Suasana rumah itu kini menjadi senyap. Perkataan Pak Dhanu mengenai meninggalnya Pak Harry membuat Dila, Bu Nella dan Vano syok. Sudah beberapa tahun kematian beliau, namun kenyataan itu seperti mimpi untuk mereka. Perasaan sedih, kecewa menjadi satu saat ini.
“Mas mengapa baru mengatakan berita ini saat ini. Kami sudah mengikhlaskan kepergiannya, dan berita ini membuat kami menjadi trauma,” ujar Bu Nella sambil menangis.
“Aku perlu mengumpulkan bukti yang kuat Nella. Aku tidak ingin asal berbicara,” sahut Pak Dhanu yang ikut terpukul melihat keluarga Harry kembali ingat ke masa lalu.
“Sulit aku percaya dengan perkataan kamu tadi Mas,” ucap Bu Nella yang belum sepenuhnya percaya.
“Beberapa bukti sudah aku kumpulkan untuk kasus ini. Dan aku masih mengumpulkan bukti lain untuk menjerat pelaku,” jawab Pak Dhanu meyakinkan Bu Nella.
“Lalu mengapa mereka melakukan itu?” samb
Hari minggu, Arka manfaatkan untuk mengajak Dila keluar rumah. Arka dan Dila saat ini sedang berada di taman kota untuk jogging. Cuaca yang mendukung untuk mereka melakukan aktifitas yang menyehatkan itu. Senyuman Dila akhirnya Arka lihat setelah beberapa hari belakangan wajahnya selalu murung. Semenjak tahu ayahnya korban pembunuhan, hari-hari Dila berubah. Semangatnya di kantor jauh berkurang, sudah beberapa cara Arka lakukan untuk menghiburnya namun belum juga membuahkan hasil. Mungkin saat itu Dila membutuhkan waktu sendiri untuk menstabilkan hati dan fikirannya. “Aku sangat senang dengan suasana di pagi ini kak. Mood ku kembali baik,” Dila berlari santai di samping Arka yang menatapnya tersenyum. “Itu yang aku harapkan Dil. Apa kamu mau istirahat sebentar?” tawar Arka karena melihat keringat Dila yang sudah bercucuran. “Boleh kak,” Dila tersenyum senang sambil menoleh ke arah Arka.
Saat ini Arka sedang berunding dengan Faldo dan Alex. Setelah mengantar Dila, Arka buru-buru ke rumah Faldo. Mereka membicarakan bagaimana cara untuk mendapatkan bukti di tangan Baskoro. Bukti yang tersimpan rapat itu pasti akan sangat sulit mendapatkannya.“Yang gue khawatirin bukti itu apa masih ada ataukah sudah lenyap,” Arka berbicara sambil meletakkan tangannya di dagu seolah Arka sedang berfikir.“Setau gue masih, karena Alex mengatakan itu kemarin,” Faldo membalas perkataan Arka namun dengan nada ragu.“Bagaimana kau tau Lex?” Arka merasa kurang yakin dengan bukti tersebut. Baskoro pasti melenyapkan bukti itu untuk menghilangkan jejak.“Aku mendengar dari mulutnya, jika Baskoro tidak membakar atau membuang bukti itu. Dia menyimpan bukti itu di tempat rahasianya,” Alex mengungkapkan perkataan Baskoro sewaktu meninggalnya Pak Harry.
“Hey lihatlah diri kalian, kalian seperti maling yang ingin memburu harta di rumah mewah Baskoro,” tertawa Alex melihat Arka dan Faldo terlihat seperti maling karena mengenakan pakaian serba hitam dan wajah mereka di tutupi dengan masker. “Tidak ada maling setampan kita Lex,” Arka membalas Alex dengan tatapan sinis. “Lagi pula jika bukan karena ulahmu, kita tidak akan melalukan hal konyol seperti ini. Kau pembunuh yang tidak tahu diri Lex,” pekik Faldo yang tidak terima di katakan maling oleh Alex. “Hanya bercanda, kalian terlalu serius menanggapiku. Lagi pula kalian bisa berpengalaman untuk masalah seperti ini,” Alex kembali tertawa menanggapi mereka. Ketiga orang dewasa tersebut sudah berada di lingkungan kediaman Baskoro. Mereka sengaja datang pada malam hari pukul tengah malam agar penjagaan di rumah tersebut tidak begitu ketat. Mereka beranggapan jika anak buah Baskoro yang berjaga tidak
Arka dan Faldo saat ini berjalan mengendap-ngendap sambil bersembunyi di setiap barang yang berada di dekat mereka. Penglihatan mereka selalu awas agar tidak ketahuan oleh orang-orang suruhan itu. Keringat mereka bercucuran karena rasa tegang dan cemas. Namun rasa ingin cepat terbongkarnya masalah pembunuhan itu, membuat rasa tegang dan cemas bisa mereka redam. “Lihatlah, benar bukan semua perkataanku,” dengan bangga Alex mengatakan itu pada mereka yang terdengar pada earphone. “Baiklah aku akui kali ini kamu memang benar Lex,” balas Arka yang masih bicara dengan berbisik. “Jangan sekali-kali lagi kalian membantah perkataanku. Asal kalian tahu saja aku lebih senior dalam masalah ini,” Alex lagi-lagi berbangga pada dirinya sendiri. “Baiklah tuan Alex. Lebih baik kamu tunjukkan pada kami, kemana kita harus pergi,” sahut Faldo tidak sabar. “Tak jauh dari tempatmu berdiri,
“Kau tahu bagaimana cara kita bisa keluar dari sini Alex? Semua orang sedang berada di halaman belakang,” tanya Faldo yang masih berbicara lewat earphonenya. Arka dan Faldo bersembunyi di balik pintu. Mata mereka mencuri pandangan untuk melihat situasi di rumah tersebut. “Kalian lewat depan saja jika memang mereka berada di halaman belakang,” Alex memberikan perintah yang di laksanakan oleh Arka dan Faldo. Ketegangan ternyata belum usai. Mereka masih harus melewati rintangan satu lagi. Rumah besar milik Baskoro tersebut membuat Arka dan Faldo jengkel di buatnya. Jarak rumah antara bagian belakang menuju depan terlampau panjang. Setiap langkah mereka seperti tidak bergerak. Mungkin mereka merasakan itu karena berada di situasi tegang. Arka dan Faldo mulai merasakan pegal di bagian pungung karena jalan mereka selalu mengendap-ngendap. Setelah beberapa langkah mereka lalui, akhirnya dua pria tersebut su
Matahari telah menampakkan sinarnya. Aktivitas kembali berjalan seperti biasanya. Dila berangkat ke kantor tanpa adanya Arka. Pagi-pagi sekali, Arka mengirimkan pesan untuknya jika ia tidak berangkat ke kantor. Arka menyuruh Dila berangkat tanpa menunggu dirinya. Meskipun sudah beberapa kali Dila mengirim pesan ingin mengetahui alasan Arka tidak berangkat ke kantor, namun kekasihnya tersebut belum juga membalasnya. Hari itu Dila di sibukkan oleh beberapa agenda yang harus ia selesaikan. Fokusnya sedikit terganggu saat Dila kembali ingat tentang Arka. Hari segera menjelang siang namun pria itu belum ada tanda-tanda membalas pesannya. Ingin rasanya Dila angat kaki dari kantor menuju rumah Arka untuk mengetahui alasan pria itu. Dering telfon menyadarkan Dila dari lamunan, tanpa pikir panjang, Dila mengambil ganggang telfon itu lalu meletakan telfon tersebut di telinganya. “Dila bisakah kamu datang ke ruangan saya,” uc
Dila menatap Arka sambil menggelengkan kepalanya. Calon suaminya itu terkapar di sofa, tempat ruangan TV. Cara tidurnya yang buruk namun wajahnya masih terlihat tampan bagi Dila. Lama Dila mengamati Arka dalam tidurnya. Dila meneliti seluruh bagian tubuh Arka. Pikiran yang sebelumnya khawatir jika Arka tidak baik-baik saja, kini berubah lega. Dalam pandangannya, Arka terlihat sehat dan tidak ada luka bearti di badannya. “Bagaimana caranya aku membangunkan dia jika cara tidurnya seperti ini,” lirih Dila memikirkan bagaimana membangunkan Arka. Selepas metting bersama Pak Dhanu usai, Dila datang ke rumah Arka bersama Ibunya. Dila sengaja mengajak Bu Nella karena tempo hari Ibunya berjanji akan berkunjung ke rumah Bu Rosa untuk masak bersama. “Kak bangun,” Dila menggoyang-goyangkan badan Arka dengan tangannya. Niat Dila ingin membabat habis Arka ia urungkan. Dila merasa kasian setelah melihat wajah Arka yang terlihat lelah. &nb
Keluarga Aditama saat ini tengah menikmati makan malam bersama dengan Dila dan Bu Nella. Khusus hari itu, Bu Rosa dan Bu Nella masak bersama untuk menu makan malam hari. Seperti kebanyakan ibu-ibu lain, di sela-sela memasak Bu Rosa dan Bu Nella ghibah atau membicarakan orang. Namun target orang tersebut ialah keluarga mereka sendiri. Bahan ghibahan keluarga sendiri justru lebih menarik bagi mereka ketimbang orang luar. Obrolan mereka lebih condong ke anak-anak mereka. Bu Rosa maupun Bu Nella membicarakan tentang kepribadian Arka, Dila maupun Vano. Obrolan yang sangat seru, membuat acara memasak mereka sedikit terganggu. Mungkin Bu Rosa dan Bu Nella harus meluangkan waktu bersama untuk melanjutkan ghibahannya. Menu masakan mereka kali itu sangat istimewa. Bu Rosa dan Bu Nella berkolaborasi menciptakan hidangan yang membuat Pak Dhanu, Arka maupun Dila ketagihan. Sudah kedua kalinya mereka menambah porsi makan. Hidangan makan malam yang ter