A few years laterSatria berada di samping putrinya Cika, yang sedang belajar menulis. Alhamdulillah setelah beberapa terapi dilakukan ia jadi bisa sedikit bicara dan bercanda bersama sang Ayah Satria. Ia pun tak lupa mengirimkan sejumlah uang tiap bulan untuk Daffa putranya. Satria berusaha untuk tegar dan ia jauh lebih berubah dari sebelumnya, lebih menghabiskan waktu di rumah dan kadang-kadang bermain bersama Daffa.Ya setidaknya Eliana masih mau mengizinkan nya bertemu dengan Daffa putranya. Sejenak Satria menarik napas dengan kasar, lalu membuangnya. Setelah kejadian itu Satria tak pernah lagi berurusan dengan wanita. Bahkan adiknya Zian sudah menikah dan membeli rumah baru. Tinggallah Bibi juga Ibu yang menemai hari-hatinya. Bagi Satria semua sudah berakhir, apa pun yang Eliana katakan itu sudah sangat membuat Satria puas. Meskipun sudah tak bisa memilikinya lagi. Namun, Satria diberi kesempatan untuk dimaafkan itu susah cukup bagi Satria. Saat Satria baru bercengkrama dengan Ci
"Selamat ulang tahun, Mas, semoga panjang umur sehat terus makin soleh dan sayang terus sama, El." Eliana tersenyum manis memberikan bingkisan kecil. Reindra terdiam ia tersenyum ke arah istrinya."Aamiin ... apa ini sayang?""Ada deh."Reindra membuka kado, ia tersenyum. "Artinya...?" Ia menunjukkan hadiahnya. Eliana mendekat dan memegang tangan suaminya. "Biar Kamu ingat terus sama aku, setiap jam, setiap menit, setiap detik kamu adalah milikku.""Terima kasih sayang hadiahnya dan atas ketulusanmu.""Sama-sama, Mas." Eliana menarik napasnya, ia tahu suaminya sedang gak baik-baik saja. "Kenapa sih kayak ada masalah gitu, kan. Aku bilang jika kamu ada masalah harus cerita kenapa Mas jadi lebih sering diam."Reindra mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang istri. Eliana mengusap pelan punggung tangan suaminya dengan mengelusnya. Menikmati getaran yang terasa di dalam dadanya saat tangan Reindra berada di dalam genggamannya. "Mas sibuk akhir-akhir ini, El, jadi Mas gampa
Eliana mengusap air matanya ia lunglai dilantai tak kuat menahan beban ini. Sang Mama datang dan memeluknya erat. Dan berusaha menenagkan menantu kesayangannya. Kenapa tak jujur dari awal harusnya bisa dibicarakan agar bisa dilewati bersama. Eliana tak mampu lagi menjelaskan rasa sakit, sangat menyakitkan dari apapun, Eliana menatap lekat wajah mertuanya. Dan memeluknya erat. Eliana beranjak dan duduk si atas sofa, Mbok Siti memberikan segelas air putih, setelah berusaha menenangkan perasaanya ia dan sang Mama bergegas ke rumah sakit dimana Reindra dirawat. Di dalam mobil Eliana hanya bisa menyesali perbuatannya. Bayangkan saja selama ini suaminya menyembunyikan rasa sakit yang perlahan lahan menggerogoti tubuhnya. "Maafin El, harusnya kamu membagi rasa sakitmu untuk istrimu," Lirih Eliana sambil menatap bangunan tinggi menjulang keluar jendela mobil. Beberapa tahun menjalani hidup bersama. Bisa dibilang hubungannya baik baik saja. Tidak pernah ada masalah serius. Reindra lebih ke
"Ayah, kok Daffa curiga ya sama dokter wanita itu seperti mencurigakan?" tanya Daffa cemas pada Ayahnya Satria. "Maksud kamu?"Daffa terdiam sesaat ia menatap kembali wajah Ayahnya. "Entahlah Ayah sorot matanya berbeda, dia seperti orang jahat."Satria mengangguk. "Tunggu dulu jadi maksud kamu dokter itu?""Iya Ayah, seperti mau misahain Mama dan Papa.""Baiklah kita selidiki bersama ya? Ikut Papa." Ajak Satria pada anaknya. Mereka berjalan ke arah lorong rumah sakit, meninggalkan Eliana dan Mama Hani. Panas matahari mulai menerobos masuk melalui celah jendela rumah sakit. Di luar sana langit tampak cerah dihiasi gumpalan awan putih yang berarak pada hamparan langit biru. Daffa dan Satria terus berjalan menuju ruangan dokter Haris yang sangat Satria kenal. Waktu itu dokter Haris kerampokan dan kebetulan ditolong oleh Satria, lambat laun mereka saling kenal dan suka main ke bengkel Satria. Sejak saat itu dokter Haris sudah seprti keluarga bagi dokter Haris, semoga beliau bisa membant
Langit masih sama, masih menampakkan cahayanya diwaktu malam hari, binatangpun bertaburan jauh diatas sana, Daffa kembali masuk keruangan Papanya, beliau sudah tertidur sementara mamanya masih menunaikan ibadah shalat Isya'. Daffa duduk dikursi sambil menatap wajah Papanya yang kian kurus. Pengaruh obat dari wanita itu sangat berbahaya buat kesehatan Papa Reindra. Daffa menarik napas berharap jika, semuanya akan baik-baik saja. Menunggu orang sakit memang diakui sebagai hal yang sulit dilakukan. Harus dengan ekstra bersabar. Padahal dalam kehidupan, ada kalanya kita dihadapkan situasi untuk bersikap sabar saat menunggu orang yang sakit, bagaimana tidak kita pun yang menunggu ikut merasakan sesaknya dada saat melihat orang kita sayang terbaring lemas. Padahal ketulusan Papa Reindra adalahKetulusan melebihi segalanya. Entah waktu atau ketidakmampuan menanggapi rindu yang membuncah di hati. Pada dasarnya, setiap orang yang punya hati yang tulus, akan dimusuhi banyak orang, seperti Papa
Reindra limbung. Dia memegangi dadanya kuat-kuat. Dafa bisa membayangkan jika Papanya tengah menahan kesakitan yang begitu berat. Dafa menahan tubuh Papanya dan menaikkan Reindra ke dalam mobil. Sementara Eliana terlihat sangat pucat karena begitu takut jika suaminya tak tertolong. "Daffa bantu, Papa naik, Nak." Sesaat Eliana mau terjatuh dan akan pingsan. Kepalanya begitu berat, ia tak tega melihat Reindra begitu menderita karena sakitnya. "Aduh, Ma. Mama yakin akan menemani Papa? Ini Mama enggak sehat lo."Eliana tersenyum. "Yakin sayang. Papa butuh, Mama kan. Mama hanya titip Bian sayang ya. Jaga adikmu baik-baik.""Iya, Ma tenang saja kalau soal, Bian. Dafa bisa jaga kok.""Makasih sayang." Eliana memeluk Dafa. Dafa menggandeng tubuh mamanya ke dalam mobil. Dan Bu Hani mencoba memberi minyak pada hidung Eliana. Sementara Dafa dan Bian mencoba menuntun tubuh Eliana ke dalam mobil. "Dafa ingat pesan, Mama, Nak."Dafa mengangguk mencium punggung tangan sang Mama. "Kita berangkat?
"Kamu janda, Nona Eliana?" tanya lelaki yang juga entah menunggu siapa berada di rumah sakit itu juga. Eliana hanya tersenyum tipis. Ini pertama kalinya ada pria yang begitu berani menanyakan statusnya."Eliana?"Lelaki itu semakin penasaran karena wanita di depannya tak juga menjawab."Saya wanita bersuami, Tuan." Eliana menjawab dengan datar, tanpa emosi. Eliana tidak ingin dikasihani, apalagi dianggap hina hanya karena menunggu suaminya seorang diri. Terlebih, Eliana sering kekuar masuk rumah sakit karena membeli makanan untuknya juga suaminya yang kadang bosan masakan rumah sakit, dan mungkin orang itu melihat Eliana selalu sendiri terlihat di rumah sakit. "Oh."Eliana sedikit naik turun emosinya, sedang naik satu tingkat, lelaki itu membuat Eliana sedikit geram. Eliana terdiam sesaat, sibuk dengan pikirannya. Lelaki itu yang lebih dulu memecahkan keheningan."Maaf, harusnya aku gak bicara begitu," ucapnya lalu mendongak pada wajah cantik di hadapan.Eliana mengembuskan napas. Ia
Ternyata dalam hidup kita tidak selamanya baik-baik saja. Diantara sekian keadaan yang dialami seseorang, ada saatnya ia seperti masuk ke dalam ruang gelap, seperti di goa, sepi, sunyi, sendiri, gelap, semua serba sangat terbatas. Seperti ujian itu akan datang pada siapapun sewaktu-waktu seiring tumbuh dan semakin dewasanya kita. Seperti pohon yang semakin tinggi semakin besar terpaan anginnya. Satria menikmati sebatang rokok yang menyala. Langit masih terlihat mendung, udara masih terasa dingin dan lembab karena hujan dan gerimis yang baru saja mereda. Di atas balkon miliknya ia diitemani secangkir kopi hangat juga sebatang rokok ditangan. Tapi, dia semakin penasaran saat Bian begitu menyukainya. Satria menghembuskan asap rokoknya ke udara. Membuat sosok yang baru saja mendekat ke arahnya terbatuk."Uhuk uhuk ... kenapa Ayah?" Cika menghentikan langkahnya di pertengahan pintu."Cika kau itu, Nak," sapa Satria, buru buru Satria meletakkan dan mematikan rokok dalam asbak. Cika menatap