Hari minggu itu, kami pindah dari apartement ke rumah di daerah Jakarta Selatan. Rumah yang Mas Daffi belikan khusus untukku. Lokasinya lumayan dekat dengan sekolah Liana dan kantor Mas Daffi. Liana begitu bahagia karena akhirnya bisa kembali tinggal di rumah yang cukup besar, karena ia juga sudah tidak mau kembali tinggal di rumah lamanya. "Liana males tinggal di sana lagi. Nenek dan Tante Friska masih sering datang," celotehnya waktu itu. Rumah baru kami cukup besar, walaupun memang tidak sebesar rumah lama. Namun, menurutku ini sudah lebih dari cukup. Rumah bergaya Eropa klasik yang terdiri dari beberapa tiang. Di dalamnya Mas Daffi sengaja meletakkan banyak sekali ornamen dan ukiran unik yang merupakan ciri khas dari daerah Jepara. Daerah asal Papa Asmoro. Rumah ini memiliki langit-langit yang cukup jauh sehingga dari luar, rumah terlihat sangat tinggi. Membuat siapapun yang berada di dalamnya terasa sejuk dan nyaman. Tidak hanya pada bagian interiornya saja, pada bagian ukiran
"Duh, istri siapa si ini? Hatinya mulia sekali," lirihnya tepat di telingaku hingga mampu membuat rambut halus di beberapa bagian tubuhku jadi terbangun."Istri Mas Daffi," jawabku malu-malu."Nanti, ya, Sayang. Kalau mas rasa waktunya sudah tepat, mas janji kita akan menemui mama dan mengatakan kalau kita sudah kembali bersama lagi."Lalu tanpa kata lagi kami pun sudah tak berjarak. Diiringi untaian tasbih yang senantiasa terucap di dalam hati, di dalam kamar yang baru malam ini kami tempati dan di atas ranjang yang cukup besar, raga dan jiwa dua orang insan yang saling mencinta kemudian menyatu. ***Pandanganku terasa kabur. Kepala pun terasa begitu berat. Kucoba untuk membuka mata tapi sangat sulit. Ada apa denganku? Kenapa badan rasanya pegal semua? Beberapa detik kemudian, terasa gejolak aneh dalam perut. Membuatku terbangun dan langsung menuju ke toilet. "Hoek, hoek!" Napasku tersengal naik turun menahan rasa mual yang mendadak muncul. "Hoek!""Sayang, kamu kenapa?" tanya Mas
Supaya ia segera pergi ke dapur untuk membuatkan minum. Semoga saja sebentar lagi Mas Daffi pulang. Jujur, aku bingung bagaimana harus menghadapi mereka berdua yang mendadak muncul seperti ini. "Mana Daffi!" tanya Mama Juwita dengan angkuh. "Mas Daffi belum pulang, Ma. Mungkin sebentar lagi. Oh iya, gimana kabar Mama?" ucapku sesopan mungkin sambil berusaha mencium punggung tangannya. "Baik," jawab Mama Juwita sambil menyilangkan kaki dan menepis kasar tanganku. Sabar, Riana. Sabar. "Silahkan diminum Nyonya, Non." Untung saja Bik Sumi segera datang dengan membawakan minuman untuk mereka. Menghilangkan rasa canggungku berada di tengah-tengah mereka. "Terima kasih," ucap Friska tanpa menyentuh minumannya."Pantas saja selama ini Daffi sudah tidak pernah lagi mengunjungiku. Ternyata karena kamu, tho." Dengan sorot mata yang merendahkan, Mama Juwita memindaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sikapnya tidak berubah. Masih sama seperti dulu sebelum aku meninggalkan rumah Mas Daff
Loh, kenapa foto itu bisa ada sama Friska? Ada hubungan apa dia dengan penculik itu? Degup jantungku mendadak melaju cepat. Membayangkan bagaimana reaksi Mas Daffi setelah melihat foto di tangannya. Belum tuntas rasa penasaranku, Mas Daffi kembali bicara. "Jadi ... penculikan kemarin itu hanya akal-akalanmu saja, Ri? Mas pikir kamu sedang dalam bahaya. Ini malah asyik selingkuh dengan pria lain!" "Mas, denger dulu! Aku juga ga tau apapun mengenai foto-foto itu. Dia tidak berbuat apa-apa padaku, Mas. Aku ....""Lihat, buktinya kamu sekarang membelanya! Sudah cukup Riana! Mas, ga mau dengar penjelasan apapun lagi dari kamu! Mulai sekarang, pergi dari rumahku!" "Bagus, Daf!" cibir Friska. "Rasakan kau wanita jelek!" Mama Juwita tersenyum bangga. Tiba-tiba Mas Daffi tertawa. "Sudah puas, Ma? Lo juga, Fris, seneng? Kalimat seperti tadi, kan, yang ingin kalian dengar dari mulutku?" Ha? Mas Daffi kenapa? "Nih, Ser! Ambil kembali ponselmu!""Daf, maksud kamu apa?" geram Mama Juwita. "
Setelah mendengar kalimat Mas Daffi barusan, ikatan di dada ini perlahan mengendur. Syukurlah dia tidak meragukanku. Kuhela napas dalam berkali-kali untuk membuat hatiku semakin membaik. "Jadi, sekarang Mas Daffi maunya gimana?" lirihku."Biarkanlah dulu seperti ini. Semoga seiring waktu, perasaanku bisa segera membaik."***Akhirnya kami sepakat untuk pisah rumah sementara. Mas Daffi memutuskan untuk kembali tinggal sementara di rumah lamanya, dengan masih sesekali mengunjungiku. Sedangkan Liana akan tetap tinggal bersamaku.Sedih memang, tapi tidak ada yang bisa kuperbuat. Berkali aku membujuknya agar ia tetap di sisiku, tapi egonya terlalu tinggi. Harga dirinya sudah terlalu jatuh dengan kejadian penculikan kemarin. Bahkan rengekan dari Liana pun tak dapat membatalkan rencananya. "Papa cuma pergi sementara aja, Sayang, lagi ada kerjaan yang cukup rumit dan butuh konsentrasi." Itu alasan yang Mas Daffi kemukakan pada Liana. "Doakan aja biar cepat selesai, ya. Papa juga berharap bisa
"Kan, udah mas bilang kalau kamu ga salah, Ri. Kemarin mas cuma kecewa. Tepatnya kecewa sama diri mas sendiri. Udah kita lupain aja. Ga usah dibahas lagi, ya." Mas Daffi semakin erat memeluk bahu polosku, dilekatkan ke dadanya yang juga polos. Aku mengangguk patuh. "Tapi, Mas, Riana masih penasaran kenapa foto itu bisa ada sama Friska, ya? Ada hubungan apa penculik itu sama Friska." Mas Daffi mendengkus kasar. "Sebenarnya, kemarin selain mas menjauhimu, Mas juga mendekati Friska lagi."Seketika aku bangkit dari posisi semula, menatap langsung ke arah wajah pria di sebelahku. "Mas bermaksud mencari tahu mengenai foto itu dari mulutnya langsung. Selain itu, Mas juga baru ingat kalau kemarin tidak langsung menghapus foto itu dari ponsel Friska. Mas takut dia menyebarkannya ke orang lain. Tapi ....""Tapi apa, Mas?""Dia mau mengatakan yang sebenarnya dengan syarat mas mau menikahinya. Dia bahkan tidak keberatan menjadi madumu.""Apa! Terus, mas setuju?" tanyaku. "Maaf, Ri, mas ga bisa
"Mungkin papa masih sibuk, Bu. Nanti juga papa telepon.""Iya, sayang," jawabku pada Liana kemudian tersenyum. Anak itu sikapnya semakin hari semakin dewasa saja. "Ya sudah, Liana makan yang banyak, ya, dihabiskan."Kami kembali fokus pada sajian di atas meja makan. Malam itu, entah kenapa Bik Sumi memasak makanan favorit Mas Daffi, ayam rica-rica, tempe bacem dan oseng-oseng buncis. Padahal Mas Daffi sedang tidak ada di rumah."Bahan makanan di kulkas cocoknya dimasak itu, Bu. Ya sudah, bibik masak aja makanan kesukaan bapak," ujar Bik Sumi.Tuh, kan, Bik Sumi jadi bikin aku makin rindu Mas Daffi saja, si.***Sudah pukul 20.00, Mas Daffi masih belum juga menghubungiku. Ponselnya pun masih tidak aktif. Perasaanku yang semula tenang perlahan bergolak. Ditambah lagi geliat halus janin yang sudah memasuki tiga bulan di dalam kandungan juga sudah mulai terasa sejak tadi, mungkin karena ia ikut merasakan kegelisahan ibunya.Jam dinding kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi belum
Setelah berdebat beberapa menit, akhirnya Om Sahid mengalah dan mengizinkanku masuk setelah aku berjanji akan menahan diri dan menjaga emosi agar tidak sampai membahayakan calon bayiku. Kulangkahkan kaki lebar-lebar mengikuti Om Sahid yang sudah lebih dulu berjalan di depan. Bau cairan antiseptik seketika merasuk ke penciuman. Lalu lalang petugas jaga di ruang UGD mendominasi pemandangan di sini. Sesampainya di dalam, Om Sahid langsung menghampiri meja informasi. "Suster, pasien atas nama Daffi Radityaputra, apa benar di rawat di sini?" Petugas wanita berseragam putih itu segera memeriksa data pasien yang baru masuk melalui layar monitor di hadapan. "Oh, korban kecelakaan beruntun di Tol Sedyatmo, ya? Iya benar, Pak. sekarang korban berada di ruang ICU karena kondisinya cukup parah," jelas perawat itu. "Makasi, Sus." Om Sahid kemudian mengajakku untuk menuju ruang ICU di lantai dua. Setibanya di sana, ternyata sudah ada Mama Juwita dan Friska. Kenapa mereka berdua bisa ada di sin