Share

Ketika Babu Jadi Ratu
Ketika Babu Jadi Ratu
Author: Ellina Zarima

Bukan Menantu Impian

“Vin, tolong buatkan minum. Ini ada Bude Maya, datang bertamu!” seru Bu Leni dengan dengan nada memerintah. Ia bahkan tidak peduli kalau menantunya tengah sibuk memasak di dapur, mengingat sebentar lagi sudah tiba waktu makan siang.

“Baik, Bu!” jawab Savina dengan cekatan. Wanita itu segera mengecilkan api kompor dan membuatkan minum untuk Bude Maya, kakak perempuan Bu Leni.

Bu Maya sengaja singgah ke rumah adiknya untuk mengundangnya ke acara tujuh bulanan menantunya. Ia bercerita kalau menantunya adalah anak orang kaya dan bekerja di salah satu bank swasta dengan gaji yang cukup besar. Hal ini membuat Bu Leni merasa iri.

“Len, apa menantumu tidak bekerja? Lihatlah Diana, menantuku. Dia bekerja di bank dan memiliki gaji yang cukup besar. Setiap bulan mereka selalu pergi jalan-jalan ke luar kota. Apa kabar dengan menantumu?” sindir Bu Maya kepada adiknya.

“Mbak, dari awal aku tidak setuju dengan pilihan Firman. Selain Savina hanya lulusan SMA, dia juga berasal dari keluarga biasa.” Bu Leni menanggapi ucapan Bu Maya dengan wajah cemberut. Sebenarnya dia sudah bosan dengan ejekan yang kerap dilontarkan oleh keluarga besarnya karena Firman kerap dituding salah memilih istri.

Ketika mereka sedang berbicang, Savina keluar dengan dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Ia tersenyum dan tampak berbasa-basi kepada Bu Maya yang memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Savina mengulurkan tangannya dan Bu Maya menerimanya dengan penuh keterpaksaan. Wanita itu melihat Savina dengan tatapan merendahkan.

“Vin, kamu tidak ingin bekerja seperti istri-istri yang lain? Apa kamu merasa nyaman tinggal di rumah sambil ongkang-ongkang kaki dan menunggu gaji dari suamimu?” celetuk Bu Maya dengan tatapan sinis.

“Maaf, Mas Firman meminta saya untuk tetap tinggal di rumah. Sebagai istri yang baik, saya harus patuh kepada Mas Firman.” Savina menjawab dengan wajah tertunduk. Hatinya merasa sedih ketika Bu Maya dengan entengnya mengatakan hal yang begitu menyakitkan di hadapannya.

“Vin, kamu itu masih muda dan belum punya anak. Ini kesempatan kamu mencari uang sebanyak-banyaknya. Jangan hanya mengandalkan suamimu!” Bu Maya kembali berbicara dengan nada tinggi sehingga membuat Savina semakin tertunduk dalam.

Tiba-tiba tercium bau hangus dari dalam. Bu Leni segera menghardik Savina untuk masuk ke dalam.

“Vina, ini bau apa? Pasti kamu lupa mematikan kompor. Bisa-bisa rumah kita kebakaran!” seru Bu Leni dengan tatapan yang begitu tajam. Semua kelakuan Savina membuatnya naik darah.

Savina segera berlari ke dapur dan melihat ayam goreng di wajan hampir gosong. Ia segera bergegas mengangkat ayam goreng itu dengan perasaan takut di dalam hatinya. Kalau ibu mertuanya marah bagaimana? Apa wanita itu akan mengadukan kesalahannya kepada Mas Firman, seperti yang sudah-sudah? Semoga saja kali ini Bu Leni memberikan pengampunan kepadanya dan tidak menceritakan kesalahannya kepada Mas Firman.

Di ruang tamu, Bu Leni tampak kesal. Ia sudah lelah dengan sikap Savina yang terus-terusan membuatnya marah. Kalau bukan karena Firman yang terus memaksa menikahi Savina, mungkin dia tidak akan pernah mengizinkan putranya menikah dengan gadis kampung yang hanya lulusan SMA.

Masih teringat jelas malam itu Firman mengancam akan meninggalkan rumah kalau tidak dinikahkan dengan Savina. Alasan putranya sangat tidak masuk akal, yaitu hanya karena Savina pernah menolong Firman yang tersesat ketika mendaki gunung di daerah Jawa Tengah. Putranya menganggap Savina adalah jodoh yang dikirimkan Allah untuknya dan memaksa Bu Leni untuk menerima wanita itu di keluarganya. Padahal Firman sudah dijodohkan dengan Naira yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit swasta.

“Leni, kenapa kamu melamun? Jangan lupa ya, datang ke acara putraku dan Diana. Satu lagi, ajak juga si gadis kampung itu kalau kamu tidak malu,” kekeh Bu Maya dengan senyum mengejek. Wanita itu seakan ingin mengolok-olok Savina yang dianggapnya wanita kampung dan tidak berpendidikan seperti saudara-saudaranya yang lain.

Bu Leni tampak kesal dan menunjukkan raut wajah yang tidak bersahabat. Seandainya saja Firman menikah dengan Naira, mungkin dirinya tidak akan dihina dan diejek oleh keluarganya.

Bu Maya bergegas berpamitan setelah menghabiskan minumnya. Ia juga membungkus tiga buah pisang goreng buatan Savina menggunakan tisu.

“Len, aku pamit ya. Aku juga minta pisang gorengnya, sebab rasanya enak dan lumayan untuk bekal di dalam mobil,” kekeh Bu Maya dengan senyum yang begitu lebar.

Bu Leni hanya mengangguk dan mengantarkan tamunya sampai ke halaman. Wanita itu berdiri sambil menatap mobil Bu Maya  sampai menghilang di tikungan.

Bu Leni bergegas masuk ke dalam dan menemui menantunya yang tengah memasak sayur. Sebelum jam makan siang tiba, ia harus menyelesaikan semua kegiatan memasaknya. Keluarga Bu Leni menyukai masakan yang masih hangat sehingga memaksa Savina untuk memasak setiap jam makan tiba. Meski Savina dalam keadaan sakit, Bu Leni tetap tidak peduli. Sebagai seorang istri Savina harus dapat bersikap patuh dan menyenangkan hati suaminya.

“Savina, lima belas menit lagi suamimu akan pulang untuk makan siang. Jangan sampai kamu belum selesai memasak. Sejak dulu, Ibu selalu memanjakan Firman dan Ibu tidak mau kehidupan Firman semakin menderita karena kamu!” Bu Leni berbicara ketus kepada menantunya. Ia bahkan terus-terusan memarahi Savina yang tengah sibuk memasak di dapur.

Savina hanya diam dan melakukan tugasnya. Dari matahari terbit, Savina sudah menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah yang tidak ada habis-habisnya. Bu Leni memperlakukan Savina seperti pembantu, bukan menantu. Wanita itu bahkan kerap mengadukan sikap Savina kepada Firman dan mengadu domba ke duanya.

Savina tampak kelelahan dan mengusap peluh yang menetes di wajahnya. Ia bahkan belum beristirahat sama sekali dari pagi. Namun, Bu Leni tidak mau tahu. Wanita itu menganggap menantunya bertanggung jawab untuk mengerjakan pekerjaan rumah tanpa terkecuali.

“Vin, sebagai menantu itu harus tahu diri. Jangan hanya mau enaknya saja. Suami kamu capek-capek kerja di luar sana dan kamu juga harus membantunya dengan mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau mencuci baju, tidak usah memakai mesin cuci, nanti listriknya boros. Kasihan Firman harus mengeluarkan uang lebih untuk bayar listrik. Satu lagi, ngepelnya pakai tangan saja biar bersih!” Bu Leni terus menceramahi Savina sambil duduk di kursi dan mengawasi gerak-gerik menantunya. Ia tidak mau Savina bersantai sejenak di rumahnya yang terbilang mewah.

Savina hanya menghela napas mendengar ceramah dari ibu mertuanya. Sebagai menantu, Savina sudah berusaha mengambil hati mertuanya namun, sepertinya sampai detik ini, Bu Leni belum ikhlas kalau Firman menikahinya.

Terdengar suara mesin mobil menderu di halaman. Savina yang ingin berlari menyambut suaminya, dicegah oleh ibu mertuanya. Ia meminta Savina untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Kamu tidak usah menyambut Firman, biar Ibu saja!” ucap Bu Leni dengan nada tegas.

Savina mengangguk dan patuh kepada perintah mertuanya. Selama empat bulan menikah, Savina ingin sekali menyambut kepulangan suaminya, tapi Bu Leni selalu melarang dan meminta wanita itu menyelesaikan pekerjaannya.

“Assalamualaikum!” ucap Firman dengan nada penuh kelembutan.

“Waalaikumussalam!” jawab Bu Leni dengan senyum di wajahnya. Wanita itu segera menyambut putra kesayangannya dan mengajak Firman masuk ke dalam.

“Bu, Savina mana?” tanya Firman sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

“Biasa, Savina itu sedang mengerjakan sesuatu di belakang. Kamu kan tahu sendiri kalau istrimu itu lelet, jadi Ibu suka gregetan. Ada menantu tapi seperti tidak ada menantu!” ucap Bu Leni dengan mimik wajah sedih.

***

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status