Bab 4 Terjebak di Pernikahan yang Salah
Seline berdiri di lorong panjang rumah mewah ini, matanya menyapu sekeliling dengan bingung. Rumah ini terlalu luas, terlalu sepi, dan terlalu asing. Dinding putih bersih, lantai marmer dingin di bawah telapak kakinya, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-langit tinggi membuat tempat ini lebih mirip museum daripada rumah. Dia menghela napas, mencoba mengingat arahan yang diberikan tadi. Seharusnya kamar Elang ada di ujung lorong. Tapi semua pintu terlihat sama. Alih-alih kembali ke ruang tamu untuk bertanya, Seline memilih menebak sendiri. Di ujung lorong, ada satu pintu yang sedikit terbuka. Dengan ragu, dia mengetuk pelan sebelum mendorongnya lebih lebar. “Elang?” Pria itu ada di dalam, duduk di kursi dekat jendela besar yang menghadap halaman belakang. Jas pernikahannya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tanpa usaha apa pun, dia tetap terlihat rapi—dan entah kenapa, sedikit berwibawa. Elang menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela. “Kamu datang juga,” katanya datar. Seline mendekat beberapa langkah, tapi tetap menjaga jarak aman. “Kita perlu bicara.” “Tentu.” Elang tidak menambahkan apa-apa, membiarkan keheningan menggantung. Seakan dia sengaja menunggu Seline yang memulai. Seline mengepalkan tangan, berusaha menenangkan pikirannya. “Kenapa kamu tidak protes? Kenapa kamu membiarkan pernikahan ini tetap berjalan, bahkan setelah tahu aku bukan Alana?” Elang menghela napas, lalu akhirnya berbalik menatapnya. “Karena aku tidak peduli siapa pengantinnya.” Seline terdiam, tidak yakin apakah dia baru saja dihina atau hanya dijadikan pion dalam permainan besar. “Maksudmu?” “Pernikahan ini bukan soal aku atau kamu. Ini soal kesepakatan bisnis antara keluarga kita.” Elang menatapnya lekat-lekat. “Selama ada seseorang yang berdiri di sampingku di altar tadi, semuanya tetap berjalan sesuai rencana.” Jantung Seline berdebar tidak nyaman. “Jadi aku cuma alat?” Elang tidak menjawab, tapi diamnya sudah cukup menjelaskan. Seline menelan ludah. Ada sesuatu yang tidak beres di sini, tapi dia belum bisa memahami seutuhnya. “Kalau aku pergi sekarang, itu juga nggak masalah buatmu?” Elang menatapnya lama sebelum menjawab, suaranya tetap tenang, tapi ada sesuatu di balik nadanya yang membuat Seline merinding. “Kamu nggak akan pergi.” Seline mengangkat dagu, menantang. “Dan kalau aku tetap pergi?” Elang bersandar ke kursinya. “Kamu bisa pergi, tapi sepuluh juta yang Alana janjikan buatmu akan langsung ditarik kembali.” Dia menatapnya tajam. “Dan jangan lupa, pernikahan ini melibatkan lebih banyak orang daripada yang kamu kira. Kamu mungkin bisa lari, tapi keluargamu?” Seline membeku. Itu bukan ancaman yang kasar atau agresif, tapi lebih ke peringatan dingin. Seolah Elang hanya menyatakan fakta yang tidak bisa diganggu gugat. “Kamu mengancamku?” suaranya melemah. Elang mengangkat bahu. “Aku hanya memastikan kamu paham konsekuensi.” Seline mengepalkan tangan, napasnya mulai tidak teratur. Dia ingin lari, tapi ke mana? Kembali ke kehidupannya yang sulit? Tapi bertahan di sini berarti harus menjalani pernikahan yang tidak dia inginkan. “Aku bukan Alana,” katanya, mencoba peruntungan lain. “Keluargamu nggak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari pernikahan ini.” Elang tersenyum kecil—senyum yang tidak menghangatkan, malah terasa dingin. “Oh, mereka tahu itu. Justru karena itu, mereka membiarkan pernikahan ini tetap berjalan.” Seline mengernyit. “Maksudmu?” Elang berdiri dan mendekatinya perlahan. Seline refleks mundur setengah langkah, tapi kemudian berhenti. Dia tidak mau terlihat lemah. “Mereka nggak pernah menginginkan Alana sejak awal,” kata Elang, nyaris seperti bisikan. “Mereka menginginkan seseorang yang lebih… bisa dikendalikan.” Seline merasakan bulu kuduknya meremang. “Dan mereka pikir orang itu aku?” Elang tidak menjawab, tapi tatapannya sudah cukup memberi kepastian. Seline menelan ludah. Dia terjebak. Tidak pernah dalam hidupnya dia merasa seterjebak ini. Sejak kecil, hidupnya memang sulit, tapi setidaknya selama ini dia masih punya kendali atas dirinya sendiri. Sekarang? Dia bahkan tidak tahu ke mana hidupnya akan berjalan. “Aku bukan boneka yang bisa mereka kendalikan,” kata Seline akhirnya, suaranya bergetar antara marah dan takut. Elang mengangkat alis. “Bagus kalau begitu.” Seline mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Elang menarik napas, lalu berjalan melewatinya. “Ikuti aku.” Seline tetap di tempat. “Ke mana?” “Kamar kita.” Dua kata itu membuat Seline menegang. Kamar mereka? Tidak, dia belum siap untuk itu. “Aku akan tidur di ruangan lain,” katanya cepat. Elang berhenti, menoleh dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Aku nggak tertarik melakukan hal yang nggak kamu inginkan.” Seline tidak tahu apakah dia harus merasa lega atau semakin waspada. Tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa lagi, Elang sudah lebih dulu berjalan pergi. Setelah ragu beberapa detik, Seline akhirnya mengikuti. Tapi ketika masuk ke dalam kamar, dia langsung tertegun. Ruangan itu luas, dengan desain minimalis yang didominasi warna netral. Ada ranjang king-size di tengahnya, lemari besar di sisi kanan, serta jendela kaca yang menghadap taman belakang. Hanya ada satu ranjang. “Tunggu… ini kamar kita?” suara Seline meninggi, matanya menatap Elang penuh tuntutan. Elang menutup pintu dengan tenang, menyimpan jasnya, lalu melirik sekilas. “Iya. Kenapa?” Seline mengepalkan tangan. “Aku kira kita bakal tidur terpisah.” Elang mengangkat bahu. “Ini rumah orang tuaku. Kalau kita tidur di kamar terpisah, itu cuma bakal menimbulkan kecurigaan.” “Dan kalau aku nggak nyaman?” Elang duduk di sofa, tampak santai. “Ranjangnya cukup besar. Aku nggak akan nyentuh kamu.” Nadanya datar, seolah tidur seranjang dengan perempuan asing bukan masalah besar baginya. Seline menghela napas panjang. “Terserah.” Dia berjalan ke sisi ranjang, mengambil bantal, lalu melemparnya ke sofa. “Aku tidur di sini.” Elang tidak membantah, hanya berdiri dan masuk ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup, Seline duduk di sofa dengan napas berat. Bagaimana hidupnya bisa berubah drastis dalam sehari? Matanya melirik pintu kamar mandi. Suara air terdengar samar. Pikiran itu berputar di kepala Seline. Apa benar Elang itu gay? Alana terdengar begitu yakin saat mengatakannya. Bahwa pernikahan ini tidak akan pernah terjadi karena Elang tidak tertarik pada perempuan. Itu juga alasan Seline berani menerima kesepakatan gila ini—karena dia mengira semuanya akan berakhir sebelum benar-benar dimulai. Tapi nyatanya, pernikahan itu tetap berlangsung. Seline melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Suara air yang mengalir terdengar samar. Elang memang punya aura yang sulit ditebak. Sikapnya dingin, tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun padanya, bahkan saat mereka kini resmi menikah. Tapi… apakah itu cukup menjadi bukti? Di usianya yang menginjak 32 tahun, Elang masih melajang. Tidak ada kabar tentang hubungan masa lalunya dengan perempuan mana pun. Bahkan saat pernikahan ini terjadi, dia terlihat datar—seolah tidak peduli sama sekali. Kalau dia memang gay, kenapa dia tetap mau menikah? Seline menggigit bibirnya, merasa semakin gelisah. Satu hal yang dia tahu pasti—apa pun yang ada di balik semua ini, Elang bukan pria biasa. Dan kini, dia harus berbagi kehidupan dengan seseorang yang tidak bisa dia mengerti sama sekali.Bab 5 Pagi yang Canggung Elang duduk di stool bar dapurnya, menyesap wine dari gelas tinggi. Lampu-lampu rumah mulai dimatikan satu per satu, meninggalkan temaram cahaya yang berasal dari lampu gantung di atas meja dapur. Waktu sudah larut, tapi kantuk tidak juga menghampirinya. Pernikahan ini bukan keinginannya. Jika dia mau, dia bisa saja menolak. Tapi situasi memaksanya untuk menerima. Beberapa hari lalu, sebuah artikel berita menyebar luas, menuduhnya memiliki kelainan seksual. Isu itu didukung dengan foto dan video dirinya bersama seorang pria yang belakangan mengaku sebagai gay. Sialnya, pria itu mengklarifikasi bahwa berita tersebut benar adanya, dan Elang ikut terseret. Fakta bahwa dia masih melajang di usia 32 tahun, tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun, hanya memperparah spekulasi. Bukan hanya dirinya yang terkena dampaknya, tapi juga harga saham perusahaan keluarganya. Skandal ini mengguncang bisnis ayahnya, membuat kepercayaan kolega mereka menurun.
Bab 4 Terjebak di Pernikahan yang Salah Seline berdiri di lorong panjang rumah mewah ini, matanya menyapu sekeliling dengan bingung. Rumah ini terlalu luas, terlalu sepi, dan terlalu asing. Dinding putih bersih, lantai marmer dingin di bawah telapak kakinya, serta lampu kristal besar yang menggantung di langit-langit tinggi membuat tempat ini lebih mirip museum daripada rumah. Dia menghela napas, mencoba mengingat arahan yang diberikan tadi. Seharusnya kamar Elang ada di ujung lorong. Tapi semua pintu terlihat sama. Alih-alih kembali ke ruang tamu untuk bertanya, Seline memilih menebak sendiri. Di ujung lorong, ada satu pintu yang sedikit terbuka. Dengan ragu, dia mengetuk pelan sebelum mendorongnya lebih lebar. “Elang?” Pria itu ada di dalam, duduk di kursi dekat jendela besar yang menghadap halaman belakang. Jas pernikahannya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tanpa usaha apa pun, dia tetap terlihat rapi—dan entah kenapa, sedikit berwibawa. Elang m
Bab 3 Kesepakatan Seline turun dari mobil dengan sedikit kesulitan. Gaun pengantinnya yang panjang menyulitkan gerakannya, ujung kain tersangkut di pintu, membuatnya harus sedikit membungkuk untuk melepaskannya. Tidak ada yang membantunya. Elang sudah lebih dulu melangkah pergi, seolah tidak peduli apakah istrinya bisa keluar dari mobil dengan baik atau tidak. Dibiarkan begitu saja, Seline merasa... tidak dianggap. Bukankah biasanya pengantin pria membantu pasangannya turun? Atau setidaknya menoleh untuk memastikan semuanya baik-baik saja? Tapi tidak dengan Elang. Pria itu berjalan santai menuju pintu rumah tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Seline menghela napas, menggigit bibirnya untuk menahan perasaan tidak nyaman yang mulai muncul di dadanya. Dia mengikuti langkah Elang dengan sedikit ragu, mengamati sekeliling rumah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Udara dingin menyelusup di kulitnya, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya meremang. Ada sesuatu tentang tempat ini
Bab 2 Pria itu Bernama Elang "Saya mau pernikahan ini tetap di langsungkan." Semua orang membeku. Mata mereka kini tertuju pada satu orang—Ibu Lusi, ibu dari mempelai pria. Seline menegang. Suara perempuan itu tenang, tapi ada ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Apa?” Ayah Alana menatapnya, jelas tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ibu Lusi meliriknya sekilas, lalu kembali berbicara, kali ini matanya tertuju pada Selin. “Saya hanya butuh mempelai wanita untuk menjadi istri anak saya. Tidak harus Alana.” Jantung Seline berdegup lebih kencang. Tidak harus Alana? “Tapi kesepakatan kita—” Ayah Alana masih mencoba bernegosiasi, wajahnya penuh ketegangan. Ibu Lusi tersenyum tipis. “Tidak ada yang berubah dari kesepakatan awal, selama pernikahan ini tetap berlangsung.” Selin merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan ini yang seharusnya terjadi. Seharusnya, setelah kebohongan ini terungkap, pernikahan akan dibatalkan. Seharusnya, dia bisa pergi d
Seline Agnia Yorin duduk di depan cermin dengan jari-jari saling meremas di atas pangkuannya. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Napasnya terasa berat, dadanya sesak. Bayangan dirinya yang terpantul di cermin memperlihatkan sosok pengantin perempuan dengan riasan natural. Wajahnya tampak tenang, tapi hanya dia yang tahu, di balik tudung putih yang menjuntai lembut menutupi wajahnya, pikirannya sedang kacau. Seharusnya ini bukan dia. Seharusnya, yang duduk di sini adalah Alana, sahabatnya. Selin mengalihkan pandangannya ke sosok Alana yang berdiri di tepi jendela kamar, bersiap melarikan diri. Gaun pengantin sudah bukan miliknya lagi, melainkan Seline yang mengenakannya sekarang. Rencana ini sudah mereka susun jauh-jauh hari. Sejak awal, Alana menolak pernikahan yang diatur oleh orang tuanya. Dia punya pacar, dia punya pilihan sendiri. Hidupnya bukan sekadar skenario yang bisa ditulis orang lain. Mereka bertukar pakaian tepat setelah sang makeup artist undur diri. Semua