Pak Dhanu mengutuk perkataan nya tersebut. Beliau gagal menahan diri sehingga tanpa sadar mengatakan hal yang sensitif tersebut. Meskipun belum mengatakan yang sebenarnya, kata-kata itu mampu membuat orang yang mendengarnya akan bertanya-tanya dan menggangu fikiran nya.
“Maafkan aku Nella atas apa yang aku katakan tadi. Besok kami akan ke sini untuk mengatakan sesuatu pada kalian. Kami tidak bisa menutupi karena kami juga butuh kesaksian kalian. Hari ini adalah acara khusus untuk Arka dan Dila. Aku tidak mau merusak momen ini karena perkataan ku,” jelas Pak Dhanu yang menolak menjelaskan tentang perkataan nya.
“Apakah perkataan tadi sangat serius?” tanya Bu Nella yang masih penasaran.
“Sangat, hanya saja waktu ini tidak tepat untuk aku mengatakannya. Sekarang lebih baik kita masuk ke acara kita hari ini,” balas Pak Dhanu yang di setujui oleh semua nya.
Acara lamaran antara Arka dan Dila kini
Hari telah berganti, aktifitas mulai berjalan seperti biasa nya. Hal itu juga di lakukan oleh Arka maupun Dila yang sudah berangkat ke kantor. Ada beberapa agenda yang Dila kerjakan hari itu. Salah satu nya melakukan pembahasan tentang proyek yang sedang berlangsung dengan PT. Mahendra Sejahtera dan Melia akan berkunjung ke kantor. Dan seperti biasa nya Dila sudah mempersiapkan mental untuk menghadapi Melia. Sering kali Melia melontarkan kata-kata pedas yang menyinggung diri nya. Saat ini Dila berada di ruangan nya sambil mengecek beberapa dokumen. Tidak terlalu banyak dokumen yang ia periksa, hanya saja sedikit membuat nya pening karena terlalu banyak angka di dalam nya. Sedang fokus dengan pekerjaan nya, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangan nya. Segera Dila menyuruh orang tersebut masuk. “Dil, ada perwakilan dari PT. Mahendra datang. Aku suruh masuk sekarang ya,” ucap Heni santai. “Ya
Anak mana yang tidak kaget dan sedih mendengar Papa nya seorang pembunuh. Itu lah yang di rasakan Melia saat ini. Tidak ingin pria itu tahu jika ia berada di tempat tersebut dan mendengarkan percakapan mereka. Melia sekuat mungkin menahan teriakan dan tangisnya. Badannya saat ini tergolek lemas dengan pernyataan pria yang sangat ia kenal. Pria itu adalah Arka, teman sewaktu SMA dulu. Sungguh Melia ingin membungkam mulut Arka saat itu juga. Hati nya merasakan perih dan kecewa, Papa yang selalu ia banggakan justru membuat kesalahan yang sangat fatal. Tak ingin mendengarkan pernyataan yang menyudutkan Papa nya. Melia segera meninggalkan kantor tersebut dengan badan yang masih lemas. Melia yang sudah turun dari lift segera menuju parkiran tempat di mana mobil nya berada. Setelah Melia berada di mobil nya, tangis itu pun akhirnya pecah. Melia masih tidak percaya dengan semua itu. Tangan yang mengepal dan hati yang masih
Suasana rumah itu kini menjadi senyap. Perkataan Pak Dhanu mengenai meninggalnya Pak Harry membuat Dila, Bu Nella dan Vano syok. Sudah beberapa tahun kematian beliau, namun kenyataan itu seperti mimpi untuk mereka. Perasaan sedih, kecewa menjadi satu saat ini. “Mas mengapa baru mengatakan berita ini saat ini. Kami sudah mengikhlaskan kepergiannya, dan berita ini membuat kami menjadi trauma,” ujar Bu Nella sambil menangis. “Aku perlu mengumpulkan bukti yang kuat Nella. Aku tidak ingin asal berbicara,” sahut Pak Dhanu yang ikut terpukul melihat keluarga Harry kembali ingat ke masa lalu. “Sulit aku percaya dengan perkataan kamu tadi Mas,” ucap Bu Nella yang belum sepenuhnya percaya. “Beberapa bukti sudah aku kumpulkan untuk kasus ini. Dan aku masih mengumpulkan bukti lain untuk menjerat pelaku,” jawab Pak Dhanu meyakinkan Bu Nella. “Lalu mengapa mereka melakukan itu?” samb
Hari minggu, Arka manfaatkan untuk mengajak Dila keluar rumah. Arka dan Dila saat ini sedang berada di taman kota untuk jogging. Cuaca yang mendukung untuk mereka melakukan aktifitas yang menyehatkan itu. Senyuman Dila akhirnya Arka lihat setelah beberapa hari belakangan wajahnya selalu murung. Semenjak tahu ayahnya korban pembunuhan, hari-hari Dila berubah. Semangatnya di kantor jauh berkurang, sudah beberapa cara Arka lakukan untuk menghiburnya namun belum juga membuahkan hasil. Mungkin saat itu Dila membutuhkan waktu sendiri untuk menstabilkan hati dan fikirannya. “Aku sangat senang dengan suasana di pagi ini kak. Mood ku kembali baik,” Dila berlari santai di samping Arka yang menatapnya tersenyum. “Itu yang aku harapkan Dil. Apa kamu mau istirahat sebentar?” tawar Arka karena melihat keringat Dila yang sudah bercucuran. “Boleh kak,” Dila tersenyum senang sambil menoleh ke arah Arka.
Saat ini Arka sedang berunding dengan Faldo dan Alex. Setelah mengantar Dila, Arka buru-buru ke rumah Faldo. Mereka membicarakan bagaimana cara untuk mendapatkan bukti di tangan Baskoro. Bukti yang tersimpan rapat itu pasti akan sangat sulit mendapatkannya.“Yang gue khawatirin bukti itu apa masih ada ataukah sudah lenyap,” Arka berbicara sambil meletakkan tangannya di dagu seolah Arka sedang berfikir.“Setau gue masih, karena Alex mengatakan itu kemarin,” Faldo membalas perkataan Arka namun dengan nada ragu.“Bagaimana kau tau Lex?” Arka merasa kurang yakin dengan bukti tersebut. Baskoro pasti melenyapkan bukti itu untuk menghilangkan jejak.“Aku mendengar dari mulutnya, jika Baskoro tidak membakar atau membuang bukti itu. Dia menyimpan bukti itu di tempat rahasianya,” Alex mengungkapkan perkataan Baskoro sewaktu meninggalnya Pak Harry.
“Hey lihatlah diri kalian, kalian seperti maling yang ingin memburu harta di rumah mewah Baskoro,” tertawa Alex melihat Arka dan Faldo terlihat seperti maling karena mengenakan pakaian serba hitam dan wajah mereka di tutupi dengan masker. “Tidak ada maling setampan kita Lex,” Arka membalas Alex dengan tatapan sinis. “Lagi pula jika bukan karena ulahmu, kita tidak akan melalukan hal konyol seperti ini. Kau pembunuh yang tidak tahu diri Lex,” pekik Faldo yang tidak terima di katakan maling oleh Alex. “Hanya bercanda, kalian terlalu serius menanggapiku. Lagi pula kalian bisa berpengalaman untuk masalah seperti ini,” Alex kembali tertawa menanggapi mereka. Ketiga orang dewasa tersebut sudah berada di lingkungan kediaman Baskoro. Mereka sengaja datang pada malam hari pukul tengah malam agar penjagaan di rumah tersebut tidak begitu ketat. Mereka beranggapan jika anak buah Baskoro yang berjaga tidak
Arka dan Faldo saat ini berjalan mengendap-ngendap sambil bersembunyi di setiap barang yang berada di dekat mereka. Penglihatan mereka selalu awas agar tidak ketahuan oleh orang-orang suruhan itu. Keringat mereka bercucuran karena rasa tegang dan cemas. Namun rasa ingin cepat terbongkarnya masalah pembunuhan itu, membuat rasa tegang dan cemas bisa mereka redam. “Lihatlah, benar bukan semua perkataanku,” dengan bangga Alex mengatakan itu pada mereka yang terdengar pada earphone. “Baiklah aku akui kali ini kamu memang benar Lex,” balas Arka yang masih bicara dengan berbisik. “Jangan sekali-kali lagi kalian membantah perkataanku. Asal kalian tahu saja aku lebih senior dalam masalah ini,” Alex lagi-lagi berbangga pada dirinya sendiri. “Baiklah tuan Alex. Lebih baik kamu tunjukkan pada kami, kemana kita harus pergi,” sahut Faldo tidak sabar. “Tak jauh dari tempatmu berdiri,
“Kau tahu bagaimana cara kita bisa keluar dari sini Alex? Semua orang sedang berada di halaman belakang,” tanya Faldo yang masih berbicara lewat earphonenya. Arka dan Faldo bersembunyi di balik pintu. Mata mereka mencuri pandangan untuk melihat situasi di rumah tersebut. “Kalian lewat depan saja jika memang mereka berada di halaman belakang,” Alex memberikan perintah yang di laksanakan oleh Arka dan Faldo. Ketegangan ternyata belum usai. Mereka masih harus melewati rintangan satu lagi. Rumah besar milik Baskoro tersebut membuat Arka dan Faldo jengkel di buatnya. Jarak rumah antara bagian belakang menuju depan terlampau panjang. Setiap langkah mereka seperti tidak bergerak. Mungkin mereka merasakan itu karena berada di situasi tegang. Arka dan Faldo mulai merasakan pegal di bagian pungung karena jalan mereka selalu mengendap-ngendap. Setelah beberapa langkah mereka lalui, akhirnya dua pria tersebut su