Malam ini, Mas Fandi mau takziah lagi. Aku menggunakan strategi yang sama. Awalnya Mas Fandi tidak mau mengajakku.
"Apa salah Pa, kalau Mama ikut Papa takziah. Yang meninggal kan suami temannya Papa, berarti ya temanku juga. Kalau alasannya nggak enak sama Mirza dan Candra, sini Mama telpon mereka. Pasti mereka tidak keberatan."
"Apa Papa merasa malu kalau pergi sama Mama?" tanyaku pada Mas Fandi.
Akhirnya Mas Fandi takziah dengan mengajakku. Sepanjang perjalanan Mas Fandi hanya diam membisu. Sampai disana ternyata sudah ada Mirza dan Candra. Mirza dan Candra merupakan teman akrab Mas Fandi, walaupun mereka tidak satu kantor.
Aku duduk agak jauh dari Leni, dapat kulihat kalau Leni selalu mencuri pandang dengan Mas Fandi. Dan beberapa kali juga kepergok olehku. Leni langsung tersenyum padaku.
"Leni cantik ya, Pa? Masih muda, kaya, wah bakal jadi rebutan deh. Mulai dari bujangan, duda bahkan mungkin laki-laki beristri pasti kepincut dengan Leni. Janda semakin didepan, yang jomblo perawan kalah pamor ha..ha..," kataku memecah kesunyian di perjalanan pulang.
"Kalau menurut Papa gimana?" tanyaku
"Gimana apanya, Ma."
"Kalau Papa masih single pasti juga tertarik. Tapi sayang Papa sudah punya istri. Ya kan, Pa?"
"Mama ngomong apa sih? Nggak baik lho ngomongin orang," kata Mas Fandi dengan gugup.
"Ngomongin Leni, si janda baru yang bakal jadi primadona para lelaki. Terutama lelaki hidung belang."
Mas Fandi terdiam, seolah-olah tidak mendengarkan ucapanku.
***
Sandra mendapatkan telpon dari seseorang. Entah berbicara apa, sepertinya sangat serius.
"Ayo ikut aku," kata Sandra mengajakku pergi.
"Kemana?" tanyaku penasaran.
"Ikut saja!"
Kebetulan sekarang waktu istirahat siang. Aku ikut Sandra pergi untuk makan siang.
Ternyata mobil Sandra menuju ke sebuah restoran yang cukup ternama di kotaku. Sandra memilih tempat yang dipojok, yang tidak terlalu terlihat. Kami memesan makanan.
Restoran cukup ramai karena memang waktunya makan siang. Tak lama kemudian datang seseorang yang sangat aku kenal, teman hidupku dalam ikatan pernikahan. Aku kaget, shock, dadaku terasa bergetar. Benarkah yang aku lihat ini? Mas Fandi datang bersama Leni bergandengan tangan seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Sandra memegang tanganku, menguatkan ku. Air mataku langsung menetes.
"Siapkan mental, Nis! Ingat jangan terbawa emosi. Harus elegan." Sandra mengingatkanku untuk tidak bertindak bar-bar.
"Kita lihat dulu apa yang akan terjadi," lanjut Sandra.
Mereka memesan makanan. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang-bincang dengan mesra, tangan saling berpegangan. Dadaku terasa sangat panas. Ya Allah, kuatkan aku.
Aku melihat Mas Fandi mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Begitu pesanan mereka datang, aku berjalan mendekati mereka. Mengambil kursi di meja lain dan duduk di hadapan mereka. Wajah mereka pucat pasi seperti mayat.
"Wah, makan siang nggak ngajak-ngajak nih." Aku berkata membuka pembicaraan. Mas Fandi tersenyum kecut sedangkan Leni tampak ketakutan.
"Apa ini? Wow sebuah cincin, bagus banget! Baru jadian ya?" kataku sembari mengambil kotak kecil berwarna merah di meja.
Mereka masih terdiam, salah tingkah. Ada beberapa pasang mata yang mengawasi kami.
"Kok diam? Tadi tertawa-tawa mesra, saling pegang tangan." Aku melanjutkan.
"Apa maumu, Anis?" tanya Leni dengan suara yang agak keras, sehingga banyak pengunjung yang menoleh ke arah kami. Punya nyali juga Leni ini. Memang kebanyakan selingkuhan lebih galak daripada istri sah.
"Mauku? Aku yakin kamu tahu apa mauku!" jawabku
"Mas Fandi mencintaiku, tidak mencintaimu." Leni semakin keras bersuara. Aku lihat beberapa orang mengeluarkan hp dan merekam kejadian.
"O ya, kalau tidak mencintaiku, bagaimana kami bisa hidup bersama selama tujuh belas tahun, sampai lahir dua orang anak?"
"Pa, Mama tunggu penjelasan di rumah" kataku sambil melangkah pergi dengan cincin masih di tanganku.
Aku tidak mau menjadi viral karena kejadian ini.
***
"Ma, maafkan Papa. Papa khilaf," kata Mas Fandi ketika sudah di rumah.
"Kapan hubungan terlarang kalian dimulai?" Aku bertanya dengan suara yang bergetar.
"Ketika Ibu masuk rumah sakit dan suami Leni di rawat di rumah sakit yang sama."
"Jadi ketika Leni masih memiliki suami?"
"Papa kasihan melihat Leni mengurus suaminya yang sakit-sakitan. Papa berusaha menjadi teman untuk dia."
"Teman? Tidak ada yang namanya teman antara laki-laki beristri dan perempuan bersuami. Apalagi berteman dengan mantan! Yang namanya mantan itu tidak perlu dikenang tapi dibuang ke kotak sampah. Sudah pernah ditinggal menikah karena memilih yang lebih kaya, kok mau-maunya dekat lagi."
"Darimana Mama tahu kalau Leni itu mantan?"
"Pa, Mama tu dengar sendiri dari orang-orang yang melayat waktu suaminya Leni meninggal. Berarti yang dikatakan orang-orang itu benar, kesedihan Leni hanya pura-pura. Mama yakin dalam hati Papa juga bersyukur karena suaminya Leni meninggal. Jadi kalian bisa bersama tanpa ada gangguan, karena pasti Papa mengira Mama diam itu tidak tahu apa-apa!"
"Tahukah, Pa? Sejak suami Leni meninggal, aku sudah punya orang yang selalu melaporkan kegiatan kalian. Papa yang rajin setiap istirahat siang datang ke toko Leni untuk makan siang atau keluar seperti tadi. Hebat sekali ya, selingkuhan dibelikan cincin, istri sendiri tidak pernah. Mama punya semua bukti-bukti perselingkuhan kalian. Jangan macam-macam! Nanti Mama laporkan ke atasan Papa!"
"Tolong Ma, jangan lakukan itu! Apa Mama tidak malu kalau papa dipecat dengan tidak hormat?" tanya Mas Fandi.
"Apa Papa tidak malu ketika berselingkuh dan akhirnya ketahuan? Dimana akal sehat Papa? Papa nggak mikir ya kalau punya anak-anak yang sudah remaja?" jawabku dengan sengit.
"Jangan sampai anak-anak tahu, Ma?"
"Makanya hentikan perselingkuhan kalian, sebelum semuanya menjadi penyesalan!"
"Papa janji, tidak akan mengulanginya,"
"Kalau mengingkari janji, bagaimana?"
"Papa ikuti apa kemauan Mama."
Aku masih mencintai mas Fandi. Mungkin aku yang terlalu bucin, yang dibutakan oleh cinta. Sejujurnya hatiku ini terlalu sakit mendengar pengakuan Mas Fandi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang aku pikirkan hanya anak-anak. Bagaimana perasaan mereka kalau sampai tahu, papanya berselingkuh.
***
"Apa yang harus aku lakukan San?" Aku curhat pada Sandra.
Sandra tempat aku berkeluh kesah, karena dia teman baikku. Kami sering berbagi cerita dan saling mendukung juga saling menguatkan.
"Semua ada ditanganmu, Nis. Yang baik menurutku, belum tentu baik menurutmu. Begitu juga sebaliknya. Yang menjalaninya itu kamu. Menurutku, sebaiknya pasrahkan semua pada Allah, ikuti kata hatimu. Sebagai teman, aku akan selalu mendukungmu."
"Terimakasih ya, San?"
"Sama-sama, Nis! Yang jelas, kamu harus kuat demi anak-anak."
Aku mengangguk.
Aku mencoba untuk belajar memaafkan, berat memang. Setidaknya aku mencoba untuk melakukannya. Mungkin memang Mas Fandi sedang khilaf dan bisa berubah sesuai dengan janjinya.
Mas Fandi sekarang lebih perhatian dengan keluarga, terutama denganku. Hubungan kami perlahan mulai harmonis lagi. Kami berusaha untuk memperbaiki kualitas hubungan kami. Mas Fandi memang pintar mengambil hati, pantas saja banyak perempuan yang kesengsem. Aku saja masih selalu meleleh kalau ia sudah memberikan perhatian yang lebih.Aku berharap ia akan seperti ini terus. Memperhatikan keluarga, terutama anak-anak. Semoga saja anak-anak tidak ada yang tahu permasalahan ini. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana hati mereka akan terluka jika tahu kelakuan papanya.Drtt...drtt.Drtt...drttGawai Mas Fandi berbunyi, ada panggilan masuk bernama Dani. Mas Fandi baru saja masuk ke kamar mandi.Drtt...drtt."Halo," kataku ketika menerima panggilan itu.Langsung dimatikan. Nggak ada sopan-sopannya yang bernama Dani ini. Apa salahnya menjawab dulu. Bikin kesal saja. Aku penasaran, aku buka foto profilnya. Hanya foto dua tangan yang
Sejak kejadian di hotel itu, sulit sekali bagiku untuk memaafkan Mas Fandi. Tapi untuk berpisah aku juga belum sanggup. Karena ada anak-anak yang harus aku pikirkan. Aku berusaha untuk menata hatiku kembali. Mencoba untuk kuat dan tegar walaupun hati sudah hancur berkeping-keping. Bagaimanapun juga Mas Fandi adalah Papa yang baik bagi anak-anak dan masih menjadi suamiku yang sah dimata hukum agama dan negara."Ma, Papa mau bicara sama Mama?" kata Mas Fandi di kamar menjelang tidur malam."Bicara apa, Pa? Sepertinya penting sekali.""Eee... gini Ma, sebelumnya Papa meminta maaf mungkin yang Papa sampaikan ini akan membuat Mama kecewa.""Nggak usah bertele-tele, Pa. Apa yang mau Papa katakan?""Papa minta izin menikah dengan Leni," kata Mas Fandi sambil tersenyum.Dhuarr!Aku merasa tersambar petir, badanku terasa lemas dan air mata langsung jatuh. Mudah sekali Mas Fandi berbicara seperti itu."Apa? Jadi Papa masih be
Sayup-sayup aku mendengar suara Anggi."Mama... Mama."Aku membuka mata, memandang sekeliling. Ternyata aku ada di kamarku sendiri. Kulihat ada Mas Fandi dan anak-anak. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, kepalaku terasa sangat berat."Tadi Mama pingsan, Anggi manggil Mas Angga. Mas Angga yang mengangkat Mama kesini," kata Anggi menjelaskan apa yang terjadi. Aku lihat Mas Fandi menatapku seperti merasa bersalah."Minum dulu tehnya, Ma?" Kata Mas Fandi. Aku diam saja, tidak meresponnya."Mama, minum ya teh hangat ini. Angga lho yang membuatnya tadi," kata Angga sembari mengambil teh. Aku mengangguk dan berusaha untuk bangun. Mas Fandi berusaha membantu, tapi aku menolak.Aku meminum teh hangat buatan Angga, tak terasa bulir-bulir air mata menetes."Kenapa Mama menangis?" tanya Anggi."Nggak apa-apa, cuma kepala Mama pusing sekali," jawabku dengan rasa nyeri di hati."Mama makan ya?" kata Mas Fandi, a
Sejak kejadian kemarin, aku merasa jijik dengan Mas Fandi, sepertinya rasa cinta di hatiku mulai hilang. Aku bertahan karena anak-anak. Jika kami berpisah, bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana kehidupan kami nantinya?Mas Fandi tidak membahas lagi masalah pernikahan. Ia mulai perhatian lagi dengan kami. Mungkin merasa bersalah, tapi entahlah. Mungkin saja ia menutupi sesuatu yang lebih besar lagi.Hari ini aku pergi ke kantor seperti biasanya. Walaupun pikiranku entah kemana, tapi aku tetap berangkat kerja. Sampai di kantor, aku langsung menuju ke ruanganku.Klunting...klunting… ponselku berbunyi. Dari berangkat tadi aku belum sempat mengecek pesan di ponsel. Segera aku ambil ponsel dan mengeceknya.Ada beberapa pesan chat WA yang tidak aku kenal nomornya. Aku buka pesan itu. Betapa terkejutnya aku, melihat foto-foto tersebut. Foto-foto Mas Fandi dan Leni sedang menikah. Aku langs
Di ruang tamu rumah mertua, kami diam dengan pikiran masing-masing menunggu kedatangan Mas Fandi. Ada Mbak Sisi dan Mas Iksan suaminya, juga ada Mas Hendra dan Mbak Yuni. Aku memang sengaja kesini, dan meminta semua keluarga Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dengan bukti-bukti pernikahan Mas Fandi, aku menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari perselingkuhan pertama yang sudah aku maafkan. Ibu mertua tampak shock mendengarkan apa yang aku bicarakan tadi.Tak lama kemudian terdengar suara mobil, ternyata Mas Fandi yang datang. Tadi Mas Hendra menelpon Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dia tampak terkejut melihat kami berkumpul."Ada apa ini?" tanya Mas Fandi yang baru masuk ke ruang keluarga."Duduk dulu Fandi," kata Mas Hendra yang mempersilahkan Mas Fandi untu
Suasana tampak tegang, karena aku dan Mas Fandi sama-sama ngotot. Mempertahankan egonya masing-masing. Mas Fandi tetap membenarkan kelakuannya. Kemudian aku beralih pada Mbak Sisi yang dari tadi selalu menyudutkan ku."Mbak Sisi tahu kan kalau Mas Fandi menikah lagi," kataku sambil menatap Mbak Sisi."Jangan asal bicara kamu Nis! Aku tidak tahu apa-apa," kata Mbak Sisi seolah menantang."Kenapa dari tadi Mbak membela Mas Fandi terus, padahal ia salah," kataku lagi."Karena Fandi adikku." Mbak Sisi masih mengelak juga. Awas ya Mbak, siap-siap saja akan aku bongkar kelakuanmu."O ya? Mbak Sisi tahu kan pernikahan siri Mas Fandi? Bukannya Mbak Sisi hadir di pernikahan itu?" tanyaku dengan penuh selidik.Semua kaget dan menatap Mbak Sisi."Benar apa yang dikatakan Anis, Ma?" tanya Mas Ikhsan mencari penjelasan."Boh
Samar-samar kudengar suara lantunan ayat suci di masjid yang menandakan mendekati waktu subuh. Tadi malam sampai rumah jam sepuluh malam, ternyata anak-anak belum tidur. Mereka mengkhawatirkan aku. Aku sangat terharu, begitu perhatiannya mereka denganku. Aku masuk ke kamar, menangis dan tidak tahu jam berapa tertidur.Kepalaku terasa berat, mungkin kebanyakan menangis. Sudah beberapa hari Mas Fandi tidak pulang. Aku bangkit dari tempat tidur, mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban. Di setiap sujud terakhir aku selalu bermunajat kepada Allah, mohon diberi jalan terbaik untuk keluargaku.Aku keluar kamar untuk menyiapkan sarapan. Roti bakar isi coklat dan keju dengan segelas teh, cukup untuk mengganjal perut sampai siang nanti. Hari ini hari libur, aku ingin mengajak anak-anak keluar mencari hiburan. Kalau memungkinkan situasi dan kondisinya, aku ingin menceritakan pada mereka tentang aku dan Mas Fandi."Ma, kok Pa
Sampai di rumah sakit, aku segera menuju ke kamar perawatan Ibu. Angga dan Anggi masih diluar untuk mencari sesuatu. Di ruang perawatan Ibu, sudah berkumpul anak-anak Ibu dengan pasangan masing-masing. Terlihat Leni memegang tangan mas Fandi. Hatiku terasa nyeri sekali melihatnya, seharusnya aku yang ada di samping Mas Fandi. Sepertinya keluarga besar Mas Fandi sudah bisa menerima kehadiran Leni di hadapan mereka. Aku berjuang sendirian sekarang, keluarga Mas Fandi tidak ada yang berada dipihakku.Mas Fandi menatapku dengan tajam, tapi ia kaget ketika Angga dan Anggi muncul di hadapan kami. Mas Fandi berusaha melepas tangan Leni yang memegang tangannya. Tapi Leni tetap memegang tangan Mas Fandi. Anak-anak tampak tidak suka dengan apa yang mereka lihat.Mbak Sisi berjalan mendekatiku."Gara-gara kamu, Ibu masuk rumah sakit. Kamu sakit hati kan Fandi menikah lagi, makanya kamu sengaja membongkar semuanya di depan Ibu. Puas