Share

Part 2 Harga Diri

Inaya memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Tanpa memedulikan benda itu kembali bergetar. Dia harus segera berangkat kerja, takut juga kalau telat. Apalagi dia belum juga sarapan. Jilbab warna biru dipakainya dengan cepat.

Entahlah, siapapun yang menelepon, Inaya tidak peduli. Tidak penting baginya. Selagi Andra belum kembali, dia tidak akan menerima telepon dari siapapun itu.

"Kamu nggak sarapan dulu, Naya?" tanya ibunya yang menyiapkan sarapan di meja.

"Nggak, Buk. Nanti Naya telat."

Wanita itu menyalami ibu dan bapaknya, mengucap salam kemudian tergesa keluar rumah. Motor sudah di panasi oleh bapaknya tadi.

Pikirannya tidak sekacau hari ini. Tapi bukankah selama ini dia tidak pernah bisa tenang, kekhawatiran, kecemasan, juga rasa takut yang berlebihan sangat mengganggunya. Entah kapan, pernikahannya ini pasti akan diketahui oleh istri suaminya. Dan ketika itu terjadi, akan ada dua kemungkinan. Dia dipertahankan atau di buang.

Inaya memacu kendaraannya lebih cepat. Berkendara di antara anak-anak yang hendak berangkat sekolah. Rasanya baru kemarin saja dia masih memakai seragam abu-abu putih itu, kemudian kuliah dan pulang sebulan dua kali. Waktunya hanya untuk belajar dan belajar. Tidak seperti rekan-rekan lainnya yang menyelingi dengan pacaran. Satu-satunya pria yang dekat dengannya hanya Arsyaka.

Dia sangat menjaga diri, agar bisa fokus untuk sukses terlebih dulu sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Namun perkenalannya dengan Andra telah melunturkan keteguhan hati yang selama ini diagungkannya. Dia jatuh cinta pada pria berpostur tinggi tegap dengan dadanya yang bidang. Sopan santun lelaki itu telah memikat Inaya.

Sejak kenal di sebuah workshop, mereka sering bertemu saat pulang kerja. Karena perusahaan tempat kerja Inaya berada satu jalur dengan perusahaan Andra. Sejak awal pria itu telah berterus terang kalau dia pria beristri dengan dua anak. Mereka menjalin pertemanan yang wajar. Hingga seiring berjalannya waktu, tidak ada yang bisa mengelak dari perasaan yang pada akhirnya tumbuh subur di hati keduanya.

Inaya membuang napas kasar, menepis kenangan yang membuatnya hampir menyenggol pengendara sepeda onthel di sebelahnya. Wanita itu mengurangi kecepatan, kemudian berbelok di pintu gerbang yang di jaga oleh seorang satpam.

Tati yang baru saja memarkir motornya, berdiri menunggu sahabatnya.

"Udah sarapan belum?" tanya Inaya pada Tati.

"Belum. Ini aku bawa bekal. Anakku semalaman demam, jadi tadi aku bangunnya kesiangan. Ayo, ke kantin!"

Keduanya melangkah ke arah kantin. Di sebelah mereka, Pak Leo, kepala divisi perencanaan, juga melangkah ke kantin. "Hai," sapa pria itu.

"Selamat pagi, Pak." Inaya dan Tati menyapa hampir bersamaan. Pria berwajah blasteran Belanda itu tersenyum genit pada Inaya. Entah sudah berapa kali pria itu mengajaknya kencan beberapa jam saja. Tapi Inaya tidak pernah menggubrisnya. Posisinya sebagai istri kedua, sering membuat dirinya di remehkan oleh beberapa atasannya.

Namun begitu, teman-teman kerjanya tidak ada yang menyindirnya dengan status yang di sandang sekarang. Mereka sangat menghormati privasi masing-masing. Tidak seperti penduduk desa yang masih sering menyindirnya.

Tangan Tati digandeng oleh Inaya dan diajaknya melangkah lebih cepat, meninggalkan pria jangkung itu.

💐💐💐

"Ayo anak-anak cepetan, udah di tunggu Papa tuh!" teriak wanita cantik dengan rambut lurus sebahu kepada dua anaknya. Sementara Andra sudah siap duduk di belakang kemudi mobil.

Bocah umur sembilan tahun dan tujuh tahun itu berlari sambil menyeret tas sekolahnya. Seorang asisten rumah tangga tergesa menghampiri dan membawakan tas untuk mereka dan memasukkan ke dalam mobil.

"Bik, nanti bilangkan ke Mama kalau aku dan Mas Andra keluar, ya," pamit Marina pada ART-nya.

"Njih, Mbak Rina."

Mobil meluncur keluar rumah megah milik mertua Andra. Sepanjang perjalanan dua anak mereka bernyanyi dengan riang. Mereka sangat bahagia tiap kali papanya pulang. Andra memperhatikan dari cermin kecil di atas kemudi, lantas tersenyum senang.

"Papa, nggak balik kerja lagi, 'kan?" tanya si sulung. Amelia.

"Balik dong, Sayang."

"Kenapa nggak pindah kerja di sini saja. Biar tiap hari bisa ngantar kami sekolah." Amelia berkata dengan bibir mungilnya yang mengerucut sebal.

"Papa kerja, Kak. Biar bisa beliin mainan buat adik," jawab sing bungsu yang baru umur tujuh tahun. Kiki namanya.

"Kamu ini mainan saja." Amel memarahi sang adik.

"Sudah-sudah, Amel, Kiki. Nggak usah bertengkar, kita sudah sampai ini." Marina melerai dua anaknya. Mobil sudah menepi tepat di depan pagar sekolah mereka. Sekolah favorit berkelas internasional. Marina dan Andra turun. Wanita itu membuka pintu mobil. Dua anak yang manis mencium tangan kedua orang tuanya bergantian.

"Nanti Papa yang jemput kami, 'kan?" tanya Amelia.

"Iya, Sayang!" Andra mencium kening kedua anaknya. Mereka bergerak riang menuju pintu gerbang.

Setelah anak-anak masuk dan berbaur dengan murid-murid lainnya. Andra dan Marina kembali masuk ke mobil. Mereka hendak melihat rumah yang sudah di beli Andra dua tahun yang lalu. Hingga sekarang belum ditempati karena Marina lebih nyaman tinggal bersama kedua orang tuanya. Karena fasilitas di sana lebih lengkap, ada beberapa pembantu juga. Jadi wanita itu tidak perlu repot-repot mengurus rumah dan dua anaknya. Dia juga punya banyak waktu untuk menyenangkan diri sendiri, hang out dengan teman-temannya sewaktu-waktu. Rumah orang tuanya berada di kawasan elite, sedangkan Andra hanya mampu beli rumah di kawasan standard.

Seorang lelaki setengah baya tergopoh membuka pintu pagar untuk majikannya. Pak Sarno, pria yang dibayar Andra untuk menjaga dan merawat rumah mereka.

"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa lelaki itu saat Andra dan Marina turun dari mobil.

"Selamat pagi, Pak," jawab Andra sambil tersenyum ramah. Marina dengan angkuhnya, hanya menatap sekilas pada lelaki itu. Kemudian mengajak istrinya masuk rumah. Belum banyak perabotan di sana. Rumah minimalis berlantai dua, tidak terlalu besar, tapi pekarangannya cukup luas.

Mereka naik ke lantai dua. Menuju balkon dan melihat pemandangan dari sana. Di kejauhan tampak hutan kota yang segar di tengah kepadatan lalu lintas dan gedung-gedung pencakar langit.

Marina memeluk suaminya dari belakang. Mencium aroma tubuh yang selalu di rindukannya. Usapan lembut tangan Marina di area perutnya menimbulkan sensasi berbeda. Andra menghentikan gerakan tangan itu dan berbalik. Marina tersenyum. "Mas, jangan lupa mempertimbangkan usulan Papa tadi malam," kata Marina sambil menyandarkan kepala ke dada bidang suaminya.

Andra tidak menjawab. Tadi malam papa mertuanya memaksanya untuk segera mengajukan pindah lagi ke kantor pusat. "Rayu Pak Yusa, beliau pasti luluh juga. Bukankah kalian sangat dekat? Karirmu di sana juga begitu-begitu saja. Gaji segitu mana cukup untuk kehidupan anak istrimu di sini." Kalimat mertuanya selalu saja ada yang menyentil perasaannya. Padahal gaji Andra tidak sedikit dengan jabatan Chief Engineer. Dengan gaji itu dia bisa mengirim uang untuk mamanya, untuk nafkah Inaya, dan paling besar untuk Marina dan anak-anak.

Bagi Andra itu sudah lebih dari cukup. Tapi gaya glamour istrinya membuat apa yang diberikan selalu kurang. Marina memang tidak pernah mengeluh, karena dia memiliki jatah sendiri dari sewa puluhan ruko dan gudang milik orang tuanya. Dari uang itulah Marina bisa memenuhi gaya hidupnya yang mewah.

Satu hal yang paling tidak di sukai Andra. Dia selalu di banding-bandingkan dengan menantu yang lain. Di sindir dan di rendahkan. Tiap kali mengajak Marina membicarakan hal itu, selalu kata sabar yang diucapkan istrinya. Sepuluh tahun Andra menulikan telinga dengan ejekan keluarga Marina. Dan bagi Marina itu hal biasa, jangan di dengarkan. Padahal harga diri Andra sedang diinjak-injak.

Dia bertahan karena sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Meski perasaan itu kini terbagi dengan kehadiran Inaya yang sangat menghargainya sebagai seorang pria dan suami.

"Sayang, akan bicara dengan Pak Yusa, 'kan?"

"Iya. Walaupun kemungkinan itu kecil. Mas sangat di andalkan dan dipercaya di sana."

"Di coba, dong. Apa selamanya kita akan berjauhan begini? Pulang juga nggak bisa tiap bulan. Aku nggak mungkin ikut ke sana. Sekolahnya anak-anak bagaimana? Papa khawatir cucunya nggak mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak."

Andra tersenyum getir mendengar ucapan istrinya. Apa mereka pikir di kota tempatnya bekerja tidak ada sekolahan terbaik. Bahkan dulu Andra sudah mencari tahu akan hal itu sebelum menyampaikan niat untuk mengajak Marina dan anak-anak pindah. Ada sekolah favorit berbasis agama yang tak kalah dari sekolah-sekolah di ibukota. Namun sayang, niatnya itu di tolak mentah-mentah oleh Marina dan mertuanya. Andra mengalah.

"Sayang," rengek Marina.

"Iya, nanti Mas usahakan."

Satu kecupan lembut diberikan Marina ke bibir suaminya. Wanita itu menarik tangan Andra untuk masuk ke kamar mereka. Sepagi itu mereka bercinta.

💐💐💐

Bu Safitri mengangsurkan satu gelas jus sirsak di meja depan putranya. Beberapa buah sirsak di samping rumah yang dipetiknya kemarin sudah masak. Melihat putranya datang, langsung saja di buatkan jus kesukaan Andra.

"Kapan kamu kembali?"

"Tiga hari lagi, Ma."

Wanita itu mengangguk-angguk. "Mama sebenarnya pengen ikut ke sana. Kalau lihat foto-foto yang kamu kirim atau pas kamu video call, tampak suasana di sana sangat asri."

"Andra senang kalau mama pengen ke sana. Ayo, Ma. Kapan?"

"Nanti setelah adikmu lahiran. Minggu depan ini Amy lahiran, Nak."

Amy ini satu-satunya adik Andra yang tengah mengandung anak keduanya. Rumahnya masih di lingkungan tempat tinggal mamanya.

"Mama, pasti kerasan tinggal di sana."

"Kamu nggak coba bicara lagi dengan Marina. Siapa tahu kali ini dia luluh pikirannya?"

Andra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Menatap pada tempat yang sama seperti kemarin-kemarin. "Malah aku yang di suruh pindah ke sini, Ma. Kembali tinggal serumah dengan mertua. Marina sama sekali tidak ingin lepas dari sana."

Bu Safitri bersandar pada sofa. Menantunya itu memang susah diajak bicara. Bahkan sekarang enggan datang menemuinya, karena Marina merasa kecewa waktu dinasehati sebagai istri harus nurut suami, agar Marina mau ikut Andra tinggal di kota kecil itu.

"Terus, bagaimana keputusanmu?"

"Pak Yusa sudah percaya penuh padaku, Ma, untuk pegang kendali di sana. Lagian aku tidak mungkin membantah perintahnya. Keluarga kita berhutang budi pada beliau. Pengobatan Papa dulu, kuliahku, dan membiayai Amy sejak masih SMA. Dengan cara ini aku bisa membalas budi, Ma. Beliau juga tidak kecil dalam menggajiku. Bahkan aku sudah bilang untuk memotong gajiku sebagai membayar apa yang beliau keluarkan untuk keluarga kita. Beliau malah bilang, 'dengan bekerja padaku saja sudah cukup untuk membayar semuanya. Kamu dan Amy sudah seperti anakku sendiri'. Itu yang Pak Yusa bilang, Ma."

Bu Safitri terharu, netra tuanya berkaca-kaca. Teman suaminya itu memang sangat baik pada mereka sejak dahulu.

"Tampaknya kamu juga kerasan tinggal di sana?"

"Harus, Ma. Di sana tempatku mencari uang."

"Lalu siapa yang sibuk kamu telepon kemarin?"

"Yang mana?" Andra mengelak.

"Yang kamu bilang teman itu. Tak kan teman sampai membuatmu gelisah seperti itu."

Andra tak menjawab. Di raihnya gelas jus dan dihabiskan isinya.

"Jujur saja sama Mama."

"Tidak ada, Ma."

"Ingat, Andra. Kamu ini sudah punya istri dan anak. Jangan mempermainkan perasaan mereka dengan bermain hati di sana, meski kamu kesepian. Harusnya memang Marina bisa mendampingimu. Apapun alasannya kamu jangan mendua, Nak. Akan ada banyak hati yang terluka jika kamu lakukan itu. Rumah tanggamu akan hancur berantakan, kamu akan kehilangan anak-anakmu, reputasimu juga bisa hancur. Mertuamu bisa melakukan apapun untuk menghancurkanmu. Ingat itu, mereka punya kuasa di mana-mana."

Andra menunduk. Bayangan wajah Inaya memenuhi benaknya. Wanita yang sejak kemarin menolak semua panggilannya, meski dia menelepon memakai nomer baru. Dadanya terasa sesak, tidak bisa membayangkan andai Inaya juga di serang jika semua terbongkar. Tapi sampai kapan, semua ini bertahan menjadi rahasia?

"Mama akan nyusul kamu setelah Amy lahiran. Mama akan nemani kamu di sana selama dua mingguan."

"Ya, nanti Mama telepon saja biar aku pesankan tiket pesawat. Bisa juga minta tolong suaminya Amy, Ma."

"Nggak usah naik pesawat, pasti mahal itu. Biar Mama naik kereta api saja, nanti kamu tinggal jemput ke stasiun."

"Naik kereta api lama, Ma. Kurang lebih dua belas jam."

"Nggak apa-apa. Mama masih kuat, kok."

"Ya sudah, terserah Mama saja."

Bu Safitri berdiri sambil mengambil gelas kosong di meja dan membawanya ke belakang.

Sepeninggal mamanya, Andra mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Belum ada pesan masuk dari Marina. Tadi dia mengantar istrinya untuk belanja. Wanita itu memilih mampir belanja di mall daripada ikut Andra menemui mamanya.

Andra membuka satu akun di I*******m. Akun yang tidak diikutinya. Akun milik Inaya. Hanya ada satu foto close up milik wanita itu. Inaya memakai jilbab warna merah muda, terlihat sangat lembut dan cantik. Andra mengusap wajah itu. Sedang apa dia? Pasti jam segini sudah persiapan untuk pulang kerja.

"Siapa gadis itu, Andra?" Pertanyaan yang membuat pria itu terkejut. Saat menoleh, mamanya sudah berdiri di belakang sofa tempat duduknya.

Next ....

Selamat membaca 😍

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status