Aku mengatakan yang sejujurnya. Nenek memang selalu menjagamu dengan baik. Dia tidak pernah membiarkan aku kelelahan mengerjakan pekerjaan rumah seperti ibu dulu. Tapi kami selalu melakukannya bersama. Berbagi tugas."Syukurlah. Ibu tau kamu akan baik-baik saja. Kamu itu anak yang kuat. Ibu lega mendengarnya. Jadi ibu tidak terlalu khawatir meskipun jauh dari kamu." Ibu tersenyum simpul. Memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya terlihat lebih cantik."Tapi kamu juga harus sering-sering jenguk Rindu, Santi. Kasian dia," proses nenek."Iya, Bu," jawab ibu."Bu, sebentar lagi ada acara perpisahan di sekolah Rindu. Orang tua wajib datang." Meski ragu ibu akan datang, aku tetap memberi tahunya."Ibu usahakan datang, ya," jawab ibu dengan senyum sedikit dipaksakan.Aku membalas senyumannya depan anggukkan."Rindu, mau ngelanjutin sekolah ke SMP, Bu," ucapku lagi."Ehmm, nanti, ibu bicarakan lagi sama ayahmu, ya. Ibu akan bujuk dia untuk biayain sekolah kamu." Ibu menjawab seolah tak yakin
Semakin malam batuk nenek semakin bertambah banyak. Aku terus saja berada di sampingnya. Membaluri punggungnya dengan minyak kayu putih supaya hangat sambil memijatnya perlahan."Nek, besok kita ke puskesmas, ya? Rindu khawatir." Aku berkata dengan nada cemas."Tidak perlu, Rindu. Nenek cuma batuk biasa. Insyaallah besok juga mendingan." Nenek menjawab dengan terbata diselingi batuk. Lagi-lagi kulihat ada darah di kain yang dipakai menutup mulut nenek."Tapi batuk Nenek selalu mengeluarkan darah. Rindu tidak mau terjadi sesuatu pada Nenek. Rindu gak punya siapa-siapa lagi selain Nenek." Air mata mulai menetes di kedua pipiku."Rindu, kan masih punya ibu. Rindu gak akan sendirian. Rindu jaga diri baik-baik, ya. Selalu doakan nenek setiap habis solat," pesan nenek."Kenapa Nenek bilang seperti itu? Nenek juga akan baik-baik saja. Nenek akan selalu menemani Rindu di sini, di rumah ini." Aku menatap mata nenek yang terlihat memerah.Nenek hanya tersenyum samar tanpa berkata.Malam ini aku
Ibu memandangku sendu. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tapi yang dikatakan Om Haryo itu memang benar adanya. Dulu, akulah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah."Mas." Ibu menatap Om Haryo lekat. Seolah memohon agar apa yang dikatakannya tidak benar-benar serius."Kalau kamu setuju, silakan anakmu itu tinggal di rumah ini. Tapi kalau keberatan, dia boleh pergi ke mana saja. Atau mungkin mau nyari bapak kandungnya?" Om Haryo menyunggingkan sebelah bibirnya. Sinis."Gak apa-apa, kok, Bu. Rindu gak keberatan. Yang penting Rindu ada tempat untuk berteduh, terutama bisa melanjutkan sekolah." Aku buru-buru bersuara. Takut perdebatan antara ibu dan ayah tiriku itu merembet kemana-mana. Apalagi Om Haryo sudah membahas bapak yang entah di mana sekarang."Nah, itu Rindu saja tidak keberatan. Sudah Untung aku mengizinkannya tinggal di sini. Bisa makan gratis. Bisa melanjutkan sekolah. Padahal itu bukan tanggung jawabku. Itu tanggung jawab bapak kandungnya," gerutu Om Haryo.Ibu hanya menunduk. S
Kegiatan belajar sudah kembali dimulai. Beruntung Om Haryo mengizinkan aku untuk tetap bersekolah. Meskipun dengan syarat semua pekerjaan rumah harus sudah selesai dan tanpa bantuan ibu yang sedang hamil muda.Sebelum subuh aku sudah bangun. Dikarenakan rumah ini lebih besar dan luas dari rumah nenek atau rumah ibu yang sebelumnya, jadi butuh waktu lebih banyak untuk membersihkannya. Memasak makanan pun tidak cukup satu macam lauk seperti dulu. Paling tidak ada dua atau tiga macam lauk yang harus terhidang di meja makan.Jarak dari rumah Om Haryo ke sekolahku pun lebih jauh dibanding dari rumah nenek dulu. Beruntung ibu memberiku uang bekal sehingga aku bisa naik angkot dan tidak perlu jalan kaki. Ya, meskipun itu artinya aku tidak bisa jajan di sekolah. Tapi tak apa. Toh aku sudah sarapan dari rumah.Di SMP aku masih satu sekolah dengan geng centil yang sampai sekarang masih suka mem-bully diriku. Untungnya kali ini tidak sekelas. Pun dengan Andika yang suka menolongku. Kami berbeda
Mataku menatap tajam ke arah Om Haryo. Jantungku berdegup kencang. Tubuh terasa gemetaran. Hanya saja aku mencoba menyembunyikannya. "Ma-maaf, Om hanya bermaksud untuk membangunkanmu. Rindi juga sepertinya sudah nyenyak. Sini, biar Om simpan di box bayi."Tangan Om Haryo terulur hendak mengambil Rindi dari pangkuanku. Aku pun segera memberikannya.Om Haryo masih saja menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Membuat bulu kudukku serasa berdiri.Aku bangkit sambil menurunkan rok selutut yang memang sudah sedikit tersingkap hingga menampakkan paha mulusku. Kulihat Om Haryo memandangku tanpa berkedip lalu menelan saliva dengan susah punya. Buru-buru aku pergi meninggalkannya.Masuk ke dalam kamar, aku langsung mengunci pintunya. Lalu langsung menghambur ke atas kasur yang seolah melambai-lambai. Aku yakin sekali, yang tadi itu bukan mimpi. Tangan Om Haryo benar-benar memegang pahaku. Buktinya rok yang kugunakan jadi tersingkap.Ya Alloh, bagaimana ini? Aku takut sekali. Aku kh
Ibu yang memang sudah bersiap pergi, meletakkan tas tangan yang yang dibawanya di atas meja. Kemudian duduk atas sofa. Matanya menatap lurus ke arahku."Rindu, Om Haryo itu sekarang sudah jadi ayahmu. Wajar kalau dia sekadar ingin menyentuh atau memelukmu. Dia bahkan sekarang sudah begitu menyayangimu. Om Haryo pernah bilang sama ibu, kalau sekarang dia sudah menganggapmu anaknya sendiri. Dia bahkan berharap kamu bisa memanggilnya ayah.""Tapi, Bu. Rindu sekarang sudah cukup dewasa. Rindu tau mana menyentuh yang wajar dan tidak. Rindu takut, Bu. Ayolah, Bu. Rindu mohon. Kita kembali saja ke rumah lama." Aku berkata dengan mata berkaca-kaca."Sudah deh Rindu jangan minta yang aneh-aneh. Lihat dong sekarang sudah ada Rindi. Adikmu itu juga membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Apa kamu mau hidup Rindi sama seperti hidupmu yang kekurangan kasih sayang seorang ayah? Apa kamu mau melihat adikmu itu hidup menderita? Hidup serba kekurangan seperti kita dulu? Lagi pula kamu itu terlalu menga
Seketika mataku berbinar melihat orang itu. Andika. Lelaki bertubuh tinggi itu turun dari motor matic miliknya, kemudian berjalan menghampiriku."Kamu lagi apa di sini?" tanya Andika. "Kamu juga gak pake sandal." Andika melirik kedua kakiku yang memang tanpa alas kaki.Melihat mimik mukaku yang murung, Andika berhenti bertanya. Kemudian ikut duduk di sampingku."Cerita lah. Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja." Setelah cukup lama kami terdiam, akhirnya dia kembali bersuara."Aku ... aku." Aku tidak bisa bersuara. Tenggorokanku terasa tercekat. Peristiwa yang tadi kualami, benar-benar membuatku ketakutan."Apa ayah tirimu kembali menyakitimu?" Andika menatapku lekat.Aku mengangguk pelan lalu mengusap air mata yang mulai mengalir di kedua pipiku."Apa yang dia lakukan padamu? Katakan padaku, Rindu!" Andika memegang kedua bahuku. Suaranya terdengar begitu emosi."Dia ... dia hampir menodaiku." Aku tergugu. Tangisku pecah di hadapan laki-laki yang sudah menjadi teman baikku selama i
Aku harus tetap tenang. Jangan grogi. Jangan panik."Ini ... Rindu bawa baju olahraga, Bu. Sama buku-buku yang mau dikembalikan ke perpustakaan." Aku menjawab setenang mungkin."Iya, ibu juga cuma asal bicara. Mana mungkin kamu mau minggat. Kamu kan gak punya siapa-siapa. Bapakmu juga gak tau di mana."Aku mengangguk, lalu meraih Rindi dari pangkuan ibu. Kegendong bayi berusia hampir satu tahun itu."Kakak pergi dulu, ya. Rindi main yang anteng." Mataku berkaca-kaca menatap wajah lucu Rindi. Kuciumi wajahnya untuk yang terakhir kali."Maafkan kakak Rindi. Kakak sangat menyayangimu. Tapi kakak harus pergi," batinku menjerit.Aku kembali meletakkan Rindi di pangkuan ibu, lalu berjalan menuju pintu keluar."Rindu." Seruan Om Haryo menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatap malas pada laki-laki itu.Om Haryo menghampiriku. "Ini, ambil lah. Buat jajan di sekolah." Lelaki berkumis tipis itu mengulurkan selembar uang berwarna merah."Mas, kamu itu terlalu manjain Rindu. Ngapain ngasih uan