MasukSinar matahari menembus celah tirai, membuat ruangan terasa lebih hangat. Seline menggeliat pelan di atas sofa, matanya terbuka perlahan. Sejenak, dia lupa di mana dirinya berada. Tapi ketika pandangannya menangkap langit-langit kamar yang asing, kesadaran langsung menghantamnya.
Dia menoleh ke arah ranjang. Kosong. Seprei putih itu terlihat rapi. Apakah Elang memang lebih sering bangun pagi, atau dirinya yang terlambat bangun pagi ini?
Pertanyaan itu belum sempat dia uraikan saat suara klik lembut dari pintu kamar mandi membuatnya spontan menoleh. Dan refleks itu… langsung jadi penyesalan.
Matanya membelalak.
Elang keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk putih melilit rendah di pinggang. Rambutnya masih basah, air menetes dari ujung helaian, menelusuri garis rahangnya yang tajam lalu turun ke leher dan bahunya yang kokoh.
Seline langsung kaku.
Seline buru-buru membuang muka, wajahnya terasa panas. Tidak mampu mengatakan apapun.
Pria itu berjalan cuek ke lemari, membuka pintunya tanpa tergesa. Dia mengambil sebuah kemeja, lalu dengan gerakan santai, mulai memakainya tanpa sedikit pun merasa risih.
Tanpa sadar, Seline mengintip dari sudut matanya—dan kembali menyesal.
Elang memasukkan satu tangan ke lengan kemeja, lalu yang satunya lagi, gerakan ototnya begitu alami dan maskulin. Dia akhirnya berdiri, ingin segera keluar dari kamar ini sebelum suasananya semakin canggung. Namun baru beberapa langkah, suara Elang menghentikannya.
"Pakaianmu akan membuat orang di rumah ini salah paham.”
Seline mengernyit sebelum akhirnya menunduk dan melihat dirinya sendiri. Seketika, darahnya berdesir naik ke wajah.
Dia masih mengenakan piyama kebesaran Elang. Dengan dua kancing atas terbuka dan sedikit miring.
Seline membeku.
Sial.
“A-aku harus mengenakan baju lain,” jawabnya gugup, kembali duduk di sofa dan merapikan bajunya.
“Tunggu saja, akan ada yang mengantarkan baju untukmu.” Elang berkata tanpa menoleh.
----
Seline melangkah keluar dari kamar dengan ragu.
Udara pagi menyelinap dari jendela koridor lantai dua, membawa aroma kopi dan roti panggang dari arah bawah. Lembut dan mengundang, tapi tak cukup kuat untuk menenangkan kegelisahan di dadanya.
Dia sudah mandi. Sudah berganti pakaian.
Kemeja oversized berwarna krem pucat dipadukan dengan rok payung selutut. Sederhana, sopan, dan terasa nyaman. Tapi Seline tahu, dari bahan dan potongannya, ini bukan pakaian biasa.
Punya Cassandra, mungkin, diantarkan oleh salah satu asisten rumah tangga tadi.
Dia menggigit bibirnya. Berdiri di lorong sepi, antara pilihan untuk turun atau kembali ke kamar. Ia belum siap bertemu siapa pun. Terlebih keluarga Mahardhika yang auranya... jelas bukan tipe yang bisa dia hadapi dengan mudah.
Namun langkah kaki dari arah berlawanan membuatnya terdiam.
Elang muncul dari balik lorong, tampak rapi dengan kemeja yang lengannya sudah digulung sampai siku. Rambutnya sudah lebih rapi. “Mau ke mana?” tanyanya pelan.
Seline tidak langsung menjawab. Dia hanya menunduk, tangannya memainkan ujung lengan bajunya yang sedikit terlalu panjang.
Elang mendesah pendek, lebih seperti helaan napas malas daripada kesal. “Ikutlah sarapan.”
Suara itu terdengar biasa. Datar. Tapi juga mengandung perintah yang tak bisa ditawar. Dan entah kenapa... Seline menurut. Kakinya bergerak mengikuti langkah pria itu menuruni anak tangga.
Meja makan panjang dari kayu mahoni tua mengilap di bawah cahaya lampu gantung kristal. Peralatan makan porselen putih dengan pinggiran emas disusun rapi.
Saat turun ke lantai bawah, aroma kopi dan roti panggang menguar dari dapur. Tapi tidak ada suara canda, tidak ada percakapan pagi yang hangat.
Seline berdiri sejenak, bingung harus duduk di mana, hingga Elang menepuk kursi kosong di sampingnya tanpa berkata apa-apa.
Sampai akhirnya, suara dingin Mama Elang terdengar.
“Mulai hari ini, kamu tinggal di rumah ini. Maka kamu harus tahu batasanmu.”
Seline menegakkan tubuh. “Saya mengerti, Bu.”
“Mama,” koreksi Elang cepat.
Mama Elang menoleh padanya sejenak, lalu kembali pada Seline.
“Kamu tidak perlu berusaha keras menyesuaikan diri. Kami juga tidak mengharapkan banyak.” Kalimat itu tajam, tapi diucapkan dengan tenang. “Tugasmu hanya satu: diam, patuh, dan jangan menimbulkan masalah.”
Papa Elang tidak menanggapi. Tapi gestur tubuhnya setuju—tidak ada ruang untuk diskusi.
Seline mengangguk pelan. “Baik.”
Cassandra tertawa kecil, sinis. “Lucu juga. Biasanya wanita rebutan jadi bagian keluarga ini. Sekarang, satu dipaksa masuk, dan malah disuruh diam.” Dia menyuap sesendok kecil salad. “Ironis.”
Elang meletakan cangkir kopinya. “Cassandra.”
Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat adiknya terdiam—meskipun dengan gumaman kecil yang tidak terdengar jelas.
Seline mengalihkan pandangan. Matanya kembali menyapu meja panjang itu.
Tak ada yang benar-benar ingin dia ada di sini. Ia mengenakan cincin pernikahan, tapi tidak ada keluarga yang membuka pelukannya.
Hanya dingin, dan aturan.
Elang menyandarkan tubuhnya di kursi. “Aku akan pergi ke kantor setelah sarapan. Kalau kau butuh sesuatu, tanyakan ke Bu Lilis.”
“Bu Lilis?” ulang Seline, sedikit bingung.
“Pengurus rumah ini,” sahut Mama Elang, cepat. “Yang akan menjaga agar kamu tidak menyentuh hal-hal yang tidak seharusnya kamu sentuh.”
Seline mengangguk. Ia tak ingin memperpanjang apa pun. Tidak pagi ini. Tidak dalam rumah yang terasa seperti perang diam.
Tapi dalam hatinya, satu hal kembali menguat:
Ia bukan istri yang mereka terima. Hanya seseorang yang kebetulan memakai gelar itu.
Dan dalam keluarga Elang yang penuh bayangan ini, kehadirannya hanyalah sebuah peran kecil—yang bisa saja dihapus kapan pun mereka inginkan.
Bab 70 Bersama Sampai AkhirLangit sore itu redup, seolah ikut berduka. Angin menggeser dedaunan, menebarkan aroma tanah basah dari makam yang baru ditutup. Di depan nisan marmer putih tanpa hiasan berlebih, Elang berdiri mematung. Tangannya mengepal, kukunya menancap di telapak. Namun rasa sakit itu tidak sebanding dengan apa yang sedang ia rasakan di dalam dada.Di belakangnya, suara langkah para pelayat perlahan menjauh. Tinggal ia, keheningan, dan nama Seline yang terukir rapi.“Seline…” suaranya pecah tipis, “maafkan aku.”Jika saja ia tidak lengah.Jika saja ia lebih cepat.Jika saja ia tidak membiarkan Seline menunggu sendirian.Terlambat.Semuanya sudah terlambat.Dan kini, perempuan yang ia cintai. Perempuan yang tidak pernah menuntut apa pun, meski layak menerima segalanya, pergi begitu cepat.Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, Elang bertanya pada dirinya sendiri. Apakah ini hukuman?Hukuman karena pernah mempermainkan ikatan pernikahan mereka. Pernikahan yang sejak a
Bab 69 Dua Kehidupan Baru Suara langkah Elang menggema ketika ia berlari masuk ke ruang IGD, memangku tubuh Seline yang gemetar dan menahan perutnya. Nafasnya tersengal, dan wajahnya pucat hampir tanpa warna.“Dokter! Tolong istri saya!” Suara Elang pecah menjadi panik. Tangannya bergetar, memeluk Seline seolah takut perempuan itu menghilang jika dilepaskan sedetik saja.Para perawat segera membawa brankar.“Saya ambil alih, Pak! Taruh istri anda di sini!”Seline meringis kesakitan. “E—Elang… perutku…”Elang mengikuti brankar yang bergerak cepat, wajahnya tegang.“Seline, aku di sini. Sayang, bertahan sedikit lagi, ya? Tolong bertahan.”Detak jantung janin terdengar cepat dan tidak stabil.Dokter wanita berusia empat puluhan memasuki ruangan. “Kondisi kontraksinya sudah sangat kuat. Ada perdarahan dalam. Kita harus segera lahirkan bayi-bayinya.”“Prematur?” tanya Elang dengan suara yang hampir tidak keluar.“Ya. Tapi itu satu-satunya cara menyelamatkan anak dan ibu.”Seline menatap E
Bab 68 KepanikanKarina duduk di balik kemudi, kedua tangannya mencengkeram setir hingga buku jarinya memutih. Sejak Elang dan Seline meninggalkan apartemen tadi, dia mengikuti dari jauh. Bukan untuk berbicara. Bukan untuk meminta penjelasan.Hanya untuk melihat.Untuk memastikan apa yang selama ini menusuk-nusuk isi kepalanya benar. Elang memperlakukan Seline dengan cara yang tidak pernah ia dapatkan.Dari kejauhan, Karina melihat Elang membuka pintu mobil untuk Seline.Di lobby rumah sakit, dia melihat Elang meraih tangan Seline agar tidak terpeleset.Dan saat keluar dari pemeriksaan kandungan, Elang menunduk sambil tersenyum ke arah perut Seline, perhatian penuh yang selama ini Karina impikan.Di mata Karina, pemandangan itu seperti garam yang ditabur di atas luka yang belum sempat mengering.Seharusnya itu aku. Seharusnya aku yang mengandung anaknya.Seharusnya aku yang mendapatkan semua itu.Karina menggigit bibirnya sampai terasa pahit. Pikirannya kacau, penuh serpihan hidup yan
Bab 67 Di Luar KendaliSeline naik ke ranjang pemeriksaan dengan bantuan Elang. Perutnya terbuka sedikit saat dokter mengoleskan gel dingin. Elang berdiri di sisi lain ranjang, mengusap rambut Seline pelan.Monitor menyala. Dalam hitungan detik, dua bentuk kecil muncul di layar.Dokter tersenyum. “Lihat, dua-duanya aktif sekali hari ini.”Elang mendekat, hampir tidak berkedip. “Mereka kelihatan lebih besar.”“Betul. Dan posisinya mulai turun sedikit,” jelas dokter. “Ini tanda mereka sedang bersiap lahir.”Seline menggenggam lengan Elang lebih kuat. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Campuran bahagia, cemas, dan tidak percaya waktu berlalu begitu cepat.Detak jantung terdengar lewat speaker.Dua detak. Dua ritme berbeda tapi saling mengisi.Elang menelan ludah. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.“Ini… luar biasa.”Dokter melanjutkan pemeriksaan: memeriksa cairan, posisi kepala, dan kondisi plasenta.“Syukurlah, sejauh ini semuanya sangat baik,” kata dokter.Seline menghela napa
Bab 66 Menengok Si KembarUsia kandungan Seline memasuki delapan bulan. Perutnya membulat sempurna, besar, dan terasa penuh oleh dua nyawa yang tumbuh di dalamnya. Pagi itu, apartemen dipenuhi aroma lembut sabun dari kamar mandi. Seline baru selesai mandi dan masih mengenakan bathrobe tipis yang terikat longgar di pinggang.Ia duduk di depan meja rias, mengeringkan rambutnya perlahan. Pantulan wajahnya di cermin tampak lebih lembut, lebih matang, dan teduh. Meski tubuhnya berubah, Seline tahu Elang tidak pernah sekalipun menatapnya dengan cara yang membuatnya merasa tidak cantik.Suara langkah kaki pelan terdengar mendekat.Elang.Perlahan, pria itu berdiri di belakang Seline, menunduk lalu memeluk bahunya hati-hati dari belakang, menjaga agar tidak menekan perut Seline.“Pagi,” gumamnya, mencium pipi Seline lama, seolah baru menemukan tempat pulang.Seline tersenyum kecil. “Pagi juga. Kita harus bersiap sebelum terlambat.”Elang tidak menjawab. Dia menggeser rambut basah Seline ke sa
Bab 65 PenetralanSore itu apartemen terasa jauh lebih tenang dibanding beberapa hari terakhir. Elang tertidur di sofa, bukan terlelap sepenuhnya, tapi lebih seperti seseorang yang akhirnya bisa meletakkan beban berat dari pundaknya.Seline duduk di karpet, menyender lembut di sisi sofa sambil memandang wajah Elang yang terlihat sedikit lebih damai. Di pangkuannya ada mangkuk kecil berisi irisan buah segar. Aroma manisnya memenuhi ruang tamu.Ketika Elang membuka mata perlahan, hal pertama yang dilihatnya adalah Seline yang sedang mengaduk-aduk buahnya dengan garpu kecil.“Kau bangun?” tanya Seline pelan tanpa menoleh.Elang menarik napas dalam. “Berapa lama aku tertidur?”“Tidak lama.” Seline menawarkan sepotong buah ke arahnya. “Makan dulu. Kau belum sentuh apapun sejak pulang.”Elang menerima dan memakannya. Untuk pertama kalinya hari itu, rasa manis itu terasa benar-benar masuk ke tubuhnya. Dia menatap Seline yang kini ikut duduk di sofa, menyelipkan rambutnya yang jatuh ke pipi.







