Share

Part 3 Marahnya Seorang Ibu

"Siapa gadis itu, Andra?" Bu Safitri bertanya lagi.

Dengan dada berdebar Andra menegakkan duduknya. Bahkan hanya untuk menelan air liur saja rasanya susah. Sang mama duduk di sofa dekatnya.

"Namanya Inaya, Ma," jawab Andra sambil menahan napas.

"Siapa dia? Selingkuhanmu?"

Andra diam sejenak. Kemudian memandang tatapan tajam mamanya. Pria itu tahu kalau mamanya menahan amarah. "Dia istriku, Ma."

Bu Safitri terkejut, debar di dadanya berdentum hebat. Seperti gunung berapi yang akan memuntahkan laharnya atau seperti badai yang bisa memporak-porandakan apa yang ada di dekatnya. Jemarinya yang bertumpu di tangan sofa gemetar. "Apa maksudmu, Andra?"

Andra menjatuhkan diri di lantai dan meraih tangan mamanya untuk di ciumi. "Maafkan Andra, Ma. Maafkan!"

Wajah wanita itu menunjukkan rasa kecewa yang teramat dalam. Bukan anaknya yang diduakan, tapi justru sedang menduakan wanita yang sudah sepuluh tahun ini menjadi menantunya. Netra Bu Safitri berkaca-kaca. Dulu beliau sudah berpikir bahwa hal ini bisa saja terjadi. Peluang orang ketiga masuk sangat besar, karena Andra dan istrinya berjauhan. Marina juga tidak mau menuruti nasehatnya agar ikut dengan suaminya. Bahkan menantunya itu sekarang enggan bertemu dengannya gara-gara pernah di beri saran oleh beliau. Dia sudah banyak berubah, tak lagi seperti Marina yang kalem ketika masih menjadi kekasih putranya.

Namun beliau juga tidak membenarkan Andra yang menikah diam-diam. Banyak hati yang tersakiti jika semuanya terbongkar. "Kenapa kamu melakukan itu, Nak? Karena nafsu?"

"Aku mencintainya, Ma."

"Apa kamu nggak mencintai Marina dan anak-anakmu lagi?"

"Ma, ini berbeda. Aku mencintai keluargaku."

"Tapi kenapa kamu tega menduakannya?"

Andra menunduk dalam-dalam. Rasanya susah untuk menjelaskan. Tentang perasaannya, tentang dua wanita yang telah dinikahinya. Juga tentang anak-anaknya. Mereka menempati sisi-sisi yang berbeda dalam hatinya. Anak-anak tetap menjadi prioritas utama. Marina yang telah menjadi istrinya sepuluh tahun, setelah setahun mereka pacaran. Inaya yang banyak memberikan support dan sabar mendengarkan keluh kesahnya di saat dia stres karena pekerjaan. Juga memberikan haknya sebagai pria dewasa kapanpun dia butuh. Andra tahu, tindakannya itu tidak akan benar di hadapan siapapun. Termasuk bagi mamanya. Terlebih bagi Marina jika akhirnya tahu.

"Kenapa kamu mengambil resiko yang bisa menyakiti anak-anakmu juga? Kasihan wanita itu kalau hanya menjadi objek pelampiasan syahwatmu saja."

Pria itu masih diam. Syok dengan tuduhan mamanya. Sosok Inaya menjelma jelas dalam ruang ingatan. Wajahnya yang teduh, matanya yang bening, segala tindak tanduk patuhnya pada suami, dan sikapnya yang sangat menghargai dirinya sebagai seorang kepala rumah tangga.

Dia juga tidak menutup mata dengan kebaikan Marina. Di awal pernikahan, Marina juga kalem, hingga semua berubah saat kedua orang tuanya ikut campur dan mengendalikan rumah tangga mereka. Bahkan untuk membawa istrinya sendiri pindah, mertua tidak mengizinkannya. Dan Marina sendiri juga ingin tetap bertahan di sana.

"Andra, kenapa sebelum mengambil keputusan menikah lagi kamu nggak ngabari Mama?"

"Maafkan Andra, Ma."

"Semuanya nggak akan mudah setelah ini, Nak."

Andra mengangguk. Dia paham bahwa setelah semua terbongkar, hal terburuk pasti akan terjadi.

"Perempuan itu belum punya anak denganmu?"

Andra menggeleng. Sebenarnya dia juga tidak melarang Inaya untuk hamil. Tidak sama sekali. Dia juga bahagia andai wanita itu mengandung anak untuknya. Hanya saja Inaya sendiri yang memutuskan untuk tidak hamil dulu. Dia masih tetap bekerja seperti sebelum mereka menikah.

"Sampai kapan ini akan jadi rahasia, Nak?" Bu Safitri menyusut air matanya.

"Andra tidak tahu, Ma."

Hening. Bu Safitri paham dengan ketidakharmonisan rumah tangga putranya, tapi tidak menyangka kalau Andra akan melakukan hal nekat begini. Rasanya beliau sendiri juga tidak sabar untuk bertemu dengan wanita bernama Inaya itu. Seperti apa wanita yang mau saja dijadikan istri kedua putranya. Secinta itukah pada putranya? Atau silau dengan kesuksesan Andra? Siapa dia?

"Sudah sore, pulanglah! Anak dan istrimu pasti sudah menunggu."

💐💐💐

Andra seperti orang asing di tengah keluarga besar Marina yang sedang berkumpul untuk makan malam. Dua kakak lelaki Marina beserta istri dan anaknya, juga ada adik lelaki Marina yang menikah setahun lalu. Di antara mereka hanya adik iparnya yang tidak memandang rendah dirinya. Andra hanya menjadi pendengar sambil meladeni Kiki yang makan di sebelahnya. Bocah lelaki itu sangat manja setiap kali papanya sedang di rumah.

"Andra, Papa tunggu keputusanmu secepatnya. Coba pindah lagi ke ke sini atau kalau perlu resign dari sana dan ikut bergabung dengan Mario." Mario ini kakak sulungnya Marina. Punya perusahaan yang bergerak di bidang properti.

Marina memandang suaminya dengan tatapan penuh harap. Jika Andra bisa pindah lagi, dirinya tidak perlu lagi mendengar ceramah mertuanya yang selalu bilang, 'sebaik-baiknya tempat wanita adalah di sisi suaminya.' Sementara dirinya enggan tinggal di kota di lereng gunung itu. Di samping papanya yang tidak akan memberikan jatah lagi kalau dia keluar dari rumah. Bagaimana dia bisa memenuhi gaya hidupnya yang tidak akan bisa dipenuhi sempurna oleh Andra, jika jatahnya di stop.

Pembicaraan mereka tidak beralih dari persoalan harta. Kesuksesan, uang, dan jabatan, memang bisa merubah segalanya. Padahal Andra dulu mengenal mereka tidak seperti itu.

Jam sembilan malam, Andra memilih masuk kamar karena Kiki merengek minta di temani tidur. Seperti biasa, Andra akan mendongeng kisah-kisah nabi pada putranya. Inilah yang di sukai Kiki. Tidak seperti mamanya yang mendongeng kisah superhero yang selalu di lihat Kiki di televisi.

"Mas, akan serius bicara dengan Pak Yusa, 'kan? Papa sudah ngasih peluang agar Mas bergabung dengan Bang Mario." Marina bertanya sambil memeluk lengannya saat mereka sudah di peraduan dan anak-anak sudah tidur.

Andra mengangguk pelan. Dia belum bisa menjanjikan apa-apa, mengangguk hanya untuk menenangkan hati Marina. Tenaganya sangat dibutuhkan di perusahaan cabang itu. Dan belum tentu kalau dia bergabung dengan iparnya semua akan baik-baik saja. Dia akan memulai semuanya dari nol lagi dan itu tidak akan mudah. Belum lagi jika mereka tidak bisa menghargainya, seperti yang terjadi sekarang ini. Dari cara Mario yang menatapnya saja, Andra sudah bisa meraba, akan seperti apa dirinya diperlakukan nanti. Bukankah lebih baik bekerja sendiri?

"Andai saja Mas bisa pindah, apakah kamu dan anak-anak mau menempati rumah kita sendiri?" Tantang Andra pada istrinya. Walaupun taruhannya dia akan berjauhan dengan Inaya jika Marina mau menuruti permintaannya.

"Anak-anak nyaman di sini, Mas. Sekolahnya juga lebih dekat dari sini." Marina berkata lembut sambil mencium pipi suaminya.

Pria itu tidak berkata-kata lagi, percuma saja. Bertahun-tahun dia melakukan hal yang sama, merayu istrinya agar mau diajak hidup mandiri, tapi jawabannya tetap sama, tidak mau. Meski di ucapkan dengan kalimat yang halus.

"Kamu tidak khawatir jika kita terus berjauhan begini bisa memberi peluang masuknya orang ketiga? Baik dariku atau darimu."

Marina terkejut dengan ucapan suaminya. Dia mengangkat kepala dan menyangga dengan tangan sambil menatap suaminya. "Mas, punya perempuan lain?"

Andra memandang sekilas istrinya. Tetap bersikap setenang mungkin. Meskipun ucapannya baru saja bisa menyebabkan satu rahasia besar itu terbongkar. "Mas hanya bilang kemungkinan yang bisa saja terjadi di antara kita."

Wanita itu tersenyum. "Aku nggak yakin Mas akan melakukan itu. Kita sudah memiliki semuanya, cinta, anak-anak, dan masa depan. Papa sudah merencanakan membagi hartanya untuk kami berempat. Aku akan mewarisi apa yang Papa beri dan itu menguntungkan untuk keluarga kita, Mas. Tanpa meminta uang darimu, aku bisa memanjakan diriku."

Apa yang diucapkan sang istri hanya didengarkan oleh Andra. Dia tidak ingin terlibat dengan harta yang bukan haknya, karena dirinya hanyalah menantu di sana. Satu kesimpulan yang bisa Andra ambil, Marina sangat mempercayai bahwa tidak mungkin dirinya mengkhianati pernikahan karena Marina anak orang kaya yang akan mewarisi harta mereka.

Tidak, tidak hanya melulu tentang harta saja. Kariernya cukup bagus untuk menopang hidup mereka. Andra juga ingin di bela jika dipojokkan keluarga istrinya, tapi kenyataannya Marina tidak pernah melakukan itu. Malah justru menekannya agar suami mau menuruti kehendak orang tuanya. Andra juga ingin di dampingi menghadapi rutinitas pekerjaan yang menyita tenaga dan pikiran. Atau setidaknya di dengarkan ketika dia bercerita mengenai aktivitasnya di kantor. Terlebih istrinya bisa selalu ada, saat dia ingin melepaskan hasrat biologisnya sebagai pria dewasa.

Sementara selama ini Andra berusaha memenuhi tanggung jawabnya. Nafkah lahir tiap bulan selalu dikirim tepat waktu, telepon untuk bertanya kabar dan membicarakan masalah anak-anak juga di sempatkan setiap hari. Setiap pulang, dia juga memberikan nafkah batin yang berusaha semaksimal mungkin ditunaikan. Tidak peduli itu siang atau malam. Namun kenapa, kadang tiap kali dirinya menelepon Marina dan berusaha curhat mengenai beban di kantor, istrinya selalu menanggapi sambil lalu saja. "Ah, itu kan pekerjaan, Mas. Manalah aku tahu. Percuma juga Mas cerita ke aku." Padahal Andra hanya butuh di dengarkan.

Sekarang tidak pernah lagi Andra cerita apapun mengenai pekerjaan pada istrinya. Inaya yang saat ini menjadi tumpuannya berbagi kisah.

"Mas, jadi kembali besok?"

"Iya."

"Bulan depan pulang lagi ya, pas ulang tahunnya Amel."

Andra mengangguk sambil mencium kening istrinya. Marina tersenyum senang, dipeluknya erat tubuh tegap itu.

💐💐💐

Penerbangan masih dua jam lagi. Tapi Andra sudah berangkat dari rumah mertuanya lebih awal karena dia harus mampir dulu ke rumah Mamanya untuk pamitan. Selalu seperti itu jika dirinya hendak berangkat kerja lagi. Hari ini dia juga mampir ke rumah adik perempuannya.

"Mama buatin teh dulu, ya?" kata Bu Safitri setelah Andra duduk di ruang keluarga.

"Tidak usah, Ma. Tadi sudah dibuatin teh sama Amy," tolak Andra dan membuat mamanya kembali duduk di sofa depan putranya.

"Mama, masih marah pada Andra mengenai kenyataan kemarin?"

Bu Safitri mendengkus kasar. "Mama kecewa. Nggak seharusnya kamu mengambil keputusan yang bisa menghancurkan hati banyak orang."

"Maafkan Andra, Ma."

Wanita sepuh itu menatap putranya dengan pandangan kecewa sekaligus iba. Nalurinya sebagai perempuan sudah pasti tidak terima kalau di duakan. Namun ada satu kebutuhan yang bisa menjadikan putranya tersesat dan jajan di luar jika tidak menikah lagi. Apalagi Bu Safitri sangat paham dengan pergaulan kaum eksekutif muda seperti putranya. Di waktu senggang pertemuan bisnis mereka, kalau tidak alkohol pasti juga perempuan penghibur. Tentu saja dirinya lebih tidak bisa terima kalau Andra melampiaskan kebutuhannya pada tempat yang salah. Tidak kurang-kurangnya beliau meminta sang menantu agar mau mendampingi suaminya. Tapi sayang, semua berakhir dengan kekecewaan.

"Sebaik apa wanita yang bisa membuatmu jatuh cinta lagi?"

"Mama, ingin mengenalnya?"

"Kalau bertemu dia, Mama hanya ingin bertanya, kenapa mau-maunya jadi istri kedua? Padahal dia masih muda, cantik, dan terpelajar."

"Karena cinta, Ma," jawab Andra kemudian tersenyum.

"Seperti yang mama bilang kemarin, mama hanya kasihan kalau dia hanya jadi pelampiasan nafsumu."

"Ma, aku memperlakukan dia sebagaimana aku memperlakukan Marina. Aku menghargai dan menghormati dia sebagai wanita. Bukan hanya untuk bersenang-senang saja, Ma."

"Kamu sudah siap jika rahasia ini terbongkar dan diketahui nggak hanya oleh istrimu, tapi oleh keluarga besarnya?"

"Ya."

"Kamu siap kehilangan salah satu di antara mereka? Jelas Marina nggak akan terima. Tapi kalau perempuan itu pasti terima, karena dari awalnya sudah tahu kalau menjadi yang kedua."

Andra tidak bisa menjawabnya. Kehilangan Marina sama saja akan kehilangan anak-anaknya juga. Tapi jika kehilangan Inaya, cukup dia kehilangan satu wanita saja. Namun apa mungkin Andra tega? Mencampakkan Inaya seperti habis manis sepah di buang. Sementara selama ini istri keduanya itu sangat berbakti pada dirinya. Di sela kesibukannya bekerja selalu menyempatkan diri untuk memenuhi tanggung jawabnya di rumah.

"Andra, kamu sudah salah melangkah, Nak. Poligami nggak salah, jika di lakukan sesuai syariah. Bukan diam-diam tak beradab begini."

Tak ada ucapan apapun, Andra diam. Menunduk dalam-dalam. Semua sudah terjadi, sekarang hanya butuh kesiapan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Dilihatnya jam di pergelangan tangan kirinya. "Ma, aku harus berangkat sekarang."

"Naik apa?"

"Naik taksi dari depan saja."

Bu Safitri mengantarkan putranya hingga ke jalan depan rumahnya. Menunggui hingga sebuah taksi membawa Andra pergi ke bandara. Wanita itu memandang hingga taksi tak tampak lagi, karena berbaur dengan padatnya lalu lintas. Pikirannya tak lagi tenang, masalah besar sedang mengintai putranya.

Masalahnya tak lagi sederhana. Dia kenal bagaimana mertua Andra. Segala cara bisa digunakan mereka agar tujuannya tercapai. Bahkan bisa-bisanya melarang putrinya agar tidak ikut dengan suaminya, dengan alasan yang sebenarnya tidak masuk akal.

Wajah dua cucunya terbayang di pelupuk mata. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa, bisa saja akan jadi korban keegoisan orang tuanya.

Makanya, Bu Safitri selalu menasehati anak perempuannya. Patuh pada suamimu, selagi tidak melanggar hukum agama. Jangan biarkan rumah tangga hancur karena keegoisan salah satu dari kalian. Namun sekarang, justru masalah timbul pada putranya.

Beliau memang harus pergi menyusul putranya dan mengenal langsung wanita bernama Inaya.

Next ....

Selamat membaca 😍

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agustina Ery
cerita keren2
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status