"Ma, kok Mama mengambil keputusan sendiri! Tidak menghargai Papa!" Kata Mas Fandi ketika malam ini pulang ke rumah.
Aku sudah tidak terlalu peduli Mas Fandi mau menginap dimana. Kalau dia datang kesini ya aku terima, kalau dia tidak pulang tidak aku cari lagi.
"Keputusan apa, Pa?" tanyaku.
"Mau pergi ke Jogja dengan membawa supir. Mama anggap Papa ini apa? Emang Papa nggak sanggup apa membawa mobil sampai Jogja!"
"Mama anggap Papa nggak ada. Emangnya Papa peduli sama kami? Ketika Angga memberi tahu kalau dia lulus SNMPTN Papa cuek saja. Jadi untuk apa kami meminta pendapat Papa. Papa juga terlalu sibuk dengan keluarga baru, keluarga lama sudah tidak penting lagi bagi Papa."
"Alhamdulillah, sudah sampai di rumah!" kataku sambil membuka pintu pagar rumah.Rasa lelah di perjalanan baru terasa, ingin rasanya langsung merebahkan diri di tempat tidur.Mas Fandi memasukkan mobil ke garasi dan mengeluarkan barang-barang bawaan dibantu oleh Anggi. Aku membereskan semua barang bawaan.Untung rumah sudah aku titipkan pada Bude Nur, meminta beliau untuk membersihkan rumah. Bude Nur dulu yang mengasuh Angga dan Anggi. Jadi aku pulang rumah sudah dalam keadaan bersih nggak perlu repot-repot membersihkan lagi.Menjelang Maghrib Mas Fandi pergi, seperti biasa tanpa pamit padaku. Aku yakin pasti ke rumah Leni, aku berusaha untuk tidak peduli.Rumah semakin terasa sepi, hanya ada aku dan Anggi. Anggi mungkin sudah tidur karena kecapekan di perjalanan. Akhirnya aku masuk ke kamar setelah mengunci pintu. Kurebahkan tubuh, melepaskan penat. Pikiranku berkelana, me
Sore yang cerah, aku sedang menikmati segelas teh dan cemilan bersama dengan Anggi. Terdengar orang mengucapkan salam."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Anggi tolong lihat di depan ada siapa," kataku sambil menjawab salam.Sekarang kami hanya tinggal berdua. Mas Fandi tidak bisa diharapkan lagi. Sejak pulang dari Jogja dua minggu yang lalu, baru sekali Mas Fandi pulang ke sini. Aku tak mau terlalu berlebihan memikirkan Mas Fandi."Ma, ada Bude Sisi," kata Anggi.Waduh, mau bikin gara-gara apa lagi dia ya? Semoga saja tidak."Eh Mbak Sisi, apa kabar? Ada perlu apa Mbak?" Aku langsung bertanya, malas untuk berbasa-basi. Aku pun mempersilahkan Mbak Sisi untuk duduk."Maafkan aku, Nis, aku mau minta tolong sama kamu. Kamu jenguk Leni ya? Aku tahu, ini berat bagimu. Ini permintaan Leni. Mungkin umurnya tidak lama lagi." kata Mbak Sisi dengan
Hari ini aku menunggu Mas Anton yang sedang di rawat di rumah sakit. Sudah hampir satu tahun ini Mas Anton bolak-balik masuk rumah sakit. Sakit diabetes yang sudah merembet ke ginjal.Aku keluar dari kamar perawatan untuk mencari makanan. Di Lobi rumah sakit, tanpa sengaja aku melihat Mas Fandi, mantanku. Mas Fandi juga melihat kearah ku dan berjalan menghampiriku."Hai Leni," kata Mas Fandi."Halo Mas, ngapain disini?" jawabku gugup."Ibu dirawat disini. Kamu ngapain disini?""Mas Anton juga dirawat disini," kataku.Kami berjalan menuju kamar perawatan. Ternyata kamar perawatan Mas Anton dan Ibu Mas Fandi berhadapan."Aku masuk dulu Mas," kataku ketika sampai di depan pintu. Mas Fandi mengangguk. Aku sengaja tidak menawari Mas Fandi untuk masuk ke kamar perawatan Mas Anton. Takut terjadi sesuatu karena Mas Anton juga ke
Drtt...drttHpku berdering, aku lihat jam menunjukkan pukul empat pagi. Siapa sih yang nelpon? Ternyata Mbak Yuni."Assalamualaikum, Mbak," sapaku pada Mbak Yuni."Waalaikumsalam.""Ada apa Mbak?""Leni meninggal, Nis!"Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Baru kemarin aku berbicara dengannya, berusaha untuk memaafkan kelakuannya. Ternyata sekarang sudah menghadapNya. Umur manusia tidak ada yang tahu. Memang benar, Leni diprediksi tidak berumur panjang karena penyakit yang dideritanya. Tapi aku tidak menyangka kalau secepat ini."Nis….Anis," panggil Mbak Yuni. Aku kaget dan gelagapan."I..iya Mbak. kapan meninggalnya, Mbak?" tanyaku."Sekitar jam tiga tadi. Nanti melayat bareng ya? Mbak jemput Ibu dulu baru jemput kamu!""Iya Mbak!" Kututup panggilan telepon itu.
"Assalamualaikum." Terdengar suara orang mengucapkan salam."Waalaikumsalam, biar Anggi yang buka ya, Ma?" kata Anggi sambil berjalan menuju ke pintu depan."Oke," jawabku.Tadi pagi Ibu ke rumahku, karena nanti sore mau yasinan hari ketujuh di rumah Leni. Jadi Ibu mau berangkat bersamaku. Selesai memasak dan makan, aku dan Ibu mengobrol sambil menonton acara di televisi.Menyenangkan sekali ketika Ibu ada disini. Ada teman yang diajak ngobrol dan berbagi cerita. Ibu juga tidak menganggapku sebagai menantu lagi, tapi anak. Sikapnya padaku melebihi sikapnya pada Mas Fandi. Mengingat Mas Fandi, sedang apa ya dia sekarang? Apakah sibuk menata hati, berusaha mengikhlaskan kepergian istri sirinya? Mungkinkah ia masih selalu mengingatku? Mungkinkah masih ada cinta untukku di hatinya? Ada rasa nyeri di hatiku jika mengingat Mas Fandi. Sakit hati itu masih ada, walaupun aku berusaha untuk memaafkannya.
Malam hari ini merupakan malam ke tujuh acara yasinan di rumah Leni. Tidak setiap malam aku datang, karena kasihan Anggi kalau ditinggal setiap malam. Sedih melihat Mas Fandi, sepertinya ia sangat kehilangan Leni. Hatiku terasa nyeri, begitu besarnya arti Leni bagimu, Mas. Semenjak Leni di rumah sakit sampai malam ini Mas Fandi hanya sekali pulang ke rumah. Ketika ia memintaku untuk menjenguk Leni.Ibunya Leni juga terlihat sangat terpukul dengan kepergian anaknya. Wajah tuanya nampak semakin sendu setiap ada yang menyebut nama Leni. Bahkan sampai meneteskan air mata. Hari ini tidak kulihat Zaki. Mungkin sedang tidur dikamar. Kasihan membayangkan anak berumur sekitar dua tahun setengah, yang belum tahu apa artinya kehilangan seorang ibu.Pada malam ketujuh ini, aku disuruh hadir oleh keluarga besar Mas Anton. Katanya malam ini akan ada pertemuan keluarga membahas semua wasiat Leni. Mau tidak mau aku harus hadir.Beberapa
Hari ini kami akan ke rumah Leni untuk menjemput Zaki. Ibu dan Anggi sudah bersiap-siap."Ayo Ma kita berangkat!" kata Anggi, sepertinya sudah tidak sabar lagi."Kayaknya ada yang sudah tidak sabar nih!" aku menggoda Anggi"Ih Mama!" kata Anggi."Let's go!" katakuKetika kami sampai di rumah Leni, ternyata Aisyah dan suaminya sudah ada di sana. Aisyah akan menjemput Dani dan Danu."Udah lama sampainya Bunda Aisyah?" tanyaku pada Aisyah."Lumayan Mbak, tadi bantuin anak-anak membereskan barang-barangnya," jawab Aisyah.Dani dan Danu memasukkan barang-barangnya ke mobil Aisyah."Yang lainnya ditinggal saja, besok ada yang mengambil. Yang penting sudah dibereskan dan disusun. Jadi besok tinggal ambil saja," kata Aisyah pada Dani dan Danu."Lho Ibu kok ikutan beres-ber
Drtt...drtt hp Mas Fandi berbunyi, Mas Fandi sedang pergi bersama anak-anak. Aku biarkan saja. Kalau penting nanti pasti menelpon lagi.Drtt...drtt… ponselnya berbunyi lagi. Aku pusing sendiri mendengarnya. Akhirnya aku mencoba untuk menerima panggilan itu."Halo?" sapaku dengan suara ramah. Walaupun sebenarnya aku kesal, karena dering ponsel yang dari tadi mengganggu."Halo, bisa bicara dengan Bapak Fandi?" jawab suara perempuan di seberang sana."Maaf dari siapa ini ya?" tanyaku lagi."Dari temannya!""Ooo Pak Fandi sedang keluar, hpnya tidak dibawa."Tut...TutPanggilan terputus. Dasar gak punya sopan sama sekali. Siapa perempuan itu? Jangan sampai terulang lagi kejadian beberapa tahun yang lalu. Kulihat foto profil di nomor tersebut. Seorang perempuan yang sudah dewasa.Dua tahun ini hidupku am