya.”

“Kalau kamu yang mandul itu tidak mungkin, karena keluarga kita tidak punya riwayat seperti itu. Tidak seperti keluarga Mira! Keluarganya kan, ada yang tidak bisa memiliki anak? Jadi bisa saja Mira juga mandul!”

“Ayah tidak boleh menyimpulkan seperti itu kalau belum ada bukti. Ayah tidak sadar, Ayah menyakiti hati Mira jika Ayah terus menuduhnya seperti itu.”

“Aku merasa sangat tersudut dengan kata-kata Ayah. Kenapa bisa, dia seakan sangat tahu keadaanku, menuduhku mandul. Aku sungguh tidak menyangka pernikahan kami yang telah kami jaga selama sepuluh tahun, benar-benar terguncang di hari itu.”

“Bambang, bagaimana kalau Ayah mencarikan kamu wanita yang bisa memberikanmu keturunan. Kan pilihan kamu, Mira, ternyata tidak bisa memberikan keturunan?”

“Ayah, kenapa bicara seperti itu? Tuduhan Ayah itu belum terbukti, kenapa sekarang justru menambah masalah baru? Bambang tidak setuju dengan pikiran Ayah!”

“Sungguh, aku terkejut dengan ucapan Ayah mertuaku. Mengapa dia sampai berpikiran seperti itu? Dia seperti menganggapku tidak punya telinga mendengar ucapannya. Aku sungguh tidak mengerti, mengapa Ayah seperti itu.”

“Bambang, kamu tidak boleh berbicara seperti itu dengan Ayahmu. Kamu tidak tahu bagaimana Ayah dan Ibu menghadapi ucapan-ucapan rekan-rekan kerja. Mereka menertawai Ayah yang memiliki menantu yang tidak bisa memberikan keturunan. Masa kamu tega membuat Ayah dan Ibu menjadi bahan tertawaan,” ujar Ibu.

“Mas Bambang hanya diam mendengar ucapan Ibu. Mas Bambang memang sangat dekat dengan Ibunya. Dia tidak pernah bisa menentang apa yang dikatakan oleh Ibunya.”

“Aku tidak percaya dengan kejadian itu. Mengapa pernikahan kami terguncang dengan sangat keras seperti ini, saat kami masih menikmati hari-hari yang penuh kehangatan.”

“Begini saja, karena dulu kamu memaksakan kehendak, memilih istri pilihanmu sendiri, berarti kamu tidak boleh menolak kali ini. Ayah akan menyiapkan seseorang yang lebih bisa memberimu keturunan.”

“Baiklah Yah, tetapi Bambang punya satu permintaan. Saya dan Mira mau check up dulu ke dokter.”

“Berarti kalian harus siap dengan keputusan Ayah. Untuk Mira, Ayah mohon maaf, karena ini untuk kelangsungan keluarga kami. Kami dari keluarga besar. Apabila Bambang tidak memiliki keturunan, Ayah dan Ibu akan sangat dipermalukan.”

“Iya Ayah, Mira paham dan siap dengan semua keputusan Ayah, demi kebahagiaan keluarga ini.”

“Aku menghela napas panjang, aku tidak punya kekuatan apa-apa. Jangankan untuk membantah, Mas Bambang saja tidak mampu menghadapi keluarganya sendiri.

“Setelah pertemuan itu Dik, Mas Bambang berusaha menyakinkanku, agar bisa memahami sikap orang tuanya. Tetapi dia lupa, aku wanita, yang juga punya hati dan harga diri.”

Jeda.

Mira menghela napas.

“Ya, akhirnya semuanya terjadi. Kak Mira, benar-benar menghadapi ujian besar pernikahan. Permintaan mertuaku, semakin mengusik ketenangan keluarga kami.”

“Dik Mira, Mas minta maaf. Mas tidak bisa melakukan apa-apa menghadapi sikap Ayah dan Ibu. Semoga hasil pemeriksaan kita nanti hasilnya baik, sehingga apa yang direncanakan Ayah tidak terjadi.”

“Aku juga tidak berbuat apa-apa Mas. Aku hanya seorang istri, yang hanya bisa ikut, ke mana suami membawa perahu pernikahan ini. Tetapi, Mas Bambang harus ingat perjanjian kita di awal pernikahan.”

“Janji apa Dik?”

“Kita pernah membuat perjanjian, bahwa Mira tidak menerima poligami. Apabila itu terjadi, maka secara otomatis pernikahan kita berakhir.”

“Mas harus melepaskan Dik Mira? Pernikahan kita sudah sepuluh tahun Dik. Mana mungkin Mas merelakan pernikahan ini berakhir. Mas masih sangat menyayangi Dik Mira.”

“Kalau Mas tidak ingin melepaskan Mira, berarti Mas rela melihat Mira tersiksa, melihat Mas Bambang dengan wanita lain?”

“Bukan begitu maksud Mas, Dik.”

“Jika Mas masih menginginkan pernikahan kita ini, masih menyayangi Mira, kenapa Mas tidak bisa menjaga Mira dari semua tuduhan Ayah dan Ibu?”

“Dik, Mas berharap, Dik Mira bisa mengerti posisi Mas. Mas sudah pernah membantah Ayah dan Ibu saat memilih Mira menjadi istri. Mas Bambang untuk sekarang, tidak mungkin melawan Ayah dan Ibu lagi.”

“Kalau memang begitu, kita tidak usah ke dokter, Mas. Aku sudah menerima keputusan Mas Bambang. Mira sangat mengerti, keinginan Ayah dan Ibu. Sebagai anak, seharusnya Mas, memang mendengarkan orang tua. Sejak awal, Mas memang sudah membuat kesalahan dengan memilihku!”

“Aku kecewa dengan sosok yang berada didepanku saat itu. Dia tak lagi sama dengan yang aku lihat selama sepuluh tahun ini. Dia berubah. Benarkah cintanya hanya berbatas pada angka sepuluh tahun?”

“Dik, jangan bicara seperti itu. Pemeriksaan kita, setidaknya bisa membuat Ayah dan Ibu mengubah keputusannya.”

“Jadi kalau terbukti aku yang tidak bisa memberikan keturunan, berarti Mas Bambang akan meninggalkan Mira? Begitu ya Mas?”

“Tidak seperti itu. Mas sangat mencintai Dik Mira.”

“Kata cinta itu sebuah pembuktian Mas, bukan cuma susunan huruf yang terucap manis di bibir.”

“Aku sadar, aku hanya wanita yang bisa diperlakukan seenaknya, selalu disudutkan menjadi tersangka atas setiap masalah yang terjadi. Aku akhirnya mengerti, inilah laki-laki yang selama sepuluh tahun bersamaku. “

“Tetapi maaf, aku masih memiliki harga diri dan aku yakin Mas Bambang akan sangat menyesal memperlakukanku seperti itu. Memang benar kebersamaan ini hanya berusia sepuluh tahun.”

Kembali, jeda.

Aisyah benar-benar serius. Dia sama sekali tidak bergeser dari tempat duduknya.

“Kak Mira lanjutkan, ya.”

Aisyah hanya mengangguk. Matanya menyiratkan perasaan duka, atas semua kisah Mira.

“Lagi, pembicaraan tentang keturunan terus berlanjut.”

“Jadi kapan, kita ke dokter Dik?”

“Kita tidak usah ke dokter Mas. Kita anggap saja apa yang dipikirkan oleh Ayah dan Ibu itu benar. Aku yang tidak bisa memberikan keturunan, jadi silakan, Mas ikuti permintaan Ayah dan Ibu.”

“Aku sudah memutuskan berpisah dengan Mas Bambang. Mungkin, aku dianggap terburu-buru mengambil keputusan. Tetapi, aku masihlah seorang wanita. Hanya harga diri yang kupunya saat itu. Kuikhlaskan menjadi janda!

“Aku tak sanggup mendengar kata-kata mertuaku, yang ternyata, tidak pernah menyukaiku. Mereka selama ini, hanya menunggu dan mencari alasan, sehingga bisa memisahkanku kami. Sikap Mas Bambang yang hanya menuruti kata-kata orang tuanya, membuatku semakin yakin, cepat atau lambat, pernikahan kami akan berakhir.

“Mas Bambang dulu menikahiku dengan perjuangan yang sangat berat. Saat orang tuanya tidak merestui hubungan kami, dia berjuang keras meyakinkan keluarganya bahwa aku adalah pilihan terbaik untuknya. Melihat perjuangannya meyakinkan orang tuanya menerimaku, aku menjadi yakin bahwa aku tidak salah memilihnya.

“Tetapi entahlah apakah memang cinta itu punya batas waktu. Dulu impian pernikahan yang bahagia sampai akhir usia, selalu kuhadirkan dalam hatiku. Tetapi semuanya kini berakhir sudah. Apakah memang semuanya harus berakhir? Inilah takdirku.”

“Tidak mudah menjadi seorang janda, kalimat-kalimat yang sangat tidak nyaman di telinga. Aku memang tidak bisa memaksa dunia diam dengan keadaanku sekarang. Tetapi setidaknya aku sudah bisa merangkai hidupku kembali. Karena aku tak akan pernah bisa bahagia, kalau aku hidup hanya untuk memenuhi apa yang orang lain inginkan.

“Tidak lama setelah aku memutuskan berpisah dengan Mas Bambang, aku dengar dia telah menikah. Impian orang tuanya untuk menikahkan Mas Bambang dengan pilihan mereka, akhirnya kesampaian juga, walaupun harus menunggu sepuluh tahun lamanya.

“Kak Mira bahagia, sangat bahagia. Setidaknya rasa sakit itu hadir, sebelum melihat Mas Bambang menikah dengan orang lain. Karena Kak Mira tidak bisa membayangkan, apabila harus melihat suami sendiri bersanding dengan wanita lain, sungguh tak sanggup.

“Ketika dia tidak bisa menjadikanku satu-satunya dalam hatinya, berarti aku bukan pilihan tepat buatnya. Harapan semoga Mas Bambang bahagia dan bisa memenuhi impian orang tuanya terukir dariku. Walaupun pahit tetapi semuanya pernah indah buat Kak Mira.

“Saat ini aku sangat bersyukur, walaupun hidupku tak semudah yang kubayangkan. Setidaknya aku bisa berjalan tanpa rasa sakit yang menyesakkan dada.”

“Kak Mira, maaf Aisyah kebelet ke belakang dulu. Maaf ceritanya di tahan dulu, ya Kak,” sela Aisyah.

Tanpa menunggu jawaban, Aisyah berlari menuju ke rumah mencari toilet. Aisyah sempat berpikir kembali, kok aku enggak cari toilet di rumah kak Mira saja. Ehm, gara-gara kurang tidur aku jadi tidak fokus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status