Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku

Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku

Oleh:  Dyah Ayu Prabandari  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
54Bab
8.3KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Lili dikejutkan dengan sebuah permintaan kakak iparnya. Kakak kandung suaminya itu berniat meminjam rumah yang baru saja dibangun. Penolakan demi penolakan Lili dan Reza lakukan. Hingga kakak iparnya itu memilih pulang ke kampung halaman dengan amarah dan kesal. Suatu haria Reza dan Lili terpaksa pulang kampung karena sebuah urusan penting. Mereka berniat tinggal di rumah barunya. Siapa sangka rumah itu justru telah dipakai Reno dan Risma tanpa seizin Lili. Mampukah Lili mengusir kedua kakak iparnya tersebut?

Lihat lebih banyak
Ketika Ipar Meminjam Rumah Baruku Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
54 Bab
Pinjam Rumah
Bab 1“Li,” panggil Mas Reza lirih.Aku meletakkan ponsel, niat membalas pelanggan aku urungkan. Aku menoleh ke arah Mas Reza, lelaki itu menunduk, dapat kulihat ada beban yang menempel di pundak. Masalah kali ini sangat berat hingga berulang kali mengehela napas.“Ada apa, Mas?”Helaan napas kembali keluar dari mulutnya. “Maaf,Li.”Aku menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapannya. Maaf, untuk apa kata maaf ... sedang ia tak melakukan kesalahan. Bahkan rumah tangga kami baik-baik saja. Apa Mas Reza selingkuh?Ah, tidak ...! segera aku tepis pikiran buruk yang menghantui bahkan memenuhi isi kepala ini. Tidak mungkin suamiku tega mengkhianati janji suci kami. Namun kenapa raut wajahnya terasa bersalah?“Kamu selingkuh, Mas?”Kalimat tanya itu meluncur seperti rolcoster. Biar saja sakit sekarang, aku butuh sebuah kejelasan. Aku tak suka menerka, hingga akhirnya sakit kepala.“Gaklah,Li. Mana mungkin aku mendukan cinta kamu. Aku tidak seperti lelaki di luar sana.”“Lalu kenapa minta
Baca selengkapnya
Semur Ayamku Hilang
“Mas Reno,” panggilku terbata.“Lama banget, Li.” Mas Reno menerobos masuk sebelum aku persilakan. Kemudian disusul Mbak Risma dan Niko.Aku masih mematung,membiarkan keluarga dari Mas Reza masuk tanpa sopan santun. Ini nyata apa halusinasi? Baru semalam kami membahas mereka tapi kini justru berada di depan mata. Tangan kiri kucubit keras. Ah, sial! Ternyata ini nyata. Tuhan, rencana apa yang Engkau berikan kepadaku? Bolehkan aku tawar dengan dorpes yang lain?Lili, mana ada tukar tambah atas ujian ini? Jangan aneh-aneh. Allah memilihmu karena Dia yakin kamu mampu mengatasi benalu bergelar saudara ipar.Hidup sering kali membuatku tertawa. Bukan karena lucu ala komedi. Namun bercandanya tidak kira-kira. Kemarin drama bangun rumah, sekarang drama pinjam rumah. Entah besok ceritanya akan seperti apa. Satu yang pasti, aku harus sedia amunisi.Kaki kupaksa melangkah menuju ruang keluarga, tempat di mana tiga orang tamuku duduk santai tanpa rasa sungkan sama sekali. “Tante, aku haus!” Ni
Baca selengkapnya
Penampakan
Aku mendengus kesal, ingin rasanya memaki kepada suami istri yang kini tidur nyenyak di depan televisi. Bisa-bisanya mereka makan tanpa menyisakan tuan rumah. Apa mereka pikir aku ini babu? "Kamu belum makan, Li?" tanya Mas Reza seraya melirik ke arahku. "Aku belum makan semur ayam, apalagi makan orang yang tidur di depan televisi."Mas Reza menelan ludah dengan susah payah. Dapat kulihat dari gerakan jakunnya. Dia ketakutan. Napasku memburu, tangan pun mengepal dengan sendirinya. Ini level kemarahan tertinggi setelah sekian purnama kutahan. Ternyata sabar tak semudah yang aku kira. "Kita makan di luar saja, Yang. Sekalian nonton. Ada film horor baru, kan?"Aku mendongakkan kepala. Aku tatap senyum manis yang kini menghiasai wajah suamiku. Seketika amarah itu sirna, seperti api yang disiram oleh air hujan. Dua tahun usia pernikahan kami. Aku tahu betul Mas Reza berusaha memadamkan amarahku. Ya, dia berhasil meski aku tahu ini tak akan bertahan lama. Namun merilekskan otot-otot se
Baca selengkapnya
Tamu Siang Hari
"Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar."Ya Allah, kenapa malah doa makan yang aku ucapkan? “Se—setan!” teriakku lantang.Aku memejamkan mata, takut menatap rambut panjang dengan wajah putih itu. Entah kuntilanak model apa yang kini berada di dapur. Sejak kapan rumahku jadi horor begini? Ini pasti akibat aura negatif dari kakak iparku. Tuhan, harusnya kutolak mereka menginap di sini.“Kamu kenapa, Li? Mana setannya?”Suara itu bukan seperti kuntilanak yang ada di film horor. Jelas ini suara Mbak Rima. Berarti setan yang kulihat sudah lenyap dari pandangan. Perlahan aku membuka mata. “Aaa ... setan!”“Mana ... mana?”Setan itu menoleh ke kanan dan kiri. Tunggu ... kenapa suara setan itu seperti Mbak Rima.“Ini Mbak Risma atau kuntilanak?” tanyaku.“Kuntilanak ... kuntilanak, emang wajah Mbakmu ini kayak setan? Kelewatan kamu ini, Li. Saudara sendiri dibilang setan. Kualat tahu rasa kamu!”“Salah sendiri malam-malam maskeran, wajah putih rambut digerai begi
Baca selengkapnya
10 juta pertahun
"Aku minta ganti rugi, Mbak!"Aku menengadahkan tangan di depan Mbak Risma. Istri kakak iparku itu menautkan dua alis, dia kebingungan dengan perkataanku. "Rp. 25.000,- Mbak?""Untuk apa kamu minta uang, Li?""Buat ganti uang batagor. Niko beli tidak bawa uang, jadi aku yang harus bayar.""Cuman uang receh aja, Li. Lagi pula Niko itu keponakanmu. Harusnya kamu manjain dia. Bukan justru pelit begini. Pantas saja sampai saat ini kamu gak hamil. Sama anak kecil saja gak deket, gimana Tuhan mau kasih."Aku diam, mulut ini mendadak membisu. Perkataan Mbak Risma tak ubahnya tombak yang ditancapkan tepat di jantungku. Sakit, teramat sakit. Perempuan mana yang tak sakit hati mendengar ucapannya. Aku bukannya pelit, aku hanya tak suka dengan cara Niko meminta uang. Dia seperti tak pernah diajari tata krama dan sopan santun kepada orang yang lebih tua. Apa salah aku memberinya pelajaran? "Lain kali sayang sama keponakan biar cepet hamil, Li."Perempuan itu kembali menyayat hati sebelum akhi
Baca selengkapnya
Gagal Total
"Bayar maksud kamu, Li? Jadi kami harus sewa?" Mas Reno menatapku tajam, nada bicaranya pun naik satu oktaf. Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus pada acara televisi. "Za, gak bisa kayak gini dong! Aku ini Masmu lho. Sama saudara sendiri kok hitung-hitungan. Kalau keluarga susah itu dibantu. Kamu gak inget dulu aku yang bayar uang spp kamu?"Aku lirik Mas Reza yang hanya diam membisu. Aku paham, sebagai adik dia tak berdaya dengan ucapan Mas Reno. Namun sebagai suami dia tak tega padaku. Mas Reza tengah berada di satu titik, maju salah mundur apalagi. "Reza, ngomong! Jangan diem aja! Kamu hargai aku apa enggak? Aku ini masmu!"Aku menghembuskan napas kasar. Tanpa sadar tangan kanan mengepal dengan sendirinya. Namun sekuat tenaga kutahan amarah yang nyaris meledak. Aku masih ingat siapa lelaki itu, meski tak bisa kupungkiri jika hati memekik ingin menghajarnya. "Keputusan berada di tangan Lili, Mas.". "Kamu itu kepala keluarga, Reza! Jangan lembek sama perempuan! Kamu ma
Baca selengkapnya
Tolong Dibayar, Mbak!
"Kamu gak anter mereka, Mas?" "Emang muat motor satu dipakai berempat? Porsi jumbo lagi."Seketika aku tertawa lepas. Bahkan perutku sampai sakit gara-gara tak dapat berhenti tertawa. Satu yang menjadi pertanyaanku, kenapa tidak dari kemarin Mas Reza menolak permintaan kakaknya? "Udah ah, ketawa terus. Mas mau berangkat ya. Jangan ke mana-mana!""Siap komandan!" jawabku seraya menggerakkan tangan kanan ke kening, persis seperti saat ucapara bendera. Aku masih berdiri, menatap punggung Mas Reza hingga hilang di balik pagar. Puas mengantar Mas Reza aku pun masuk kembali ke rumah. Senyum merekah saat melihat rumah sepi, penuh kedamaian. Lega luar biasa. Aku duduk di kasur lantai seraya menonton televisi. Acara kartun menjadi pilihan terbaik dibanding berita politik yang membuat pusing tujuh keliling. Beginilah hidup yang kunikmati dua tahun ini. Ponsel milikku menjerit berulang kali. Nama Mbak Nida tertera jelas di layar benda pipih tersebut. Dia adalah salah satu supplier pakaian m
Baca selengkapnya
Kok Uangnya Belum Dikirim, Za?
Aku sudah duduk di teras rumah. Berkali-kali aku melirik jam yang menempel di dinding ruang tamu. Hingga pundak terasa pegal karena terus menoleh ke dalam. Namun hingga pukul 16.30 Mas reza belum menampakkan batang hidungnya.Mas Reza bekerja di salah satu pabrik farmasi yang berada di kota ini sebagai supervisor. Lokasinya pun lumayan jauh dari rumah, 15 sampai 20 menit untuk bisa sampai ke sana. Tentu semua tergantung padat tidaknya lalu lintas.Tidak lama suara motor metik terdengar mendekat. Sontak aku mengalihkan pandangan ke arah halaman, benar saja itu Mas Reza, suamiku."Assalamualaikum," ucap Mas Reza seraya berjalan mendekat. Sebuah kantung plastik berwarna putih susu menempel di tangan kanannya.Aku menjawab salamnya kemudian melangkah mendekat. Seperti yang sudah-sudah, mencium punggung tangan suami setelah ia selesai bekerja menjadi suatu keharusan. Bahkan tertanam akhirnya menjadi kebiasaan.Aku masih menengadahkan tangan setelah selesai mencium punggung tangannya. Mas
Baca selengkapnya
Telepon Dari Ibu Mertua
"Za, ibu tunggu kirimannya!"Sambungan telepon dimatikan sepihak sebelum satu kata keluar dari mulutku. Aku terpaku sejenak dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Entah kenapa aku menjadi linglung, tak tahu harus berbuat apa."Ibu bilang apa, Li?"Mas Reza menyentuh pundak, menghilangkan siluet ibu mertua dari anganku. Kemudian berganti dengan ruangan gelap dan tampilan film yang diputar di layar besar."Ibu minta uang, Mas.""Astagfirullah, Mas lupa belum kirim uang ke ibu."Mas Reza dengan cepat mengambil ponsel dari tanganku. Dengan lihai jemarinya menari di atas layar benda pipih tersebut. Dia mengirim sejumlah uang untuk ibunya."Kamu kirim berapa, Mas?" tanyaku sedikit hati-hati."Rp. 1.500.000,00 Li. Kata ibu bulan ini banyak keperluan."Aku diam, kembali fokus menatap layar besar itu. Adegan hantu muncul tiba-tiba kini tak berarti lagi. Dalam kepalaku hanya dipenuhi rasa penasaran dengan nominal yang masuk ke rekening ibu mertua.Bukan ... Bukan aku melarang Mas Reza memb
Baca selengkapnya
Kabar Buruk
"Kita berkemas sekarang, Li. Besok pagi kita berangkat ke Salatiga.""Salatiga ... mau ngapain, Mas? Bukannya besok kamu kerja?"Aku masih tak mengerti kenapa Mas Reza tiba-tiba mengajakku pulang kampung. Apa mungkin ada sesuatu yang darurat, tapi apa? Jangan bilang ada kabar duka. Mas Reza menghela napas beberapa kali. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Apa jangan-jangan dugaanku benar, ada keluarganya yang meninggal? Bapak atau ibu? Astagfirullah ... kenapa aku jadi berpikiran yang tidak-tidak? "Bapak gak kenapa-kenapa, kan, Mas?" Sontak ingatan tertuju pada bapak mertua. Beliau sering kali mengeluh kecapekan di usianya yang sudah kepala enam. "Bukan bapak, Li. Rara hamil."Aku melotot dengan mulut terbuka lebar. Rara hamil, gadis itu hamil? Kenapa bisa seperti ini? Tunggu ... aku tidak salah dengar, kan? "Perempuan yang datang tadi pasti Rara, Li. Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Kenapa Rara bisa hamil. Kenapa dia tega mencoreng nama baik keluarga?"Aku mem
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status