"Maafkan ibu, Li.""Iya, maafkan ibu, Nak."Aku beristighfar sambil mengelus dada. Meski nyatanya amarah masih memenuhi hati. Entah harus aku apakan ibu. Aku marah dan kecewa karena sikap lancangnya mengakibatkan motor baruku rusak. Bukan karena motor itu baru. Namun lebih pada hadiah yang diberikan orang tuaku. Apa tidak cukup rumahku dia pinjamkan pada anak lelakinya yang lain. Haruskah dia merusak hadiah berharga itu? Ya Robb, kenapa aku harus mendapatkan mertua seperti dia? "Maafkan ibu, Li.""Aku gak mau tahu, motor aku harus seperti baru.""Tapi, Li.""Aku gak mau tahu, Mas. Kamu dan ibu harus bertanggung jawab!"Aku pergi sambil menghentak-hentakkan kaki. Mulut ini terus saja menyalahkan atas apa yang ibu lakukan. Aku benar-benar tak rela ibu merusak hadiah dari ayah dan bunda. Ranjang bergetar saat aku menjatuhkan tubuh di atasnya. Tangisku pecah seketika. Tidak bisa lagi kutahan sesak dalam dada. Aku terlanjur kecewa pada perempuan bergelar ibu mertua. Motor matik warna
Sudut bibir terangkat ke atas. Senyum kemenangan tergambar jelas di wajahku. Tidak perlu susah-susah mencari maling itu, ternyata Allah sudah menunjukkan dengan sendirinya. Bahkan secepat kilat. Seketika aku beranjak, melangkah menuju kamar tamu. Kamar yang kini digunakan Rara dan ibu. Tidak lupa kubawa kartu debit yang aku temukan di lantai kamar. Setelah mendapatkan barang bukti, seorang maling harus ditangkap, bukan? Pintu kuketuk sebanyak tiga kali. Tak lupa kupanggil nama Rara agar ia terbangun. Pintu terbuka, Rara keluar seraya menutup mulutnya dengan tangan kiri. "Ada apa, Mbak?""Ibu mana, Ra?" "Bukannya di luar, ya?""Gak ada, Ra.""Apanya yang gak ada, Li?" sahut Mas Reza yang berjalan mendekat, sebuah gelas berisi es teh berada di tangan kanannya. Aku mengambil gelas itu kemudian menyeruputnya hingga menyisakan setengahnya. "Ibu hilang.""Ibu hilang gimana, Li?" Seketika wajah Mas Reza menjadi tegang. Dia menatapku tajam. Lagi-lagi aku seperti terdakwa kasus pencur
"Suaminya di luar, ya? Boleh disuruh masuk."Aku dan Rara saling pandang. Entah kenapa tiba-tiba membeku. Kalimat yang sudah kususun berjatuhan hanya karena sebuah tatapan. Aku kebingungan memberi sebuah jawaban. "Suami saya sudah meninggal, Dok," jawab Rara lirih. Dokter dan suster itu saling pandang kemudian ucapan duka keluar dari mulut mereka. Entah perkataan itu benar atau tidak, aku tak lagi peduli. Satu yang membuatku lega, Rara mampu menutupi aib ini. Dokter memeriksa Rara sambil menjelaskan perkembangan janin dalam perutnya. Aku menatap gambar di layar monitor tersebut. Tanpa sadar bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku merindukan momen seperti itu Ya Robb. Jangan minta aku untuk bersabar. Nyatanya menunggu selama dua tahun itu melelahkan. Lelah dengan pertanyaan kapan memiliki momongan? Ke dokter spesialis kandungan belum? Jangan-jangan kamu gak subur. "Silakan duduk, Bu."Aku tersentak, lamunan itu hilang dalam sekejap mata. Pandangan kembali pada ruang praktik dok
"Mas Reza tu, Mbak."Aku mengangguk, kemudian beranjak dari depan televisi. Aku tinggalkan beberapa pakaian yang belum dikemas. Menyambut kedatangan suami adalah kewajiban yang tidak bisa diwakilkan. "Assalamualaikum," ucapnya lirih. Aku mencium punggung tangan Mas Reza dengan takzim. Namun suamiku hanya diam. Tak ada senyum yang biasanya nampak. Kekecewaan yang kini terlihat jelas di matanya. Apa yang terjadi di kantor? Apakah ada masalah? Pertanyaan itu terus terlintas di kepala ini. Mas Reza melangkah gontai menuju kamar. Aku mengikuti langkah nya."Aku tidak jadi dipindahkan di cabang Salatiga, Li," ucap Mas Reza saat kami berada di atas pembaringan. Helaan napas keluar sebelum aku menoleh ke arahnya. Lelaki yang menemaniku selama dua tahun itu menatap langit-langit kamar. Kekecewaan nampak jelas di matanya. Sebelum membangun rumah, Mas Reza sudah mendapat kabar akan dipindahkan ke cabang yang ada di Salatiga setelah pembangunan kantor selesai dikerjakan. Itu pula yang memb
"Suamiku sudah meninggal, Nad."Nada mendadak bungkam. Dia menunduk, meremas ujung kaos yang ia kenakan. Perempuan itu merasa bersalah. "Maaf, ya, Mbak. Saya tidak tahu.""Tidak apa-apa," jawab Rara datar. Suasana terasa tak nyaman, hingga membuat kami bungkam. Bahkan serial drama yang tadinya menyenangkan mendadak tak menarik. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. "Aku pulang, Mbak. Ini tak bawa, ya. Uangnya besok." Nada beranjak. Tak lama ia menghilang dari ruang keluarga. Aku dan Rara masih membisu. Namun kepala terus berisik, menyuarakan sebuah pertanyaan. Siapa ayah biologis janin yang Rara kandung? "Mbak pasti penasaran siapa ayah kandungnya, kan?" tanya Rara seraya mengelus perut yang sudah membukit itu. Entah dari mana Rara tahu isi hatiku. Mungkin terlalu sering pertanyaan itu keluar dari mulutku atau mulut Mas Reza sehingga ia bisa dengan mudah menebak isi kepalaku. Rara menghela napas. "Dia masih hidup, Mbak.""Siapa orangnya, Ra? Biar Mas Reza yang cari. Lelaki i
"Siapa yang bilang mereka tidak berhak, Mbak? Mereka lebih berhak dari pada Mbak Risma dan Mas Reno karena rumah ini sudah disewa selama satu tahun kedepan.""Apa!""Gila kamu, Li! Aku ini Masmu lho. Tega-teganya kamu usir kami dari rumah ini!" pekik Mas Reno. "Maaf Mas, kalau mau gratis silakan tinggal di rumah ibu. Toh di sana ada dua kamar kosong. Karena Rara memilih tinggal bersama kami.""Aku gak mau ya, Mas! Aku gak mau!""Mbak Lili bagaimana ini? Kami sudah memberikan DP lho.""Tenang, Mbak. Besok rumah ini sudah dikosongkan." Aku merogoh kunci duplikat yang ada di dalam tas. "Ini Mbak, kunci rumah ini," ucapku seraya memberikan benda berwarna perak tersebut. "Lili, kurang ajar kamu, ya!""Li kita harus bicara," bisik Mas Reza. "Bentar ya, Mas."Aku menoleh ke arah penyewa rumah ini. "Mbak dan Mas mau lihat-lihat rumahnya?" Aku buka pintu utama agar hingga terbuka lebar. "Besok saja, Mbak. Tolong pastikan rumah ini benar-benar sudah bersih, ya!""Siap, Mbak, Mas."Lelaki da
"Ayo pulang, Mas!" Aku menarik tangan Mas Reza agar beranjak dari tempat duduk. "Kenapa, Li?""Rara ketakutan, Mas!""Ketakutan apa?""Pokoknya pulang sekarang!"Aku terus menarik tangan Mas Reza hingga ia berdiri dan mengikuti langkahku. Namun lelakiku berhenti sesaat. Dia menoleh ke belakang, menatap lekat netra Mas Reno. "Jangan coba-coba masuk ke rumah itu. Jika Mas Reno nekat, bersiaplah untuk berhadapan dengan pihak kepolisian!"Bibir ini melengkung ke atas. Akhirnya Mas Reza dapay bersikap tegas. Kenapa tidak dari dulu, Mas? Kami berjalan menuju kamar bapak dan ibu. Samar terdengar perdebatan di antara keduanya. Ibu berusaha meyakinkan bapak, tapi sayangnya bapak tak percaya lagi. Tok! Tok! Tok! Pintu aku ketuk tiga kali. Mas Reza memanggil ibu dan bapak. NoKami akan berpamitan sebelum pulang ke rumah. "Masuk, Za!" seru bapak. Sedikit ragu aku mengikuti langkah Mas Reza. Kami berdiri berhadapan dengan bapak dan ibu. "Mau apa kamu, Za? Tidak cukup kamu menjelek-jelekkan
"Siapa Mbak?" tanya Rara ketika aku berjalan melewatinya. Aku terdiam sesaat. Nama Guntur kembali terngiang di telinga. Apa dia lelaki yang Rara maksud atau hanya nama yang sama. Namun bukankah lelaki brengsek itu tinggal di Jakarta? Ah, mungkin hanya namanya yang sama. Ya, kurasa memang begitu. "Kok diam, Mbak? Nada yang di depan tadi, ya?""Bukan pasangan suami istri yang membeli rumah Haji Husein."Rara mengangguk, seolah mengerti ucapanku. Meski aku yakin dia tak mengenal Haji Husein. Karena Rara tak pernah keluar rumah selama di sini. "Besok periksa ya, Ra?""Mbak gak bosen nyuruh Rara periksa terus?" tanyanya sedikit kesal. "Mbak mikirin si utun, bukan kamu. Sekali-kali dengerin orang tua ngomong!"Rara menghela napas. Dengan terpaksa ia menganggukkan kepala. Dia pasti lelah mendengar omelanku yang tak pernah berkurang, apalagi berhenti. Sebagai seorang kakak aku bertanggung jawab penuh atas kesehatan Rara dan calon anaknya. Aku tak ingin mengecewakan bapak. Mengingat bapak