Lili dikejutkan dengan sebuah permintaan kakak iparnya. Kakak kandung suaminya itu berniat meminjam rumah yang baru saja dibangun. Penolakan demi penolakan Lili dan Reza lakukan. Hingga kakak iparnya itu memilih pulang ke kampung halaman dengan amarah dan kesal. Suatu haria Reza dan Lili terpaksa pulang kampung karena sebuah urusan penting. Mereka berniat tinggal di rumah barunya. Siapa sangka rumah itu justru telah dipakai Reno dan Risma tanpa seizin Lili. Mampukah Lili mengusir kedua kakak iparnya tersebut?
Lihat lebih banyakBab 1
“Li,” panggil Mas Reza lirih.Aku meletakkan ponsel, niat membalas pelanggan aku urungkan. Aku menoleh ke arah Mas Reza, lelaki itu menunduk, dapat kulihat ada beban yang menempel di pundak. Masalah kali ini sangat berat hingga berulang kali mengehela napas.“Ada apa, Mas?”Helaan napas kembali keluar dari mulutnya. “Maaf,Li.”Aku menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapannya. Maaf, untuk apa kata maaf ... sedang ia tak melakukan kesalahan. Bahkan rumah tangga kami baik-baik saja.Apa Mas Reza selingkuh?Ah, tidak ...! segera aku tepis pikiran buruk yang menghantui bahkan memenuhi isi kepala ini. Tidak mungkin suamiku tega mengkhianati janji suci kami. Namun kenapa raut wajahnya terasa bersalah?“Kamu selingkuh, Mas?”Kalimat tanya itu meluncur seperti rolcoster. Biar saja sakit sekarang, aku butuh sebuah kejelasan. Aku tak suka menerka, hingga akhirnya sakit kepala.“Gaklah,Li. Mana mungkin aku mendukan cinta kamu. Aku tidak seperti lelaki di luar sana.”“Lalu kenapa minta maaf?”Diam. Mas Reza kembali bungkam, lagi-lagi dia menghela napas. Sumpah, sikapnya semakin membuatku penasaran. Ada apa ini?“Mas Reno mau pinjam rumah kita, Li.”Lirih dia berucap hingga seperti angin yang berhembus. Namun satu kalimat itu bak parang yang menancap tepat di jantungku. Ya Robb, drama macam apa lagi ini?“Maksudnya pinjam bagaimana, Mas?”Sekuat hati kutata amarah agar tak meledak. Namun tetap saja sumbu-sumbu bom mulai berasap. Hanya menunggu waktu hingga bom itu meledak. BUUM ...hancur seluruhnya.“Itu lho, Li. Mas Reno memiliki banyak hutang. Sementara dia mau meminjam rumah kita agar tidak mengontrak.”What! Mudahnya dia mengatakan hal itu?Kami memang baru selesai membangun rumah tak jauh dari kediaman orang tua Mas Reza. Tanah sawah yang dirubah menjadi hunian. Rumah itu baru selesai di bangun satu bulan yang lalu. Kehabisan dana memaksa kami mengehentikan proses pembangunan yang sudah mencapai 95 persen. Sebenarnya tinggal mengecat dan membuat kichen set. Namun mau tak mau harus berhenti dari pada kami meminjam bank yang jelas ribanya.Aku tak mempermasalahkan jika harus menunggu satu bulan lagi untuk menempati rumah itu. Asalkan rumah itu benar-benar siap dihuni. Namun justru kabar buruk menerpaku detik ini. Rumah yang belum sempat kami huni akan dipinjam orang lain. Ya, meski orang itu kakak kandung suamiku, tapi aku tak rela rumah hasil jerih payah kami dipakai sebelum kami menempatinya.“Rumah Mas Reno mau dijual, Li. Nunggu harga yang pas dulu.”Mas Reza menatapku lekat, netra yang berkaca-kaca seolah memaksaku untuk berkata iya. Tidak semudah itu, Parto!“Kenapa tidak tinggal di rumahnya sampai benar-benar laku? Kenapa harus meminjam rumah kita, Mas?”Aku mengepalkan tangan di samping. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak. Masalah ini tak akan selesai jika kami beradu mulut. Jelas aku tak bisa mengabulkan keinginan gila saudara suamiku.“Kasihan dia, Li. Di sana terus-terus ditagih hutang. Makanya dia mau pindah ke Salatiga.”“Terus kamu gak kasihan sama aku, Mas? Kita mau tidur di mana saat pulang kampung? Sebentar lagi kita juga pindah ke sana,kan?”Mas Reza diam. Lelaki itu mengusap rambutnya kasar. Dia kebingungan dengan masalah yang menimpa kakak iparku.Kebisuan itu membuatku melangkah pergi. Suara pintu yang beradu dengan tembok menggambarkan kebencian dan kemarahan yang kini ada di hatiku.Tuhan, tak bisakah aku hidup tenang tanpa drama dan air mata? Jujur aku lelah selalu berkutat degan masalah yang sama. Benalu berkedok keluarga.***Pagi ini kami lalui dengan perang dingin. Tidak ada sepatah kata yang keluar, entah dari mulutku atau mulutnya. Kami terjebak dengan pikiran masing-masing, meski pokok permasalahaannya masih sama.“Ayo sarapan sekalian, Li,” ucapnya saat aku diam dengan mata fokus menatap layar televisi.Tanpa menjawab aku melangkah mengikutinya. Kutinggalkan acara kartun yang ada di layar televisi. Meski dalam keadaan marah aku masih mematuhi perintah Mas Reza. Ya,walau dengan membungkam mulut ini.Kami duduk di kursi yang saling berhadapan. Meja makan berbentuk oval itu menjadi penghalang di antara kami. Tentu sudah ada nasi dan lauk di atasnya.“Tolong ambilkan, Li.”Aku segera memindahkan nasi dan lauk ke atas piring. Tentu tanpa ada kata yang keluar dari mulut ini. Biar ... Biar saja dia tahu, jika saat ini aku tengah marah padanya.Setelah kami makan dengan keheningan, Mas Reza pun berangkat kerja. Kali ini tak ada kecupan yang selalu kuberikan. Aku terlalu kesal hingga enggan untuk sekedar mencium punggung tangannya.Jam seolah berjalan lambat, semua pekerjaan rumah telah selesai. Namun jarum pada jam masih menunjukkan pukul 10.00 WIB. Aku mencoba memejamkan mata, mengobati rasa kantuk yang sedari tadi menyapa. Semalaman aku tak dapat tidur karena telinga terus terngiang permintaan suamiku.Tok! Tok! Tok!Belum sempat terlelap sebuah ketukan mengusik ketenanganku. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu depan. Betapa terkejutnya saat kulihat Mas Reno dan keluarga kecilnya berdiri di depanku. Belum lagi dua koper besar yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.Ya Robb, jangan bilang mereka mau menginap di sini?20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku
5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu
Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang
Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke
"Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena
"Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen