Elang duduk di stool bar dapurnya, menyesap wine dari gelas tinggi.
Lampu-lampu rumah mulai dimatikan satu per satu, meninggalkan temaram cahaya yang berasal dari lampu gantung di atas meja dapur. Waktu sudah larut, tapi kantuk tidak juga menghampirinya.
Pernikahan ini bukan keinginannya. Jika dia mau, dia bisa saja menolak. Tapi situasi memaksanya untuk menerima.
Beberapa hari lalu, sebuah artikel berita menyebar luas, menuduhnya memiliki kelainan seksual. Isu itu didukung dengan foto dan video dirinya bersama seorang pria yang belakangan mengaku sebagai gay. Sialnya, pria itu mengklarifikasi bahwa berita tersebut benar adanya, dan Elang ikut terseret.
Fakta bahwa dia masih melajang di usia 32 tahun, tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun, hanya memperparah spekulasi.
Bukan hanya dirinya yang terkena dampaknya, tapi juga harga saham perusahaan keluarganya. Skandal ini mengguncang bisnis ayahnya, membuat kepercayaan kolega mereka menurun. Dan solusi yang akhirnya diambil? Pernikahan.
Sebuah pernikahan yang dihadiri oleh para kolega bisnis ayahnya, menjadi bukti bahwa berita yang beredar itu tidak benar.
Dunia saat ini memang lebih terbuka, tetapi justru itu masalahnya—orang-orang jadi lebih mudah menaruh curiga. Seorang pria yang memilih menyendiri dan tidak pernah terlibat dengan perempuan langsung dicurigai berbeda.
Ponselnya berdenting, ada pesan masuk dari salah satu temannya di studio musik tempatnya biasa sedikit menyingkir dari pekerjaannya.
“Tidakkah kau harus menjelaskan sesuatu padaku, bro? Pernikahan mendadak, pengantin diganti, lalu … rumor menyebar, apa harus saat ini juga aku yang mengunjungimu? Ah seharusnya aktor sialan itu aku pukul saja saat aku menemuinya!?”
Pesan itu sedikit mengundang dengusan pelan dari Elang, bukan kesal tapi terhibur. Tangannya mengetikkan balasan singkat di sana.
“Semuanya terlalu tiba-tiba, bahkan aku menikahi seorang gadis yang tidak kukenal. Aku akan sedikit menjelaskannya nanti saat aku ke studio.”
Balasannya langsung mendapat balasan lagi dari rekannya itu, membuat Elang kian mendengus.
“Oh, malam pertama ya, maafkan aku lupa. Good luck, bro!”
Elang terkekeh, mengayunkan gelasnya dengan gerakan malas.
Dia pria normal. Dan teman-teman dekatnya mengetahui itu. Dia hanya memilih untuk tidak membiarkan siapa pun masuk lagi ke dalam hidupnya dan mengacaukannya.
Sebagai putra sulung, dia tetap dibebankan peran dalam perusahaan keluarganya—Mahardika Corp, sebuah konglomerasi yang bergerak di berbagai bidang, termasuk real estate, investasi, dan hiburan. Kini ia ada di posisi puncak sebagai CEO, yang membuatnya terlibat penuh dalam pengambilan keputusan besar, pengawasan operasional, dan arah strategis perusahaan.
Setelah cukup lama berada di dapur dengan segelas wine di tangan, Elang akhirnya memutuskan kembali ke kamarnya, kantuk mulai menyerang.
Sudah lama dia tidak benar-benar tinggal di rumah ini. Biasanya dia menetap di apartemen mewah miliknya—tempat yang lebih tenang, jauh dari segala dinamika keluarga.
Begitu dia membuka pintu kamar, pemandangan yang tersaji di depannya membuat langkahnya terhenti.
Seline.
Gadis itu tertidur di atas sofa, tubuhnya terbungkus selimut, dengan helaian rambut berantakan di atas bantal.
Elang memilih untuk melangkah ke kasur besarnya, merebahkan tubuhnya yang lelah. Sebelum benar-benar memejamkan mata. Ia sekali lagi menoleh pada Seline, kilasan cepat kejadian hari ini terulang begitu saja, membuat dahi Elang mengernyit heran.
“Cukup tahu diri,” gumamnya pelan.
Saat dirinya sudah merebahkan diri di ranjang nyamannya. Seline terlihat bergerak dan membuka matanya. “Elang,” panggil Seline pelan.
Tak ada jawaban, Elang hanya memperhatikan tanpa suara. Di sana ia melihat Seline sedikit merapikan rambutnya. “Aku ada pertanyaan lain. Apa kita akan tinggal di sini? Bolehkah aku setiap hari mengunjungi ibu dan adikku?” Pertanyaan itu pelan dan sedikit ragu, dirinya menunggu Elang kembali ke kamar hingga terlelap.
Elang mengangkat sebelah alisnya karena ia baru ingat telah meminjamkan piyamanya pada Seline. “Seperti yang aku katakan, kau bisa beraktifitas seperti biasa, hanya saja jangan membuat masalah.”
“Jika begitu, besok pagi-pagi aku akan menjenguk ibuku dan menunggunya hingga adikku pulang sekolah, dan setelahnya aku bekerja.”
Seline berharap jawaban Elang hanya persetujuan, dirinya harus datang dan mengurus ibunya.
“Kau bekerja dimana?” tanya Elang.
“Waiters di Bar Solis milik Kak Mario.”
Elang lalu mengangguk sebagai jawaban, membuat Seline sedikit bingung, maka ia lanjut bertanya, “Jadi, boleh?”
“Boleh, kau tidak perlu aku antar jemput, kan?”
Di sofa Seline menggeleng cepat. “Tidak. Aku hanya memastikan, tidak ingin itu menjadi masalah nantinya.”
“Bagus, pikirkan baik-baik setiap langkahmu, karena di belakang namamu kini akan ada namaku.”
Malam tiba. Hujan baru saja reda ketika suara pintu apartemen terbuka.Seline, yang tengah menyelesaikan rajutannya di ruang tengah, menoleh. Ia sempat mengira Elang akan makan di luar. Pria itu sempat berpesan agar Seline tidak memasak malam ini. Tapi ternyata, pria itu justru pulang membawa kantong belanjaan di salah satu tangannya.Jaket Elang terlihat sedikit basah. Mungkin terkena hujan saat ia kembali ke mobil di parkiran setelah berbelanja.Tanpa pikir panjang, Seline bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri pria itu.“Kau kehujanan,” ucapnya pelan, membantu melepaskan jaket Elang.“Sedikit,” jawab Elang santai.Ia melangkah menuju dapur, meletakkan kantong plastik di atas meja, lalu mulai menggulung lengan kemejanya. Gerakannya tenang dan rapi. Ia mencuci tangan terlebih dahulu, kemudian mulai mengeluarkan satu per satu bahan belanjaannya.Aroma segar dari bahan makanan mentah mulai menguar di udara.Seline mendekat, berdiri di ambang dapur sambil memerhatikannya dengan pa
Bel apartemen berbunyi siang itu.Seline sedang duduk di sofa dekat jendela, sibuk merajut seperti biasanya. Jemarinya refleks berhenti bergerak. Tanpa rasa curiga atau pikiran macam-macam, ia bangkit dan melangkah ke arah pintu.Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di sana membuat Seline langsung terdiam.Arlena.Masih dengan pesonanya yang tak bisa diabaikan. Wajah menawan, gaya berpakaian berkelas, dan aura bintang yang begitu kuat meski tanpa panggung. Namun kali ini, yang berbeda adalah sorot matanya. Tidak ada lagi senyum palsu atau basa-basi manis seperti sebelumnya.Arlena menatap Seline dengan cara yang tak lagi menyembunyikan niatnya. Sikapnya dingin, tajam, dan tanpa kepura-puraan.Seline tahu siapa yang berdiri di hadapannya.Dan Arlena tahu siapa perempuan yang membuka pintu itu.“Elang sedang tidak di rumah,” ucap Seline tenang, nadanya datar. Seolah tahu pasti tujuan kedatangan Arlena. Siapa lagi kalau bukan untuk mencari Elang?Tapi Arlena hanya tersenyum tipis. Sen
Malam harinya, Elang kembali ke rumah itu.Lampu teras menyala temaram saat mobilnya berhenti di depan pagar besi hitam yang megah. Tidak lama setelah ia menekan bel, pintu utama terbuka. Sosok Arlena muncul di ambang pintu. Senyumnya menyambut dengan suka cita, seolah tak ada riak sedikit pun di antara mereka."Masuklah," ucap Arlena pelan, dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Ia menyingkir sedikit memberi jalan, membiarkan Elang melangkah masuk ke dalam rumah.Interior rumah itu hangat dan berkelas. Warna-warna netral dan pencahayaan remang membuat suasana terasa nyaman, nyaris terlalu nyaman untuk kunjungan yang penuh ketegangan seperti malam ini.Arlena sudah mengenakan pakaian tidurnya. Satin lembut berwarna pucat yang dibalut jubah tidur panjang, menjadikan penampilannya tetap sopan. Tapi jelas tidak sembarang penampilan. Semuanya terasa dirancang. Terencana.“Kau datang juga akhirnya,” kata Arlena dengan senyum penuh arti. Ia menyodorkan secangkir teh hangat, tapi Elang t
Seline menatap keluar jendela pesawat, awan-awan putih melayang tenang di luar sana, kontras dengan pikirannya yang mulai penuh tanya. Ia menoleh ke arah Elang yang duduk di sebelahnya. Diam, menunduk, dengan rahang yang mengeras. Sejak mereka berangkat dari hotel tadi, Elang tak banyak bicara.Ada sesuatu. Seline bisa merasakannya. Tapi entah itu urusan pekerjaan, masalah pribadi, atau… sesuatu yang lain, dia tidak tahu pasti.Perlukah dia bertanya? Apa dia harus memaksa Elang bicara?Tapi mungkin, untuk saat ini, Elang hanya butuh diam. Bukan karena dia ingin menjauh, tapi karena dia sedang menyusun sesuatu dalam dirinya yang belum bisa dibagi. Dan Seline memilih untuk menghormati itu.Dia mengulurkan sebelah tangannya, perlahan menggenggam tangan Elang yang bebas di pangkuannya.Elang menoleh. Sorot matanya menyiratkan kelelahan, tapi juga kelegaan. Seolah tanpa kata, Seline sudah melakukan hal yang tepat.Elang membalas genggamannya. Erat.Dan dalam keheningan itu, tanpa percakapa
Setelah Seline menjawab dengan anggukan mantap, Elang kembali mencium bibirnya. lebih dalam, lebih yakin. Seline merespons dengan pelan tapi pasti, tangannya naik ke dada Elang, meraba kancing yang masih tersisa di kemejanya. Jemarinya sempat gemetar, berusaha membuka satu per satu, tapi gerakannya tak cukup cepat. Elang membiarkannya sebentar, sebelum akhirnya mengambil alih dengan cekatan. Beberapa detik kemudian, kancing-kancing itu terlepas, dan kemejanya meluncur ke lantai, dibiarkan begitu saja. Tubuh mereka makin dekat. Nafas makin berat. Tak ada kata-kata, hanya suara napas yang mengisi ruangan. Dengan gerakan lembut, Elang menggiring Seline untuk rebah di atas ranjang. Ia tidak tergesa. Tak sekalipun memaksa. Jari-jari Elang menyapu rambut Seline ke samping, lalu meraih resleting di punggung gaun yang Seline kenakan. Ia menurunkannya perlahan. Hanya cukup untuk mengekspos kulit bahu yang pucat dan hangat. Lalu bibirnya mendarat di sana, satu ciuman pelan yang terasa le
Acara pernikahan usai dengan segala gemerlapnya, dan kini hanya keheningan yang menyelimuti kamar hotel mewah tempat mereka menginap.Seline berdiri di tengah ruangan, perlahan melepas jas milik Elang yang masih melingkupinya. Ia tidak langsung meletakkannya, melainkan menyampirkannya di lengannya, seperti memeluk sesuatu yang tak ingin dilepas terlalu cepat.Di sisi lain ruangan, Elang berdiri membelakangi Seline, tengah membuka kancing bajunya satu per satu. Namun gerakannya terhenti ketika sebuah suara lirih memanggil namanya.“Elang.”Nada itu bukan sekadar panggilan. Ada keberanian yang diselipkan di balik ragu. Keberanian untuk bertanya tentang sesuatu yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Elang menoleh pelan, menatap Seline."Arlena itu... mantan kekasihmu?" tanya Seline akhirnya. Suaranya tenang, tapi ada getar yang sulit disembunyikan.Elang tak terlihat terkejut. Ia sudah menduga Seline tahu. Tapi yang tidak ia sangka, Seline memilih untuk menanyakannya secara langsung.“