Sarapan berlangsung dalam diam. Ia merasa seperti tamu yang tak diundang.
Ketika Elang bangkit dari kursinya, menggesernya tanpa suara, Seline sontak terlonjak kecil. Tangannya buru-buru menyambar gelas, menelan sisa roti dalam mulutnya sebelum ikut berdiri.
Setengah roti tawar masih tertinggal di piringnya. Ia tak sempat—atau mungkin memang tak mampu—menghabiskannya. Tapi dia lebih tak berani tetap duduk sementara Elang pergi.
Langkahnya cepat menyusul pria itu. Entah kenapa, meski Elang juga terasa dingin dan nyaris tak pernah menunjukkan emosi, Seline merasa... lebih bisa bernapas saat bersamanya.
Mungkin karena dia tak berpura-pura ramah.
Elang sempat melirik ke samping, sedikit heran ketika menyadari Seline ikut berjalan bersamanya hingga ke teras. Perempuan itu berdiri sejajar, menjaga jarak tapi cukup dekat, seperti istri sungguhan yang mengantar suaminya berangkat kerja.
“Kenapa kau mengikutiku?” tanya Elang.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan pada keluargamu saat harus pergi dari sini untuk menjenguk ibuku, jadi aku pikir lebih baik mengikutimu.” Seline menjawab seadanya. Kepalanya menunduk karena tatapan tajam Elang cukup membuatnya gugup.
Elang tak langsung menanggapi. Ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam tanpa menunggu reaksi lebih lanjut. Mesin menyala pelan, tapi jendela mobil belum ditutup. Tatapan Elang kembali mengarah ke Seline yang masih berdiri di tempat, ragu.
“Masuk,” katanya.
Seline mendongak, sedikit terkejut. Nada suaranya semula terdengar seperti perintah, dan dia sempat mengira Elang akan melarangnya pulang.
Namun ternyata—
“Aku antar, tapi aku harus ke kantor dulu sebentar, hari ini adikmu libur dulu sekolah,” lanjut Elang. Sekalian menuju kantor, pikirnya. Ada hal-hal yang perlu diselesaikan hari ini.
Mobil Elang berhenti di depan sebuah gedung tinggi dengan desain modern yang didominasi kaca. Logo perusahaan terpampang jelas di bagian atas, mencerminkan betapa prestisiusnya tempat ini.
Seline menatap gedung itu dari balik jendela mobil, merasa sedikit canggung. Ini pertama kalinya dia datang ke kantor Elang.
“Kau tunggu di mobil atau ikut masuk?” tanya Elang tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada gedung di depannya.
Seline sedikit terkejut dengan tawaran itu. “Aku… boleh ikut masuk?”
Elang akhirnya menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar. “Kau istriku sekarang. Tidak ada yang akan melarang.”
Seline menggigit bibirnya. Dia sebenarnya tidak terlalu nyaman harus masuk ke kantor Elang, bertemu dengan banyak orang asing, dan mungkin menarik perhatian mereka. Tapi menunggu sendirian di dalam mobil juga bukan pilihan yang menyenangkan.
“Baiklah, aku ikut,” jawabnya akhirnya.
Elang tidak berkomentar lagi. Dia keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu masuk, sementara Seline mengikutinya dengan sedikit ragu.
Begitu mereka memasuki lobi kantor, beberapa pasang mata langsung mengarah pada mereka. Seline bisa merasakan tatapan penuh penasaran dari para karyawan yang berlalu-lalang.
Mereka menaiki lift menuju lantai atas. Begitu sampai di ruangannya, Elang membuka pintu dan memberi isyarat agar Seline masuk.
Ruangan itu luas dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota dari ketinggian. Interiornya bernuansa monokrom, modern, dan tertata rapi. “Kau bisa duduk di sana,” ucap Elang sambil menunjuk sofa.
Seline mengangguk, lalu duduk dengan hati-hati. Elang sendiri berjalan ke meja kerja, mulai membuka beberapa dokumen. Melihat pria itu dalam mode serius seperti ini membuat Seline semakin menyadari betapa berbeda dunia mereka.
Dia masih tidak percaya bahwa dirinya benar-benar menikah dengan pria ini.
Tak lama kemudian, pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Tanpa aba-aba.
Seorang wanita berpenampilan elegan melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Setelan kerja berwarna nude membingkai tubuh rampingnya. “Pak Elang, ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda—”
Ucapannya terhenti seketika. Pandangannya tertuju pada Seline yang duduk di sofa. Alisnya sedikit terangkat. Tatapannya berubah, dari profesional menjadi penuh tanya.
Elang tidak bereaksi. Ia hanya mengambil dokumen dari tangan wanita itu, menandatanganinya satu per satu tanpa banyak bicara.
Wanita itu kembali melirik ke arah Seline. Kali ini, dia tersenyum tipis. “Kau siapa?” tanyanya pelan. “Pak Elang, dia siapa?” ulangnya kali mendekat pada Elang dan berdiri tepat di samping kursi dengan langkah yang pasti.
Seline menegang. Dia tidak tahu harus menjawab dengan cara seperti apa, atau memperkenalkan diri sebagai siapa.
Elang akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, tapi cukup untuk memotong atmosfer kaku di ruangan itu.
“Dia istriku.”
Bel apartemen berbunyi siang itu.Seline sedang duduk di sofa dekat jendela, sibuk merajut seperti biasanya. Jemarinya refleks berhenti bergerak. Tanpa rasa curiga atau pikiran macam-macam, ia bangkit dan melangkah ke arah pintu.Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di sana membuat Seline langsung terdiam.Arlena.Masih dengan pesonanya yang tak bisa diabaikan. Wajah menawan, gaya berpakaian berkelas, dan aura bintang yang begitu kuat meski tanpa panggung. Namun kali ini, yang berbeda adalah sorot matanya. Tidak ada lagi senyum palsu atau basa-basi manis seperti sebelumnya.Arlena menatap Seline dengan cara yang tak lagi menyembunyikan niatnya. Sikapnya dingin, tajam, dan tanpa kepura-puraan.Seline tahu siapa yang berdiri di hadapannya.Dan Arlena tahu siapa perempuan yang membuka pintu itu.“Elang sedang tidak di rumah,” ucap Seline tenang, nadanya datar. Seolah tahu pasti tujuan kedatangan Arlena. Siapa lagi kalau bukan untuk mencari Elang?Tapi Arlena hanya tersenyum tipis. Sen
Malam harinya, Elang kembali ke rumah itu.Lampu teras menyala temaram saat mobilnya berhenti di depan pagar besi hitam yang megah. Tidak lama setelah ia menekan bel, pintu utama terbuka. Sosok Arlena muncul di ambang pintu. Senyumnya menyambut dengan suka cita, seolah tak ada riak sedikit pun di antara mereka."Masuklah," ucap Arlena pelan, dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Ia menyingkir sedikit memberi jalan, membiarkan Elang melangkah masuk ke dalam rumah.Interior rumah itu hangat dan berkelas. Warna-warna netral dan pencahayaan remang membuat suasana terasa nyaman, nyaris terlalu nyaman untuk kunjungan yang penuh ketegangan seperti malam ini.Arlena sudah mengenakan pakaian tidurnya. Satin lembut berwarna pucat yang dibalut jubah tidur panjang, menjadikan penampilannya tetap sopan. Tapi jelas tidak sembarang penampilan. Semuanya terasa dirancang. Terencana.“Kau datang juga akhirnya,” kata Arlena dengan senyum penuh arti. Ia menyodorkan secangkir teh hangat, tapi Elang t
Seline menatap keluar jendela pesawat, awan-awan putih melayang tenang di luar sana, kontras dengan pikirannya yang mulai penuh tanya. Ia menoleh ke arah Elang yang duduk di sebelahnya. Diam, menunduk, dengan rahang yang mengeras. Sejak mereka berangkat dari hotel tadi, Elang tak banyak bicara.Ada sesuatu. Seline bisa merasakannya. Tapi entah itu urusan pekerjaan, masalah pribadi, atau… sesuatu yang lain, dia tidak tahu pasti.Perlukah dia bertanya? Apa dia harus memaksa Elang bicara?Tapi mungkin, untuk saat ini, Elang hanya butuh diam. Bukan karena dia ingin menjauh, tapi karena dia sedang menyusun sesuatu dalam dirinya yang belum bisa dibagi. Dan Seline memilih untuk menghormati itu.Dia mengulurkan sebelah tangannya, perlahan menggenggam tangan Elang yang bebas di pangkuannya.Elang menoleh. Sorot matanya menyiratkan kelelahan, tapi juga kelegaan. Seolah tanpa kata, Seline sudah melakukan hal yang tepat.Elang membalas genggamannya. Erat.Dan dalam keheningan itu, tanpa percakapa
Setelah Seline menjawab dengan anggukan mantap, Elang kembali mencium bibirnya. lebih dalam, lebih yakin. Seline merespons dengan pelan tapi pasti, tangannya naik ke dada Elang, meraba kancing yang masih tersisa di kemejanya. Jemarinya sempat gemetar, berusaha membuka satu per satu, tapi gerakannya tak cukup cepat. Elang membiarkannya sebentar, sebelum akhirnya mengambil alih dengan cekatan. Beberapa detik kemudian, kancing-kancing itu terlepas, dan kemejanya meluncur ke lantai, dibiarkan begitu saja. Tubuh mereka makin dekat. Nafas makin berat. Tak ada kata-kata, hanya suara napas yang mengisi ruangan. Dengan gerakan lembut, Elang menggiring Seline untuk rebah di atas ranjang. Ia tidak tergesa. Tak sekalipun memaksa. Jari-jari Elang menyapu rambut Seline ke samping, lalu meraih resleting di punggung gaun yang Seline kenakan. Ia menurunkannya perlahan. Hanya cukup untuk mengekspos kulit bahu yang pucat dan hangat. Lalu bibirnya mendarat di sana, satu ciuman pelan yang terasa le
Acara pernikahan usai dengan segala gemerlapnya, dan kini hanya keheningan yang menyelimuti kamar hotel mewah tempat mereka menginap.Seline berdiri di tengah ruangan, perlahan melepas jas milik Elang yang masih melingkupinya. Ia tidak langsung meletakkannya, melainkan menyampirkannya di lengannya, seperti memeluk sesuatu yang tak ingin dilepas terlalu cepat.Di sisi lain ruangan, Elang berdiri membelakangi Seline, tengah membuka kancing bajunya satu per satu. Namun gerakannya terhenti ketika sebuah suara lirih memanggil namanya.“Elang.”Nada itu bukan sekadar panggilan. Ada keberanian yang diselipkan di balik ragu. Keberanian untuk bertanya tentang sesuatu yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Elang menoleh pelan, menatap Seline."Arlena itu... mantan kekasihmu?" tanya Seline akhirnya. Suaranya tenang, tapi ada getar yang sulit disembunyikan.Elang tak terlihat terkejut. Ia sudah menduga Seline tahu. Tapi yang tidak ia sangka, Seline memilih untuk menanyakannya secara langsung.“
Begitu mereka sampai di kamar mandi, Karina menutup pintu dengan tenang.Dan seketika, topeng ramah yang tadi ia kenakan lenyap.Wajahnya berubah dingin. Sorot matanya tajam. Cara berdirinya, bersedekap di ambang pintu, menciptakan jarak yang terasa menekan.Seline berjalan ke wastafel tanpa banyak bicara. Ia membasahi tangannya, lalu mulai mengusap bagian bajunya yang terkena noda minuman. Gerakannya tenang, tapi ada kegelisahan tipis di matanya yang memantul lewat cermin.Sementara itu, Karina hanya berdiri diam. Mengamatinya terang-terangan.“Kau memang miskin,” ucapnya akhirnya, nadanya ringan tapi penuh sindiran. “Tapi aku yakin kau tidak sebodoh itu untuk tidak paham situasi... dan tahu siapa Arlena sebenarnya.”Seline terdiam. Tangannya berhenti bergerak sejenak. Ia menatap Karina dari pantulan kaca, wajahnya tetap tenang.“Aku tidak tahu kau sedang bicara apa,” balasnya datar.Karina tersenyum miring. “Aku hanya ingin memperingatkanmu.”Ia melangkah masuk perlahan, suaranya te