Sejak kejadian di hotel itu, sulit sekali bagiku untuk memaafkan Mas Fandi. Tapi untuk berpisah aku juga belum sanggup. Karena ada anak-anak yang harus aku pikirkan. Aku berusaha untuk menata hatiku kembali. Mencoba untuk kuat dan tegar walaupun hati sudah hancur berkeping-keping. Bagaimanapun juga Mas Fandi adalah Papa yang baik bagi anak-anak dan masih menjadi suamiku yang sah dimata hukum agama dan negara.
"Ma, Papa mau bicara sama Mama?" kata Mas Fandi di kamar menjelang tidur malam.
"Bicara apa, Pa? Sepertinya penting sekali."
"Eee... gini Ma, sebelumnya Papa meminta maaf mungkin yang Papa sampaikan ini akan membuat Mama kecewa."
"Nggak usah bertele-tele, Pa. Apa yang mau Papa katakan?"
"Papa minta izin menikah dengan Leni," kata Mas Fandi sambil tersenyum.
Dhuarr!
Aku merasa tersambar petir, badanku terasa lemas dan air mata langsung jatuh. Mudah sekali Mas Fandi berbicara seperti itu.
"Apa? Jadi Papa masih berhubungan lagi dengan Leni?" tanyaku seolah tidak mempercayai pendengaranku.
"Maafin Papa," jawab Mas Fandi pelan.
"Kenapa Pa? Bukannya Papa sudah berjanji tidak akan berhubungan lagi? Apa salah Mama, Pa? Mama selalu berusaha menyenangkan hati Papa. Ternyata Papa tidak punya hati. Papa anggap Mama ini apa?" kataku mulai terisak.
"Mama nggak salah apa-apa. Papa yang salah."
"Papa nggak mikir, bagaimana perasaan anak-anak kalau Papa menikah lagi?"
"Nanti Papa yang akan bicara dengan anak-anak."
"Semudah itu Papa bicara. Mikir nggak dampak psikis anak-anak nantinya. Nggak mikir perasaan Mama, keluarga besar kita dan karir Papa. Apa bisa PNS memiliki istri dua? Apa Papa sudah siap untuk dipecat?"
"Maafkan Papa. Karena itu Papa bilang sama Mama, supaya tidak Mama laporkan ke kantor."
"Maaf, memang mudah bicara maaf. Jadi Papa ingin Mama diam saja, seolah-olah tidak terjadi pernikahan Papa yang kedua? Keluar dari kamar, Pa! Mama mau sendiri."
"Ma, dengarkan alasan Papa dulu."
"Enggak perlu, Pa, Papa pasti akan membenarkan segala perbuatan Papa."
"Tapi Ma...!"
"Keluar, Pa!" Aku mendorong tubuhnya. Kututup pintu kamar, langsung aku rebahkan tubuhku di tempat tidur. Masih kudengar Mas Fandi mengetuk pintu.
Ternyata yang aku bayangkan selama ini terjadi. Orang yang sangat aku cintai dan aku harapkan akan bersama hingga tua nanti, ternyata mengkhianati ikatan suci ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Aku masih berharap kalau semua ini hanya mimpi. Aku menangis, dada terasa sesak.
Aku terbangun, kulihat jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Kepalaku terasa sangat berat. Kuambil air wudu, menunaikan sunah sambil berserah diri mengadukan segala persoalan kepada sang pemilik hidup.
Selesai salat aku merebahkan tubuh di tempat tidur. Masih mengingat apa yang terjadi tadi malam. Pikiranku benar-benar kacau. Aku mencoba memejamkan mata, ternyata pikiranku tidak bisa diajak kompromi. Tetap mengembara tak tentu arah. Sayup-sayup terdengar azan subuh.
Aku tidak tahu Mas Fandi tidur dimana. Aku tidak mau memikirkannya. Aku tetap melakukan aktivitas seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk pagi ini. Jangan sampai anak-anak tahu masalah ini.
"Mama sakit ya? Kok pucat," kata Angga yang muncul di hadapanku.
"Enggak Nak, Mama cuma pusing aja," jawabku. Anak pertamaku ini memang selalu perhatian.
Mas Fandi menghampiri meja makan, duduk dan meminum kopi yang selalu aku buatkan tiap pagi. Aku bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Semua sarapan seperti biasa.
Selesai sarapan aku dibantu Anggi membereskan meja makan.
"Pa, Ma kami berangkat ya?" Angga dan Anggi pamit.
Aku bergegas siap-siap untuk berangkat kerja. Aku sengaja berangkat pagi untuk menghindari Mas Fandi. Kutinggalkan dia, segera kulajukan mobil ke arah kantor. Ketika melewati kantor, suasana masih sepi. Aku mau jalan-jalan dulu, menikmati pagi ini. Kuarahkan mobil ke pasar tradisional. Mencari kebutuhan rumah dan makanan untuk teman-teman di kantor.
"Ayo sarapan dulu," ucapku pada teman-teman yang sudah datang. Sambil aku meletakkan jajanan pasar yang tadi kubeli. Mereka langsung berkerumun, mengambil makanan yang ada.
"Kamu bikin sendiri, Nis?" tanya Sandra.
"Iya, tapi tadi ngambilnya di pasar," jawabku sambil nyengir.
"Sudah kuduga, nggak mungkin kamu sempat membuat makanan sebanyak ini. Dasar kamu, Nis. Bilang saja kalau beli, pakai berbelit-belit," kata Sandra.
Aku hanya tertawa.
****
"Ma, ada yang nyariin Mama," kata Angga memanggilku di kamar. Aku sedang tiduran sambil berselancar di dunia maya. Mencari informasi dan hiburan.
"Siapa?" jawabku.
"Nggak tahu Ma, sudah Angga suruh masuk."
"Oke, makasih, ya?"
Angga mengangguk. Aku bergegas keluar kamar sambil mengambil jilbab.
Sampai di ruang tamu, aku terkejut melihat siapa yang datang. Leni duduk sambil sibuk memainkan hpnya.
"Ada apa kesini?" tanyaku dengan ketus.
"Mbak, ada yang perlu saya bicarakan dengan Mbak Anis," jawab Leni.
"Apakah penting?"
"Penting sekali Mbak."
"Penting bagi siapa? Aku atau kamu?"
"Kita berdua."
Aku duduk bersebrangan dengan Leni.
"Sebelumnya saya minta maaf. Saya sudah mengingkari janji pada Mbak Anis. Saya kesini mau minta ijin. Tolong Mbak, restui kami menikah."
Emosiku langsung naik. Tapi aku berusaha untuk menahan diri. Aku takut anak-anak akan mendengar semua ini.
"Kenapa harus suamiku? Kamu masih muda dan cantik, apa tidak ada laki-laki lain? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan anak-anakku kalau kalian menikah!"
"Maafkan aku Mbak, tapi aku hamil Mbak."
Duniaku terasa runtuh. Ingin aku menangis sekuat-kuatnya, tapi masih aku tahan.
"Bohong!" kataku berusaha untuk tetap tenang.
"Benar Mbak, saya tidak bohong. Untuk apa saya berbohong."
"Untuk mendapatkan Mas Fandi kamu akan melakukan berbagai macam cara. Termasuk dengan berbohong. Mungkin saja itu bukan anak Mas Fandi."
"Demi Allah Mbak, ini anak Mas Fandi!" Leni mulai terisak-isak.
"Nggak usah bawa-bawa nama Allah. Waktu zina tidak ingat sama Allah. Aku nggak yakin kalau kamu hanya melakukannya dengan mas Fandi saja. Pasti ada laki-laki lain yang ikut andil dengan benih di perutmu itu."
"Benar, Mbak. Ini anak Mas Fandi. Aku hanya melakukannya dengan Mas Fandi. Aku mohon Mbak, izinkan kami menikah. Kasihan anak ini kalau sampai tidak memiliki ayah." Leni bersimpuh sujud di kakiku.
"Waktu kamu melakukannya, pernah nggak berpikir sampai kesana? Pasti nggak bakal mikir. Karena hanya ada nafsu duniawi di pikiran kalian."
"Tolong, Mbak. Restui kami."
"Kamu benar-benar perempuan mur*h*n. Kamu sengaja melakukan zina dan hamil biar aku merestui hubungan kalian ya kan? Sampai kapan pun aku tidak akan merestuinya. Jangan harap anakmu itu nanti bernasab pada Mas Fandi. Sekarang silahkan pulang!" Suaraku terasa bergetar dan badanku gemetar. Jangan sampai aku menangis didepannya
"Tapi Mbak, tolong...."
"Keluar!"
Leni berjalan keluar.
Aku menutup pintu. Tiba-tiba pandanganku gelap.
Suara azan subuh membangunkanku dari tidur dan mimpi. Mimpi yang sangat indah, eh mimpi atau kenyataan ya? Sebuah tangan masih melingkar di tubuhku, ah tentu saja tangannya Mas Rayhan, suamiku tercinta. Perlahan aku singkirkan tangannya, ternyata dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Badanku terasa sangat remuk redam, karena permainan panas kami berdua tadi malam. Benar-benar luar biasa. Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi masih ditahan tangan Mas Rayhan."Nanti saja bangunnya," kata Mas Rayhan sambil mengeratkan pelukannya."Aku mau mandi, Mas. Salat subuh.""Sebentar lagi. Mas masih mau memelukmu. Sekali lagi ya?" pinta Mas Rayhan dengan tangan mulai bergerilya.Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mas Rayhan masih bersemangat melakukannya. Permainannya luar biasa, aku dibuatnya tidak berdaya."Aah..aah." Aku terus mendesah, menikmati surga dunia.
Rumah terasa sangat sepi hanya kami berdua saja. Aku membereskan barang-barang yang masih berantakan. Dibantu Mas Rayhan, semua sudah tampak bersih lagi. Malam ini aku berencana akan tidur di rumah Mas Rayhan. Beberapa pakaian dan keperluanku sudah aku bawa kemarin. Tentu saja tidak semua barang aku bawa, hanya keperluan pribadi saja.Tak terasa sudah azan magrib, kebetulan aku sudah selesai mandi. Segera aku dan Mas Rayhan meninggalkan rumah ini.Setelah mengunci pintu rumahku, akhirnya aku dan Mas Rayhan pindah tempat tinggal.Mas Rayhan sedang mandi ketika aku selesai salat magrib. Ia tidak mandi di rumahku karena memang tidak pakaian ganti. Mas Rayhan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tampak tubuh kekarnya yang belum pernah aku lihat. Dadaku menjadi berdebar-debar. Aku tetap memperhatikan Mas Rayhan, kemudian ia melepaskan handuknya dan memakai celana dalam. Aku merasa sangat malu, kemudian ia menoleh padaku,
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul empat pagi. Kulihat Anggi masih pulas terbuai mimpi. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur karena merasa sangat haus. Kulihat Indra, suami Resti, dan Angga masih tertidur di depan televisi. Keluargaku memang sedang menginap di rumahku.Sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak air."Bu, kok sudah bangun?" tanyaku, sambil mengambil air putih."Ibu memang terbiasa bangun jam segini.""Apa Ibu nggak nyenyak tidurnya?""Kalau sudah setua Ibu, tidur nyenyak itu nggak lama. Paling hanya beberapa jam saja."Aku pun duduk bersama Ibu."Kamu sendiri nyenyak nggak tidurnya? Atau malah nggak bisa tidur membayangkan hari ini?" tanya Ibu menggodaku."Alhamdulillah, Bu, nyenyak sekali.""Kamu bahagia, Nis?""Bahagia, Bu."&nbs
Aku sedang berada di rumah Mas Rayhan, asyik ngobrol dengan Uti Ros. Tadi aku mengantarkan makanan buatan Ibu, malah diajak ngobrol sama Uti Ros."Ibu sudah nggak sabar melihat Rayhan menikah. Dia sudah lama sendiri, setiap Ibu tanya kapan mau menikah, ia selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi ketika Ibu dan Key menjodohkan denganmu, Rayhan tampak bersemangat. Dan yang membuat Ibu berbahagia, waktu Rayhan mengatakan mau menikah denganmu. Ibu yakin, kamu itu memang pantas mendampinginya. Akhirnya Rayhan menemukan jodohnya." Uti Ros berkata dengan mata berkaca-kaca."Saya juga sangat berbahagia, Uti. Saya tidak menyangka kalau mau menikah lagi dalam waktu dekat ini. Tapi yang namanya jodoh, tidak ada yang tahu. Ternyata jodoh saya lima langkah dari rumah, kayak lagi dangdut," kataku sambil tertawa. Uti Ros juga ikut tertawa."Ibu yakin, kalian berdua bisa menjaga keutuhan rumah tangga kalian nantinya. Pengalaman hidup
"Ayo sekarang kita cari Mas kawinnya," kata Mas Rayhan setelah kami selesai mendaftarkan pernikahan kami ke KUA. Semua persyaratan sudah selesai kami urus dan semuanya sudah beres. Tinggal menunggu akad nikahnya.Mobil melaju ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Kami langsung menuju ke toko perhiasan. Aku memilih perhiasan yang aku suka, yaitu cincin."Kenapa nggak yang ini?" kata Mas Rayhan sambil menunjuk satu set perhiasan, berupa cincin, gelang dan kalung.Aku ragu memilihnya, karena aku tahu pasti mahal harganya."Nggak usah mikir harga. Uang bisa dicari," bisiknya padaku.Aku mengangguk tanda setuju dengan pilihannya.Selesai membeli mas kawin, kami jalan-jalan mencari pakaian. Ternyata Mas Rayhan orangnya ribet kalau mencari pakaian, hobinya yang model slim fit. Pantesan ia selalu terlihat modis dan macho, nggak kayak aku. Aku kalau mencari pakaian yang
Pagi ini aku dikagetkan dengan kedatangan keluarga besarku. Bapak, Ibu, Resti dan keluarganya datang ke rumah. Ada apa ya, kok begitu mendadak? Apakah ada sesuatu yang begitu penting? Aku jadi penasaran."Kok nggak ada yang ngasih kabar kalau mau kesini," kataku masih tidak percaya dengan kehadiran mereka."Kejutan, Mbak!" kata Resti sambil tertawa.Aku ke dapur untuk membuatkan minuman, kulihat Anggi sedang membuatkan teh sambil ngobrol dengan Nadia, anak pertama Resti."Kamu tahu kalau Akung dan Uti mau kesini?" tanyaku pada Anggi."Tahu, Ma," jawab Anggi dengan santai."Kok nggak bilang sama Mama.""Nggak boleh kata Tante Resti." Anggi melangkah ke ruang keluarga dengan membawa minuman. Kami duduk diatas karpet sambil ngobrol-ngobrol."Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Ibu."Siap apa, Bu?" jawabku