Share

Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi
Ketika Ibu Ingin Menikah Lagi
Penulis: Nabila

Rencana yang Menggemparkan

Part 1

 Cahaya matahari membakar bumi dengan begitu garang. Di petala langit, sinarnya seperti menyiratkan pesan kemenangan sebelum senja jatuh merebutnya. Di rumah kami yang berhalaman luas, sedang terjadi perdebatan sengit antara Ibu dan kakak-kakakku. Ibu mengabarkan berita yang membuat kami semua terperenyak tidak percaya. Rasanya tidak mungkin Ibu mengucapkan kalimat itu. Ibu sudah terbiasa hidup sendirian setelah ditinggalkan Bapak. Ibu perempuan paling kuat yang pernah aku kenal. Kenapa hari ini mengeluarkan fatwa yang membuat kami bertanya-tanya?

 “Ibu mau menikah lagi.” Suara tegas itu sukses menghipnosis kami.

 "Ibu apa-apaan, sih, malu-maluin saja! Eling Bu, ingat sama cucu. Radith dan Ratih sudah gede, tahun ini masuk SMP, masa neneknya mau nikah lagi?" protes Mbak Tari kakak sulungku. Nama lengkapnya Astari Kusumadewi. Mbak Tari dan Ibu punya kepribadian yang mirip. Sama-sama tegas, juga sama-sama janda ditinggal mati.

 "Ibu ini sudah tua bukannya dibanyakin ngaji malah mau nikah lagi. Kalau selama dua puluh tahun ini Ibu bisa menjadi janda terhormat sejak ditinggal Bapak, kenapa tiba-tiba mendadak kepingin nikah lagi? Lika ndak setuju!" sungut kakak perempuanku nomor dua, Mbak Lika Kusumastuti. Kepribadian Mbak Lika lebih keras dari Mbak Tari.  

 "Ibu kesepian? Ibu bisa bergantian datang ke rumah kami, menengok cucu-cucu. Atau kami yang kemari kapan pun Ibu mau, kami siap datang." Kali ini Mas Bagus Kusumanto mengemukakan pendapatnya. Aku hanya tersenyum dalam hati.

 "Laras, kamu jangan mesam-mesem aja. Selama ini kamu yang merawat Ibu. Jangan-jangan kamu tidak memperhatikan Ibu sampai Ibu ada niat mau menikah lagi?" bentak Mbak Tari.

 Sontak saja aku tergagap. Aku sendiri juga baru tahu pagi ini kalau Ibu berniat menikah lagi. Untuk itulah aku mengumpulkan kakak-kakakku. Dua orang kakak perempuan dan satu kakak laki-laki ini harus tahu keinginan Ibu, jangan aku sendiri yang syok mendengar berita Ibu ingin menikah lagi.

 "Laras yo ndak ngerti, Mbak. Kemarin sore Ibu pulang dari pengajian di rumah Bude Narsih, lha bangun tidur tiba-tiba ibu bilang mau menikah lagi. Laras kaget juga, Mbak," jawabku membela diri.

 Mereka ini aneh. Kalau aku kasih kabar Ibu sakit, tidak ada yang mau datang, tetapi begitu mendengar kabar Ibu mau menikah lagi, secepat kilat mereka bisa berkumpul di sini sekarang. Untuk menghakimi Ibu.

 "Sudah kalian berantemnya?" Suara Ibu sontak membuat kami terdiam.

 "Ibu ingin menikah karena memang ingin mempunyai pasangan hidup. Sudah terlalu lama Ibu hidup sendiri. Sebentar lagi Laras juga menikah, hanya tinggal menunggu hari baik. Rumah ini akan sepi. Apakah kalian ndak kepingin lihat ibu berbahagia?"

 Kami berempat berpandangan. Rasanya memang tak masuk akal. Seharusnya Ibu menghabiskan banyak waktu untuk mengikuti pengajian, merawat tanaman seperti hobinya selama ini, ketimbang memikirkan laki-laki yang akan disebutnya sebagai suami, pengganti Bapak. Oh, tidak.

 "Ibu jangan bikin kami kesel, to, Bu. Lagian Ibu ini mau menikah sama siapa? Sudah enak punya rumah besar, luas, adem, punya anak banyak, cucu juga sudah besar, tinggal banyakin ngaji, ibadah. Tari yang ditinggal Mas Bara sekarang hidup bertiga sama anak-anak aja, sudah nggak mikir nikah," sambar Mbak Tari. Mas Bara, suaminya, meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan.

 "Kalian tahu Pak Haji Umar yang rumahnya dekat tikungan? Dia mau melamar Ibu, kemarin dia bilang sama Bude Narsih," tutur Ibu dengan tenang.

 "Haji Umar bapaknya Rafiqoh? Ibu apa-apaan ini?" teriak Mas Bagus sambil berdiri dari kursinya. Pasti dia kaget sekali. Rafiqoh adalah teman kuliahnya, lebih tepatnya adalah mantan pacarnya.

 

"Haji Umar bukannya bapaknya Mas Ibram?" seru Mbak Lika yang juga sangat kaget, karena Mas Ibram tetangganya satu lingkup perumahan.

 "Pokoknya kali ini Tari ndak mau mendukung Ibu!" Mbak Tari bergegas mengambil tasnya di meja lalu pergi meninggalkan Ibu tanpa pamit. Sesaat kemudian suara deru mobilnya terdengar menjauhi rumah kami.

 "Lika juga enggak setuju, Bu. Lika masih banyak pekerjaan, anak-anak juga belum makan. Lika pamit dulu.”

 Duer!

Aku melonjak kaget mendengar suara pintu dibanting. Mbak Lika pasti marah. Kebiasaannya  mesti enggak sopan kalau sedang marah.

 "Bu, Bagus minta Ibu pikirkan lagi rencana gila ini. Jangan khianati cinta Bapak, Bagus ndak rela. Bagus kepingin nanti Ibu dan Bapak kembali bersama-sama di surga. Tolong dipikirkan lagi, ya, Bu. Bagus pulang dulu." Suara Mas Bagus terdengar parau. Setelah bersalaman dan mengucapkan salam, Mas Bagus juga pergi meninggalkan aku berdua bersama Ibu.

 "Mereka semua tidak ada yang mengerti perasaan Ibu, Laras." Ibu berbicara kepadaku yang masih termangu di hadapannya.

 Aku sangat mengenal Ibu. Tidak mungkin Ibu semudah itu menukar kesetiaannya kepada Bapak, dengan orang baru. Entah apa yang membuat Ibu tiba-tiba mempunyai ide gila seperti ini.

 "Hanya kamu yang mengerti Ibu, Laras. Ibu harap kamu tidak ikut menentang rencana Ibu seperti kakak-kakakmu." Aku berusaha menyimak kalimat demi kalimat yang Ibu sampaikan.

 Kami tidak kekurangan harta, meskipun juga tidak hidup berlebihan. Ibu masih mempunyai banyak sawah yang disewakan untuk biaya hidup kami sehari-hari juga untuk biaya kuliahku. Meskipun tanpa bantuan ketiga kakak-kakakku, kami bisa hidup layak. Jadi kurasa Ibu tidak mungkin menikah karena masalah harta.

 

Apakah benar Ibu akan merasa kehilangan saat aku menikah dengan Mas Erlangga nanti? Mas Erlangga memang berencana memboyongku ke Kalimantan, karena dia sudah bekerja di sana. Gajinya sangat cukup untuk menghidupi aku dan anak kami kelak, jadi tidak mungkin dia kembali ke kota ini. Sebagai istri kelak aku harus mendampinginya. Apakah ini alasan Ibu ingin menikah lagi? Karena kesepian?

 "Kalian semua sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Ibu akan tinggal sendiri di rumah ini. Jadi apakah salah kalau Ibu juga membutuhkan teman hidup?" Suara Ibu agak tercekat di tenggorokan.

 Dari lahir hingga sekarang aku selalu hidup bersama Ibu. Jika tidak ada hal yang merisaukan hatinya, jarang sekali Ibu mengambil keputusan tanpa melibatkan pendapat anak-anaknya.

 "Ibu jangan bohong sama Laras. Ceritakan yang sebenarnya, supaya Laras bisa mengerti, Bu," pintaku sambil mendekati Ibu. Aku duduk di samping Ibu lalu memijat bahunya perlahan. Ibu memandangiku dengan bimbang.

 "Kamu berjanji akan mendukung Ibu?"

 Aku mengangguk meski belum tahu apa yang Ibu maksudkan. Aku selalu percaya Ibu bukan orang yang gegabah mengambil keputusan.

 "Ibu ingin menyelamatkan keluarga ini dari dosa dan rasa malu akibat perzinaan kakak-kakakmu, Laras."

 Kakak-kakakku berselingkuh? Siapa? Rasanya dadaku disambar petir!

 Aku menatap Ibu tidak percaya. Yang Ibu katakan barusan sungguh di luar dugaan. Sudah jelas Mbak Tari janda. Mbak Lika punya suami Mas Danu, dan Mas Bagus punya istri Mbak Riris. Mereka terlihat bahagia dengan kehidupan rumah tangga masing-masing. Mata Ibu menerawang menembus cakrawala. Ada gelebah yang tak bisa disembunyikan dari iris abu-abu yang kutatap sedari tadi.

"Ibu ingin menyelamatkan keluarga ini dari dosa dan rasa malu karena perzinaan." Ibu berbicara lirih sembari menutup wajah dengan kedua tangannya.

 "Perzinaan? Maksud Ibu? Siapa yang berzina di keluarga kita?" Aku sungguh tak paham ucapan Ibu.

 "Nanti kamu akan tahu, Laras." Wajah sendunya semakin terlihat mendung.

 Ibu berusia 56 tahun. Di usianya sekarang Ibu masih terlihat segar dan energik. Mungkin karena Ibu senang merawat tanaman, rajin berpuasa Senin-Kamis, juga ikut senam manula di halaman sekolah SD yang tak jauh dari rumah kami. Selain itu Ibu tidak terlalu banyak beban pikiran. Melihat wajahnya yang muram, aku baru menyadari telah terjadi sesuatu yang aku tidak tahu.

 "Bu, Laras ndak akan paham kalau Ibu ndak cerita semuanya." Aku memegang tangan Ibu yang mulai terlihat mengendur kulitnya.

"Ini aib keluarga kita, Laras. Bagus ternyata masih berhubungan dengan Rafiqoh, padahal di depan kita, dia terlihat harmonis bersama Riris dan kedua anak mereka." Ibu melempar pandangan. Jelas tampak keresahan menggayuti wajahnya. Ibu tak seharusnya memikirkan hal ini.

 "Ibu tahu dari mana?" tanyaku berhati-hati. Bukan tidak percaya dengan Ibu, tetapi aku harus tahu dari mana berita ini berasal.

 "Dari sumber tepercaya," jawab Ibu perlahan.

 "Bude Narsih?" kejarku ingin tahu. Ibu menggelengkan kepalanya.

 "Bukan hanya Bagus yang menduakan Riris, Lika juga ternyata berhubungan dengan Ibram," desah Ibu sambil mengempaskan napas panjang.

 Astaghfirullah! Dadaku mendadak sesak.

Aku tidak ingin memercayai berita ini. Rasanya tidak mungkin kakak-kakakku berbuat seperti yang dikatakan Ibu. Mereka kakak-kakakku yang seharusnya menjadi panutanku. Bukan, jangan pikirkan aku, pikirkan Ibu. Seharusnya mereka tidak menggores luka di hati Ibu.

 "Ibu kecolongan, Laras. Ibu harus berbuat sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan."

"Ibu harus jawab pertanyaan Laras, Ibu tahu dari mana?" tanyaku geram. Lama Ibu terdiam, sampai akhirnya terdengar sebuah nama dari mulutnya.

"Haji Umar yang memberitahu Ibu, Bude Narsih saksinya."

Aku memegang dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri.  Sesak dan nyeri bergantian datang membuatku bangkit dari duduk. Jika orang lain yang memberitahu berita ini, mungkin aku akan mendampratnya sekarang juga. Tetapi kabar ini datang dari seorang Bapak yang anak-anaknya berhubungan dengan kakak-kakakku. Ah, rasanya aku ingin bilang, ini fitnah!

"Jadi karena alasan ini Ibu ingin menikah dengan Haji Umar?"

"Laras, maafkan Ibu jika mengecewakanmu, Nak. Sungguh Ibu sendiri juga tidak menyangka semua ini terjadi. Menjelang hari pernikahanmu memang Ibu sering gelisah. Kamu akan segera meninggalkan Ibu, siapa yang akan menjaga Ibu nanti? Haji Umar orang yang sangat baik. Dia mau melakukan ini untuk keluarga kita juga keluarganya sendiri."

"Bu, kenapa tidak Ibu marahi saja Mbak Lika dan Mas Bagus? Laras akan telepon mereka supaya besok datang. Ibu berhak marah, Bu."

"Haji Umar sudah melakukan itu kepada Rafiqoh dan Ibram. Menasihati mereka baik-baik. Bahkan Haji Umar juga bilang beliau tidak akan membagikan warisan kalau mereka berdua masih terlibat skandal. Kamu tahu jawabannya? Rafiqoh justru mengancam akan bercerai dari Lutfi, suaminya."

"Benar-benar tak tahu malu perempuan itu. Nyesel aku dulu pernah mengidolakan dia, Bu. Dulu dia itu kakak kelasku. Cantik, kalem dan salihah sepertinya. Selepas lulus dari MAN langsung kuliah di Universitas Islam, ternyata begini kelakuannya." Aku mencebik. Aku kesal bukan hanya kepadanya tetapi juga kepada Mas Bagus yang begitu lemah di hadapan Rafiqoh. 

"Kalau sampai dia bercerai dari suaminya, rumah tangga Bagus dan Riris juga terancam bubar. Ibu ndak mau cucu-cucu Ibu jadi anak korban perceraian."

Aku termangu mendengar penuturan Ibu. Tak kusangka masalahnya serumit ini. Di keluarga kami perceraian menjadi momok yang sangat dihindari. Dari silsilah kakek dan nenek dari pihak Ibu maupun Bapak, tidak ada yang namanya perceraian hidup. Rata-rata saudara kami menjadi duda atau janda karena ditinggal mati oleh pasangannya. Aku bisa mengerti perasaan Ibu. Baginya percerain adalah aib keluarga. Memalukan.

"Apa gunanya mempertahankan pernikahan jika telah terjadi perselingkuhan, Bu? Mas Bagus jelas salah. Sudah menjadi hak Mbak Riris jika mengetahui kelakuan suaminya suatu saat nanti dia mengajukan cerai."

"Hush, jangan ngomong ngawur gitu. Tidak boleh ada perceraian di keluarga ini. Makanya kita harus membantu mereka. Ibu akan berjuang supaya tidak ada yang bercerai. Setiap pernikahan ada ujiannya masing-masing, Laras. Mereka tidak boleh bercerai. Ibu harus berbuat sesuatu."

"Dengan cara Ibu menikah dengan Haji Umar? Yang benar saja, Bu!" teriakku kalap. Tidak mungkin Ibu mengorbankan diri dan kesetiannya kepada Bapak hanya untuk membela anak-anaknya yang tak tahu diri. Aku tidak rela Ibu melakukan itu.

"Laras, kalau kamu nanti sudah menjadi seorang ibu, kamu akan rela melakukan apa pun untuk anakmu." Ah, ini alasan yang klasik sekali.

"Bu, apakah Ibu yakin mereka akan berhenti kalau Ibu menikah dengan Haji Umar? Tidak akan semudah itu! Mereka bisa saja berpura-pura bego. Duh, Ibu ini jangan naif. Mana ada orang berselingkuh tiba-tiba taubat hanya karena orang tuanya menikah?" gerutuku kesal. Kali ini aku tidak sependapat dengan Ibu.

"Laras, jika mereka berhenti berhubungan, maka Ibu dan Haji Umar batal menikah. Tetapi jika aib terus berlanjut, tidak ada yang bisa menghentikan pernikahan ini. Ibu sudah niatkan demi kebaikan semuanya. Ibu akan menunggu selama satu bulan."

Kadang-kadang aku tak suka punya Ibu yang tegas dan kukuh pada pendiriannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status