Mas Fandi sekarang lebih perhatian dengan keluarga, terutama denganku. Hubungan kami perlahan mulai harmonis lagi. Kami berusaha untuk memperbaiki kualitas hubungan kami. Mas Fandi memang pintar mengambil hati, pantas saja banyak perempuan yang kesengsem. Aku saja masih selalu meleleh kalau ia sudah memberikan perhatian yang lebih.
Aku berharap ia akan seperti ini terus. Memperhatikan keluarga, terutama anak-anak. Semoga saja anak-anak tidak ada yang tahu permasalahan ini. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana hati mereka akan terluka jika tahu kelakuan papanya.
Drtt...drtt.
Drtt...drtt
Gawai Mas Fandi berbunyi, ada panggilan masuk bernama Dani. Mas Fandi baru saja masuk ke kamar mandi.
Drtt...drtt.
"Halo," kataku ketika menerima panggilan itu.
Langsung dimatikan. Nggak ada sopan-sopannya yang bernama Dani ini. Apa salahnya menjawab dulu. Bikin kesal saja. Aku penasaran, aku buka foto profilnya. Hanya foto dua tangan yang saling berpegangan, aku yakin kalau itu tangan laki-laki dan perempuan. Kuamati foto itu, sepertinya aku mengenal tangan laki-laki ini. Karena ada bekas luka berwarna hitam. Seperti luka yang dialami Mas Fandi yang menyenggol wajan panas ketika menggoreng telur. Jantungku berdetak sangat kencang, ini kan tangan Mas Fandi. Aku hafal betul tangan Mas Fandi.
Aku cek chat dari akun bernama Dani tadi, ternyata sudah banyak yang dihapus. Ku cek lagi riwayat panggilan, banyak panggilan dari Dani. Semakin mencurigakan.
Kukembalikan gawai ditempat semula dan bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Kuhapus juga riwayat panggilan.
"Mau kemana, Pa? Minggu pagi kok sudah rapi?" tanyaku pada Mas Fandi. Ia terlihat sangat gagah dengan celana jeans dan kaos yang terlihat body fit. Sangat macho.
"Ada keperluan Ma, nemenin Mirza nyari peralatan untuk bersepeda. Papa juga pingin lihat-lihat, siapa tau ada yang Papa sukai. Pengen ikutan klub gowes, biar semakin sehat," kata Mas Fandi.
Aku penasaran, sepertinya ada yang disembunyikan Mas Fandi. Tumben ia mau ikutan klub gowes. Selama ini ia tidak suka dengan berbagai macam club. Katanya buang-buang waktu saja nongkrong hanya ngobrol-ngobrol. Mending di rumah ngumpul bersama keluarga. Tapi kok sekarang ia berbeda pandangannya? Aduh, kenapa aku jadi paranoid kayak gini. Mungkin aku takut kalau Mas Fandi khilaf lagi.
Aku membuntuti Mas Fandi dengan menggunakan motor teman Angga, yang kebetulan sedang main ke rumah.
Kuikuti laju mobil Mas Fandi, ternyata berjalan tidak ke arah rumah Mirza melainkan ke arah rumah Leni. Lemas rasanya tubuhku melihat kelakuan Mas Fandi. Katanya tidak akan berhubungan dengan Leni lagi. Ternyata semua bohong.
Aku pulang dengan perasaan tak menentu. Mas Fandi bukanlah orang yang kukenal dulu. Tujuh belas tahun pernikahan tidak mampu mengalahkan pesona sang mantan.
"Kenapa, Ma? Kok kelihatan lesu sekali," tanya Angga ketika aku sampai di rumah.
"Ternyata lumayan capek naik motor. Mungkin faktor U ya?" jawabku menutupi kesedihanku. Aku harus terlihat biasa saja, jangan sampai Angga tahu kalau mamanya sedang bersedih.
"Bukan Faktor U, Ma. Tapi karena Mama sudah tidak terbiasa naik motor, jadi capek. Lagian ngapain Mama pergi naik motor, mobil kan ada, " sahut Angga. Teman Angga hanya tersenyum saja.
"Terima kasih, ya?" ucapku pada teman Angga sambil menyerahkan kunci motor.
"Sama-sama, Tante." Teman Angga menjawab.
Aku masuk ke dalam rumah, mengambil air putih dan meminumnya. Sambil duduk di dapur, aku merenung memikirkan kejadian tadi. Tak terasa air mata menetes di pipiku.
***
"Mirza, jujurlah! Kamu tau kan kalau Mas Fandi selingkuh," tanyaku pada Mirza.
Mirza diam dan tidak berani melihat ke arahku. Aku sengaja mengajak Mirza untuk bertemu, awalnya dia menolak. Aku mengancam kalau tidak mau bertemu denganku, aku akan datang ke rumahnya dan akan meminta penjelasan tentang Mas Fandi di rumahnya. Biar Selly istrinya tahu, kalau ia menyembunyikan hubungan terlarang Mas Fandi dan Leni.
"Maafkan aku, Nis," kata Mirza.
"Kenapa kamu nggak menasehati Mas Fandi, ketika ia mulai salah?" tanyaku.
"Orang yang sedang mabuk cinta tidak akan bisa dinasehati. Apa yang kita bicarakan hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Giliran dinasehati baik-baik, dia bilang aku iri. Serba salah Nis. Aku sudah sering mengingatkan dia, bahwa yang dilakukan itu salah. Tapi ia tetap seperti itu."
"Aku minta bantuanmu."
"Maaf Nis, aku nggak mau terlibat masalah rumah tangga kalian."
"Tenang saja, kamu tidak akan terlibat."
Aku menjelaskan semua rencanaku. Awalnya Mirza kekeh tidak mau mencampuri urusanku.
"Tolonglah, Mirza. Ada sebuah rumah tangga yang dipertaruhkan disini. Ada anak-anak yang mungkin kehilangan figur ayah mereka. Tentu kamu sangat mengenal Angga dan Anggi. Apa kamu tega melihat mereka terluka?" bujukku.
Akhirnya Mirza menyetujui.
***
Aku membuntuti Mas Fandi, yang menurut Mirza hari ini Mas Fandi ke sebuah hotel untuk merayakan ulang tahun Leni. Aku sudah mempersiapkan semuanya.
Aku meminta Adi, orang suruhanku untuk mengintai Mas Fandi dan Leni.
Tok..tok..
"Room service," kata pegawai hotel, aku ada dibelakangnya. Sandra dan Adi masih ada di lobby hotel.
"Saya nggak pesan..... Mama," kata Mas Fandi membuka pintu dengan memakai singlet dan celana pendek. Ia sangat terkejut dengan kehadiranku disini. Ia pasti tidak menyangka semua ini
"Surprise!" kataku dengan nada sewajar mungkin sambil memegang handphone yang sedang merekam. Hatiku sudah tidak karuan lagi rasanya. Leni nampak gugup, dia yang sedang mengenakan handuk mandi langsung masuk ke kamar mandi lagi.
"Aku bisa jelaskan, Ma!" kata mas Fandi.
"Oke Mama tunggu penjelasannya," kataku.
"Kami tidak melakukan apa-apa," kata Mas Fandi gugup. Tak lama Leni keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap.
"Belum, Pa? Karena sudah ketahuan sama Mama. Ya kan? Ngapain coba ada laki-laki dan perempuan berada dalam hotel berduaan. Meeting? Membicarakan bisnis proyek? Oh tentu saja proyek perselingkuhan," kataku dengan emosi.
"Papa ingat kan? Kalau Papa mengingkari janji Mama boleh melakukan apa saja. Mama sudah menyiapkan semuanya. Tanda tangani ini," kataku sambil memberikan surat perjanjian.
"Kamu licik sekali," kata Leni.
"Maaf, aku nggak ada urusan dengan kamu. Kamu itu yang nggak tahu malu, suami orang di embat juga," kataku.
Aku menelpon Sandra yang ada di luar kamar. Sandra masuk bersama Adi dan pegawai hotel. Mas Fandi dan Leni kaget.
"Kenapa? Kaget? Upss jadi ketahuan banyak orang ya," Kataku.
Akhirnya Mas Fandi dan Leni menandatangani surat perjanjian yang aku bawa, karena mereka tidak mau diviralkan. Padahal aku juga tidak akan berpikir sampai kesitu. Kalau aku viralkan yang terkena dampaknya juga aku dan anak-anak. Sandra, Adi dan pegawai hotel sebagai saksi dalam surat perjanjian.
Entah apa yang kurasakan saat ini. Puas, senang, sedih dan hancur semua menjadi satu.
Sejak kejadian di hotel itu, sulit sekali bagiku untuk memaafkan Mas Fandi. Tapi untuk berpisah aku juga belum sanggup. Karena ada anak-anak yang harus aku pikirkan. Aku berusaha untuk menata hatiku kembali. Mencoba untuk kuat dan tegar walaupun hati sudah hancur berkeping-keping. Bagaimanapun juga Mas Fandi adalah Papa yang baik bagi anak-anak dan masih menjadi suamiku yang sah dimata hukum agama dan negara."Ma, Papa mau bicara sama Mama?" kata Mas Fandi di kamar menjelang tidur malam."Bicara apa, Pa? Sepertinya penting sekali.""Eee... gini Ma, sebelumnya Papa meminta maaf mungkin yang Papa sampaikan ini akan membuat Mama kecewa.""Nggak usah bertele-tele, Pa. Apa yang mau Papa katakan?""Papa minta izin menikah dengan Leni," kata Mas Fandi sambil tersenyum.Dhuarr!Aku merasa tersambar petir, badanku terasa lemas dan air mata langsung jatuh. Mudah sekali Mas Fandi berbicara seperti itu."Apa? Jadi Papa masih be
Sayup-sayup aku mendengar suara Anggi."Mama... Mama."Aku membuka mata, memandang sekeliling. Ternyata aku ada di kamarku sendiri. Kulihat ada Mas Fandi dan anak-anak. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, kepalaku terasa sangat berat."Tadi Mama pingsan, Anggi manggil Mas Angga. Mas Angga yang mengangkat Mama kesini," kata Anggi menjelaskan apa yang terjadi. Aku lihat Mas Fandi menatapku seperti merasa bersalah."Minum dulu tehnya, Ma?" Kata Mas Fandi. Aku diam saja, tidak meresponnya."Mama, minum ya teh hangat ini. Angga lho yang membuatnya tadi," kata Angga sembari mengambil teh. Aku mengangguk dan berusaha untuk bangun. Mas Fandi berusaha membantu, tapi aku menolak.Aku meminum teh hangat buatan Angga, tak terasa bulir-bulir air mata menetes."Kenapa Mama menangis?" tanya Anggi."Nggak apa-apa, cuma kepala Mama pusing sekali," jawabku dengan rasa nyeri di hati."Mama makan ya?" kata Mas Fandi, a
Sejak kejadian kemarin, aku merasa jijik dengan Mas Fandi, sepertinya rasa cinta di hatiku mulai hilang. Aku bertahan karena anak-anak. Jika kami berpisah, bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana kehidupan kami nantinya?Mas Fandi tidak membahas lagi masalah pernikahan. Ia mulai perhatian lagi dengan kami. Mungkin merasa bersalah, tapi entahlah. Mungkin saja ia menutupi sesuatu yang lebih besar lagi.Hari ini aku pergi ke kantor seperti biasanya. Walaupun pikiranku entah kemana, tapi aku tetap berangkat kerja. Sampai di kantor, aku langsung menuju ke ruanganku.Klunting...klunting… ponselku berbunyi. Dari berangkat tadi aku belum sempat mengecek pesan di ponsel. Segera aku ambil ponsel dan mengeceknya.Ada beberapa pesan chat WA yang tidak aku kenal nomornya. Aku buka pesan itu. Betapa terkejutnya aku, melihat foto-foto tersebut. Foto-foto Mas Fandi dan Leni sedang menikah. Aku langs
Di ruang tamu rumah mertua, kami diam dengan pikiran masing-masing menunggu kedatangan Mas Fandi. Ada Mbak Sisi dan Mas Iksan suaminya, juga ada Mas Hendra dan Mbak Yuni. Aku memang sengaja kesini, dan meminta semua keluarga Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dengan bukti-bukti pernikahan Mas Fandi, aku menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari perselingkuhan pertama yang sudah aku maafkan. Ibu mertua tampak shock mendengarkan apa yang aku bicarakan tadi.Tak lama kemudian terdengar suara mobil, ternyata Mas Fandi yang datang. Tadi Mas Hendra menelpon Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dia tampak terkejut melihat kami berkumpul."Ada apa ini?" tanya Mas Fandi yang baru masuk ke ruang keluarga."Duduk dulu Fandi," kata Mas Hendra yang mempersilahkan Mas Fandi untu
Suasana tampak tegang, karena aku dan Mas Fandi sama-sama ngotot. Mempertahankan egonya masing-masing. Mas Fandi tetap membenarkan kelakuannya. Kemudian aku beralih pada Mbak Sisi yang dari tadi selalu menyudutkan ku."Mbak Sisi tahu kan kalau Mas Fandi menikah lagi," kataku sambil menatap Mbak Sisi."Jangan asal bicara kamu Nis! Aku tidak tahu apa-apa," kata Mbak Sisi seolah menantang."Kenapa dari tadi Mbak membela Mas Fandi terus, padahal ia salah," kataku lagi."Karena Fandi adikku." Mbak Sisi masih mengelak juga. Awas ya Mbak, siap-siap saja akan aku bongkar kelakuanmu."O ya? Mbak Sisi tahu kan pernikahan siri Mas Fandi? Bukannya Mbak Sisi hadir di pernikahan itu?" tanyaku dengan penuh selidik.Semua kaget dan menatap Mbak Sisi."Benar apa yang dikatakan Anis, Ma?" tanya Mas Ikhsan mencari penjelasan."Boh
Samar-samar kudengar suara lantunan ayat suci di masjid yang menandakan mendekati waktu subuh. Tadi malam sampai rumah jam sepuluh malam, ternyata anak-anak belum tidur. Mereka mengkhawatirkan aku. Aku sangat terharu, begitu perhatiannya mereka denganku. Aku masuk ke kamar, menangis dan tidak tahu jam berapa tertidur.Kepalaku terasa berat, mungkin kebanyakan menangis. Sudah beberapa hari Mas Fandi tidak pulang. Aku bangkit dari tempat tidur, mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban. Di setiap sujud terakhir aku selalu bermunajat kepada Allah, mohon diberi jalan terbaik untuk keluargaku.Aku keluar kamar untuk menyiapkan sarapan. Roti bakar isi coklat dan keju dengan segelas teh, cukup untuk mengganjal perut sampai siang nanti. Hari ini hari libur, aku ingin mengajak anak-anak keluar mencari hiburan. Kalau memungkinkan situasi dan kondisinya, aku ingin menceritakan pada mereka tentang aku dan Mas Fandi."Ma, kok Pa
Sampai di rumah sakit, aku segera menuju ke kamar perawatan Ibu. Angga dan Anggi masih diluar untuk mencari sesuatu. Di ruang perawatan Ibu, sudah berkumpul anak-anak Ibu dengan pasangan masing-masing. Terlihat Leni memegang tangan mas Fandi. Hatiku terasa nyeri sekali melihatnya, seharusnya aku yang ada di samping Mas Fandi. Sepertinya keluarga besar Mas Fandi sudah bisa menerima kehadiran Leni di hadapan mereka. Aku berjuang sendirian sekarang, keluarga Mas Fandi tidak ada yang berada dipihakku.Mas Fandi menatapku dengan tajam, tapi ia kaget ketika Angga dan Anggi muncul di hadapan kami. Mas Fandi berusaha melepas tangan Leni yang memegang tangannya. Tapi Leni tetap memegang tangan Mas Fandi. Anak-anak tampak tidak suka dengan apa yang mereka lihat.Mbak Sisi berjalan mendekatiku."Gara-gara kamu, Ibu masuk rumah sakit. Kamu sakit hati kan Fandi menikah lagi, makanya kamu sengaja membongkar semuanya di depan Ibu. Puas
Mas Fandi mengajak janji bertemu untuk membicarakan perjanjian dan kesepakatan. Aku sudah meminta tolong teman yang seorang pengacara untuk membuat perjanjian itu. Aku tidak mau kecolongan lagi. Biarlah Mas Fandi yang diambil pelakor, asal jangan anak-anak dan hartaku. Harta yang kami cari dengan susah payah, tak akan aku biarkan jatuh ke tangan pelakor. Kalau memang benar cinta dengan Mas Fandi, ya ambil orangnya saja, harta dan kekayaannya jangan.Aku tidak peduli kalau keluarga Mas Fandi terutama Mbak Sisi, mengatakan kalau aku serakah. Aku menikah dengan Mas Fandi juga tidak memiliki apa-apa, masa Leni menikah dengan Mas Fandi mau menikmati harta kami, enak saja. Aku akan berjuang mempertahankan aset-aset kami.Dari jauh kulihat Mas Fandi sudah datang. Mas Fandi tampak tidak terurus. Tidak kelihatan rapi dan wangi seperti biasanya. Mungkin terlalu sibuk mengurus gundiknya, sampai tidak bisa mengurus diri sendiri.