Ibu yang memang sudah bersiap pergi, meletakkan tas tangan yang yang dibawanya di atas meja. Kemudian duduk atas sofa. Matanya menatap lurus ke arahku."Rindu, Om Haryo itu sekarang sudah jadi ayahmu. Wajar kalau dia sekadar ingin menyentuh atau memelukmu. Dia bahkan sekarang sudah begitu menyayangimu. Om Haryo pernah bilang sama ibu, kalau sekarang dia sudah menganggapmu anaknya sendiri. Dia bahkan berharap kamu bisa memanggilnya ayah.""Tapi, Bu. Rindu sekarang sudah cukup dewasa. Rindu tau mana menyentuh yang wajar dan tidak. Rindu takut, Bu. Ayolah, Bu. Rindu mohon. Kita kembali saja ke rumah lama." Aku berkata dengan mata berkaca-kaca."Sudah deh Rindu jangan minta yang aneh-aneh. Lihat dong sekarang sudah ada Rindi. Adikmu itu juga membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Apa kamu mau hidup Rindi sama seperti hidupmu yang kekurangan kasih sayang seorang ayah? Apa kamu mau melihat adikmu itu hidup menderita? Hidup serba kekurangan seperti kita dulu? Lagi pula kamu itu terlalu menga
Seketika mataku berbinar melihat orang itu. Andika. Lelaki bertubuh tinggi itu turun dari motor matic miliknya, kemudian berjalan menghampiriku."Kamu lagi apa di sini?" tanya Andika. "Kamu juga gak pake sandal." Andika melirik kedua kakiku yang memang tanpa alas kaki.Melihat mimik mukaku yang murung, Andika berhenti bertanya. Kemudian ikut duduk di sampingku."Cerita lah. Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja." Setelah cukup lama kami terdiam, akhirnya dia kembali bersuara."Aku ... aku." Aku tidak bisa bersuara. Tenggorokanku terasa tercekat. Peristiwa yang tadi kualami, benar-benar membuatku ketakutan."Apa ayah tirimu kembali menyakitimu?" Andika menatapku lekat.Aku mengangguk pelan lalu mengusap air mata yang mulai mengalir di kedua pipiku."Apa yang dia lakukan padamu? Katakan padaku, Rindu!" Andika memegang kedua bahuku. Suaranya terdengar begitu emosi."Dia ... dia hampir menodaiku." Aku tergugu. Tangisku pecah di hadapan laki-laki yang sudah menjadi teman baikku selama i
Aku harus tetap tenang. Jangan grogi. Jangan panik."Ini ... Rindu bawa baju olahraga, Bu. Sama buku-buku yang mau dikembalikan ke perpustakaan." Aku menjawab setenang mungkin."Iya, ibu juga cuma asal bicara. Mana mungkin kamu mau minggat. Kamu kan gak punya siapa-siapa. Bapakmu juga gak tau di mana."Aku mengangguk, lalu meraih Rindi dari pangkuan ibu. Kegendong bayi berusia hampir satu tahun itu."Kakak pergi dulu, ya. Rindi main yang anteng." Mataku berkaca-kaca menatap wajah lucu Rindi. Kuciumi wajahnya untuk yang terakhir kali."Maafkan kakak Rindi. Kakak sangat menyayangimu. Tapi kakak harus pergi," batinku menjerit.Aku kembali meletakkan Rindi di pangkuan ibu, lalu berjalan menuju pintu keluar."Rindu." Seruan Om Haryo menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatap malas pada laki-laki itu.Om Haryo menghampiriku. "Ini, ambil lah. Buat jajan di sekolah." Lelaki berkumis tipis itu mengulurkan selembar uang berwarna merah."Mas, kamu itu terlalu manjain Rindu. Ngapain ngasih uan
Bus berhenti di terminal kampung rambutan menjelang sore. Turun dari bus, mataku memperhatikan sekeliling. Suasana terminal sangat ramai. Namun, aku bingung, ke mana harus kubawa kaki ini melangkah.Beberapa orang menatapku dengan sorot aneh. Tentu saja, itu karena aku masih menggunakan seragam sekolah berwarna putih biru ini."Permisi. Toilet sebelah mana, ya?" tanyaku pada seorang wanita paruh baya yang sedang berjualan."Di sebelah sana, Dek. Lurus saja. Lalu belok kiri," ucapnya menjelaskan."Terima kasih, Bu."Aku pun berlalu menuju arah yang ditunjuk orang tadi.Benar saja, beberapa kamar mandi terlihat berjejer. Bergegas aku memasuki salah satu kamar mandi yang kosong. Lalu mengganti baju yang kugunakan dengan celana span panjang dipadukan dengan kaos lengan panjang juga.Setelah selesai, aku keluar kamar mandi dengan kebingungan yang sama. Arah tujuan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Bagiku, ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di ibu kota Jakarta
Aku tidak bermaksud menguping sama sekali. Hanya saja, karena kontrakan ini cukup kecil, jadi percakapan di dalam kamar pun tetap terdengar. Apalagi pintu kamarnya tidak terdapat pintu. Hanya ada gorden tipis yang menutupinya."Sssttt ... Abi jangan ngomong kayak gitu. Umi kasian lihat Rindu. Umi ketemu dia di masjid tadi. Katanya baru sampai Jakarta mau cari pekerjaan. Dia tidak tau mau ke mana. Umi gak tega biarin dia luntang-lantung di jalanan seorang diri. Bahaya. Ibu ingat sama anak kita, Ainun. Dia hampir seusia Ainun. Lagi pula, hanya untuk malam ini. Besok dia akan mulai mencari pekerjaan. Boleh, ya, Bi?"Aku masih mendengar perdebatan di antara mereka. "Ya sudah. Boleh. Tapi malam ini saja. Kontrakan kita sempit, Mi.""Terima kasih, ya, Bi. Semoga besok dia bisa mendapatkan pekerjaan sekaligus tempat tinggal."Setelah tidak terdengar lagi percakapan di dalam kamar, tak berselang lama umi kembali ke ruang tengah. Menghampiriku yang masih duduk di atas karpet dengan perasaan t
Aku buru-buru melihat isi tas. Seingatku, aku menyimpan dompet di tas bagian depan. Tapi sekarang dompetnya tidak ada. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Lalu ke belakang. Terlihat seorang lelaki mengenakan jaket jeans belel dan topi berlari sambil sesekali menoleh ke arahku. Tak salah lagi. Orang itu pasti sudah mencuri dompetku."Pencopet ... pencopet ...," teriakku."Mana, mana?" Beberapa orang menghampiriku."Itu, Pak." Sebagian orang yang berkerumun mulai berlari untuk mengejar pencopet itu."Apa yang dicopet?" Sebagian yang lain ada yang menanyaiku."Dompetku." Aku terduduk lesu di pinggir sebuah kios sambil terus berdoa semoga dompetku bisa kembali.Beberapa orang yang tadi berusaha mengejar pencopet, terlihat sudah kembali."Maaf, Dek. Kami kehilangan jejak," ucap salah satunya. Membuatku semakin tertegun.Orang-orang mulai meninggalkanku dan kembali ke aktivitasnya masing-masing. Aku masih termenung sendirian. Pekerjaan belum dapat, uang yang dibawa pun kini sudah melayang. Ba
Aku semakin mempercepat langkahku menjauhi area pom bensin. Sesekali aku menengok ke belakang. Mami masih berusaha mengejarku sambil menjinjing sepatu hak tingginya. Namun, jaraknya sudah lumayan jauh karena tubuh mami yang subur membuatnya sedikit kesusahan berlari.Di depan sana, terlihat seorang lelaki yang sedang menelpon di pinggir mobilnya dengan pintu mobil terbuka.Aku bergegas mendekat ke arahnya. Lalu diam-diam masuk ke dalam mobil laki-laki itu. Bersembunyi di jok bagian belakang.BrughTak berselang lama, laki-laki itu masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi.Mesin mobil mulai dihidupkan. Kemudian maju perlahan. Laki-laki yang belum terlihat wajahnya itu belum menyadari keberadaanku di dalam mobilnya. Aku masih bersembunyi di bawah jok.GuprakTerdengar sebuah benda yang jatuh."Kenapa hapenya harus jatuh segala sih," gerutu laki-laki itu. Mobil terasa berhenti. Laki-laki itu menunduk untuk mengambil hapenya yang jatuh."Hei, kamu siapa? Kenapa bisa ada di dalam
"Dia siapa, Mbok?" tanya wanita yang tampak tidak berbeda jauh usianya denganku."Dia--." Ucapan Mbok Sumi menggantung."Dia pengasuh Raisa," jawab tuan Raihan.Tiba-tiba tuan Raihan datang. Menuang air putih dalam gelas, lalu meneguknya sampai tandas sambil duduk di kursi makan."Pengasuh Raisa? Gak salah, Kak?" Wanita itu menghampiri tuan Raihan yang dipanggilnya Kakak."Salah kenapa?" Tuan Raihan menatap wanita dengan rambut pirang sebahu itu."Dia kan masih kecil," jawab wanita itu."Iya, dia memang masih kecil. Tapi dia lagi butuh kerjaan. Gak punya tempat tinggal. Kakak kasian melihatnya. Gak tega ngebiarin dia di jalanan malam-malam. Kakak teringat sama kamu." Tuan Raihan mengacak rambut wanita itu."Rindu. Ini adikku. Namanya Riana. Sepertinya kalian seumuran," ucap tuan Raihan.Aku mengangguk sambil sedikit membungkukkan badanku ke arah Riana. Wanita bermata bulat itu tersenyum sekilas. Duh, kayaknya jutek gitu."Usia kamu berapa, Rindu?" tanya tuan Raihan."Lima belas tahun,