Share

Bab 6

Setelah berlalu beberapa menit, Aisyah kembali ke rumah Mira. Dia masih antusias dan penasaran dengan perjalanan hidup Mira.

“Aku sudah selesai Kak. Kak Mira boleh lanjut ceritanya.”

“Tetapi Aisyah masih ingat kan, tadi ceritanya sampai di mana?” tanya Mira, meyakinkan bahwa Aisyah menyimak .

“Hehe, iya dong Kak.”

Mira pun melanjutkan ceritanya.

Entah bagaimana Aisyah menjabarkan perasaannya, dengan semua apa yang telah diceritakan Mira. Perjalanan yang begitu tragis, kebahagiaan yang selama ini ternyata hanya terlihat dari luar, namun setelah menyelam ke dalam, ternyata ada hati yang hancur.

“Tak terasa hampir setahun sudah aku berpisah dengan Mas Bambang. Aku tak pernah lagi mendengar berita tentangnya. Mungkin dia sudah bahagia sekarang, pikirku. Namun aku terkejut, saat melihat seorang pria yang sangat kukenal, berdiri tepat dihadapanku saat aku membuka pintu rumah, beberapa bulan yang lalu.”

“Dik Mira, apa kabar?”

“Aku baik. Mas Bambang apa kabar?”

“Aku sangat kaget melihat Mas Bambang datang menemuiku. Apa keperluannya denganku, masih adakah urusan yang belum selesai denganku? Tanyaku saat itu pada diriku sendiri.”

“Silakan masuk Mas?”

“Terima kasih.”

“Ada apa Mas Bambang datang menemuiku?”

“Mas mohon maaf, Dik.”

“Aku kaget, tiba-tiba Mas Bambang berlutut di depanku.”

“Mas, ada apa? Jangan seperti ini, tidak pantas Mas bersikap seperti ini.”

“Mas menyesal Dik, menyesal sekali. Mas telah melakukan kesalahan yang besar, sangat besar.”

“Ada apa Mas? Mengapa Mas seperti ini? Mas dan istri baik-baik saja kan?”

“Mas mohon maaf, Dik Mira. Setelah menikah, ternyata Mas juga tidak bisa memiliki keturunan.”

“Memangnya kenapa Mas? Apa Mas sudah ke dokter?”

“Iya Dik, ternyata Mas yang sakit. Mas yang tidak bisa memiliki keturuan, bukan Dik Mira.”

“Mas mandul?”

“Iya Dik. Mas menyesal sekali, kenapa Mas sampai hati membiarkan Dik Mira pergi. Mas menyesal tidak bisa melindungi Dik Mira, saat orang tua Mas memojokkan Dik Mira.”

“Kita tidak perlu menyesali semua yang sudah terjadi Mas. Mungkin, inilah yang terbaik untuk kita semua, dan pasti ada hikmah untuk kita semua.”

“Tetapi, Mas ingin kembali bersama, Dik Mira.”

“Bukannya Mas sudah menikah”

“Mas Bambang saat ini sendiri Dik. Istri Mas meninggalkan Mas, saat tahu Mas mandul.”

“Ya Tuhan, kasihan sekali Mas Bambang. Apa yang bisa kulakukan untuknya, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kak Mira hanya bisa mengucap kalimat ikut berduka atas perjalannya di dalam hati.”

“Bagaimana Dik Mira, adik mau kembali menjadi Istri Mas, kan?”

“Maaf Mas, tidak bisa.”

“Kenapa Dik, apa Dik Mira tidak bisa memaafkan Mas?”

“Mira sudah maafkan Mas Bambang, cuma Mira sudah punya orang lain, dan tidak lama lagi kami akan menikah.”

“Setelah mendengar jawabanku, Mas Bambang diam dengan raut wajah sangat mengharukan.”

“Mas Bambang kemudian meninggalkan rumah. Hanya doa yang bisa kukirimkan, semoga dia bisa belajar dari semua kejadian ini. Memang penyesalan selalu hadir saat semua tak mampu lagi diubah.”

Aisyah merasakan beban yang berat, dari cerita panjang Mira. Sebagai seorang wanita, dia juga punya harapan kelak akan menikah, memiliki keluarga yang bahagia, seperti Mira yang selama ini dia lihat. Namun, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.

“Itulah cerita kami, Dik,” sebut Mira mengakhiri ceritanya.

“Aku tak bisa berkomentar apa-apa Kak. Aku turut sedih, syok dan tak menyangka Kak Mira kehidupannya seperti ini.”

“Inilah kehidupan,” ujar Mira, tersenyum.

“Selama ini, aku dan kak Rumi melihat Kak Mira bahagia. Walaupun kebanyakan Kak Mira tinggal sendiri, tetapi kami melihat Kak Mira santai dan bahagia,” ujar Aisyah, pilu.

“Begitulah Dik. Sebelum menikah pun, Kak Mira sudah terbiasa jauh dari keluarga dan mandiri. Pernikahan pun, hanya pemenuhan kewajiban saja sebagai seorang wanita. Kak Mira terbiasa bekerja dan fokus pada diri dan keluarga.”

“Jadi bagaimana untuk selanjutnya Kak. Tadi bukannya di cerita, Kak Mira sudah ada calon?”

“Enggak Dik, itu hanya alasan Kak Mira saja. Kak Mira sudah memutuskan untuk sendiri, entah sampai kapan. Penikahan adalah penyatuan dua keluarga, bukan hanya pernikahan Kak Mira dan mas Bambang.

“Kak Mira telah mengetahui bagaimana keluarganya memandang Kak Mira, untuk apa menerimanya kembali? Kak Mira hanya ingin hidup damai saja Dik sekarang. Untuk sekarang, Kak Mira fokus pada pekerjaan. Bulan depan, Kak Mira tidak sendiri lagi kok. Adik Kak Mira yang seusia kamu akan kuliah dan dia akan tinggal menemani Kak Mira di sini.”

“Alhamdulillah. Akhirnya Kak Mira tak lagi sendiri. Semoga kami bisa menjadi wanita tangguh seperti Kak Mira.”

“Ya, makanya kamu belajar yang baik. Selesaikan kuliahnya, bekerja dengan passion kamu. Nikmati masa muda dan masa bebasmu, Dik. Kebahagiaan itu harus kamu ciptakan, bukan dari orang lain. Orang-orang mengatakan menikah itu adalah sumber kebahagiaan. Ya bagi mereka yang beruntung, tetapi yang kurang beruntung? Kalau kamu enggak punya modal apa-apa, ya kamu akan menderita.”

“Terima kasih Kak, nasihatnya. Aku harus belajar banyak dari Kak Mira.”

“Kak Mira doakan, semoga Aisyah kelak kehidupannya jauh lebih beruntung.”

“Kita akan sama-sama bahagia, Kak.”

Cerita tentang kebenaran kehidupan Mira, seakan membuka kembali pandangan Aisyah tentang hidup dan pernikahan. Mira, seseorang yang dewasa, mandiri dan begitu lembut hatinya. Tetapi, masih saja memiliki perjalanan hidup yang begitu rumit dan menyesakkan. Kehidupan adalah misteri.

Tidak terasa senja sudah mulai menyapa.

Aisyah pamit kembali ke rumah. Banyak pelajaran berharga yang Aisyah dapatkan dari cerita Mira. Segala kekhawatiran dan ketakutan, berkecamuk dipikirannya. Cerita tetangga depan mereka, yang selalu menjadi gosip ibu-ibu, ditambah cerita Mira, membuatnya trauma. Itu membuatnya merasa, perlu berpikir panjang, jika harus berumah tangga suatu saat nanti.

Beratnya menjadi seorang wanita, pikirnya.

Aisyah tampak melamun di teras rumah, saat Rumi pulang. “Aisyah? Aisyah? Melamun lagi?”

“Kak Rumi, apa sih? Masuk-masuk enggak ucap salam!”

“Kamu yang menghayal. Kakak sudah dari tadi di sini, kamu enggak sadar. Kamu memikirkan apa sih?”

“Apa sih Kak? Oh ya, aku mau membuat perhitungan sama Kakak. Aku mau cubit Kakak, aku emosi, aku dendam!”

“Coba kalau bisa.”

Rumi berlari menuju kamarnya, tak sempat Aisyah membalaskan dendamnya siang tadi.

“Tunggu saja Kak. Awas Kak ya!”

Setelah Rumi menghilang dari pandangannya, Aisyah masih saja terbawa dengan cerita Mira tadi. Sepuluh tahun dia jalani dengan orang yang salah.

Ya Allah semoga masa depanku bisa lebih baik. Kasihan sepuluh tahunnya terbuang percuma, hanya tersisa sakit dan luka yang dalam.

Pernikahan, pantaslah dikatakan nilainya setara menunaikan seperdua dari ajaran agama, begitu berat dan begitu sulit. Banyak yang bisa berbahagia, namun tak sedikit mereka, yang kurang beruntung dan terluka.

Ahh, kenapa aku berpikir sejauh ini, aku harus fokus menuntaskan dulu satu kewajibanku.

“Aisyah, kamu kenapa? Ada masalah?”

Rumi kembali membuyarkan Aisyah dari pikiran yang telah melayang jauh.

“Itu Kak, aku terpikir persoalan kak Mira.”

“Memangnya ada apa?”

Aisyah pun menceritakan semua apa yang telah diceritakan Mira sore tadi. Semua yang diceritakan Mira, dia sampaikan dengan lengkap ke Rumi.

“Ya, Kak Rumi enggak bisa berkomentar, Syah.”

“Aku pun, enggak tahu berkomentar apa, Kak. Aku seperti tidak percaya, wanita sebaik kak Mira, punya takdir yang pedih seperti ini.”

“Namanya kehidupan. Kita tidak punya kuasa apa pun, untuk bisa menentukan takdir. Semuanya kuasa Ilahi Robbi.”

“Iya Kak, aku paham. Tetapi karena ini, aku semakin takut untuk berumah tangga, trauma Kak.”

“Setiap manusia punya takdir yang berbeda-beda, Dik. Tugas kita hanya terus berdoa, sambil menguatkan diri, untuk menghadapi semua takdir yang mungkin saja, tidak sesuai dengan harapan kita. Tetaplah fokus untuk tanggung jawabmu sekarang, tidak usah dipikir dulu yang belum pasti.”

“Iya Kak.”

“Oh ya. Kakak hampir lupa. Kakak mau melanjutkan cerita tadi siang tentang Pak Wahyu.”

“Kak Rumi memang sangat menjengkelkan!” Aisyah kembali teringat akan suasana hatinya yang begitu buruk siang tadi.

“Ya, Kakak minta maaf. Kakak tadi, tidak sabar menyampaikan kabar itu.”

“Terus, bagaimana Kak Rumi tahu, Pak Wahyu itu anaknya tante Maya?”

“Tadi Pak Wahyu membagi undangan pernikahannya.”

“Ha? Undangan? Cepat banget? Belum sebulan ayah dan ibu ke sini, menjodohkan Aisyah dengan dia, eh sudah ada undangan.”

“Kamu menyesal, ya?” goda Rumi. “Apa sih Kak Rumi. Enggaklah!”

“Kakak tahunya dari undangan Pak Wahyu. Kakak baca nama tante Maya dan om Heru, suaminya. Terus Kakak konfirmasi ke Pak Wahyu, eh ternyata benar.”

“Ternyata dunia begitu sempit ya, Kak. Padahal kemarin aku pikirnya, Pak Wahyu itu suka sama Kak Rumi, ternyata oh ternyata. Dia anak mami!”

“Orang tua Pak Wahyu yang mengenalkannya dengan calon istrinya ini. Pak Wahyu kan, sudah dewasa, mapan, namun belum bisa cari sendiri calon istri, makanya orang tuanya turun tangan.”

“Lho, kok Kak Rumi tahu semuanya?”

“Ya iyalah. Kan Kak Rumi punya kuping, teman kantor enggak berhenti bahas itu!”

“Kok aku jadi tambah lelah ya Kak. Persoalan pernikahan, rumah tangga yang menyakitkan. Bukan aku yang mengalami, tetapi sangat menguras hati dan pikiranku.”

“Ya sudah, sekarang lupakan semua sejenak. Fokus ke ujian sidangmu pekan depan!”

“Siap Kak Rumi.”

Hari yang sama, kembali melelahkan dan menguras hati. Aisyah tak pernah menyangka, hari ini, dia akan mendapatkan berita-berita yang sangat menguras energinya.

Beberapa hari ini, terlalu banyak persoalan kehidupan yang sungguh tak bisa dia jabarkan rasanya.

Ya Allah, semoga takdirku bisa lebih baik.

Malam pun berjalan lebih cepat dari biasanya.

Pagi ini, Aisyah merasa lebih segar dibanding kemarin. Setelah beristirahat seharian kemarin, pagi ini, Aisyah kembali penuh semangat dan siap menyambut hari.

Seperti biasa, Kakaknya Rumi berangkat ke kantor, pagi sekali.

“Kak, aku bisa pinjam kalkulator ya?” tanya Aisyah. “Nanti kamu ambil di kamar Kak Rumi saja. Kak Rumi sudah telat berangkat. Nanti macet.”

“Oke, Kak.”

“Kakak berangkat dulu ya, Assalamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalam,” jawab Aisyah, sambil mencium tangan Rumi.

Perlahan Rumi tak terlihat lagi. Ojek online langganannya telah menunggu sedari tadi.

Kakak terbaikku. Dia rela tak memiliki kendaraan hanya demi memprioritaskan adiknya memiliki kendaraan. Hanya doa tulus, semoga kak Rumi bahagia dan dimudahkan semua impiannya.

Oh, kalkulator.

Beberapa detik tidak fokus, Aisyah akhirnya mengingat bahwa dia membutuhkan kalkulator untuk menyelesaikan tugas dari kampus. Dia pun ke kamar Rumi mengambil kalkulator.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status