Kiandra memekik, lalu meringis. Perempuan itu berpegangan pada besi tangga untuk bisa berdiri tegak, setelah tadi sempat terpeleset.
Ia mengangkat kaki yang tadi salah menapak dan terpleset. Merah terlihat di dekat mata kaki. Sedikit lecet karena sempat bergesekkan dengan pinggiran anak tangga.
Mengabaikan rasa sakit itu, Kiandra berjalan tertatih menuju ruang makan. Ia butuh sarapan, sebelum berangkat kerja. Sepatu yang tadi dibawa ditaruh di dekat kursi.
Hore. Karena hari ini Kia resmi bekerja di salah satu toko roti milik teman Evan. Tidak serunya, ya, ini. Tidak ada yang membangunkan, Kiandra jadi terlambat bersiap-siap.
"Kamu kunci kamar, Ki. Jadi, aku enggak bisa masuk." Lidia membantu Kiandra, mengambilkan sarapan.
"Masih keburu, ya, 'kan? Aku masuk jam sembilan."
Lidia melirik jam. Sekarang delapan lebih tiga puluh. "Kamu naik motor aja. Biar bisa cepat." Perempuan itu menaruh sepiring nasi goreng
Tahu jika Kiandra sudah sampai di rumah, Evan yang tadinya sudah berbaring di kamar, keluar dan menemui perempuan itu. Tentu setelah memberi jeda sekitar sepuluh menit.Kia ada di ruang makan. Tengah menikmati semangkuk mi instan. Tanpa diminta, Evan duduk di depan gadis itu."Salah bungkus pesanan pelanggan."Kia yang menyeruput kuah mi berhenti sejenak. Perempuan itu menengok pada orang di hadapan. Apa bosnya melapor langsung pada Evan? Kenapa pria itu bisa tahu jika Kia melakukan kesalahan tadi?"Kamu tahu seberapa penting kepuasan pelanggan di usaha kuliner begini, Ki?" Dagu Evan terangkat. Mata pria itu lurus pada Kia."Tadi lumayan ramai. Aku sempat bingung. Masih belum hapal nama kue dan roti di sana juga."Salah membungkus pesanan pelanggan, itu sepenuhnya bukan kekeliruan Kia. Harusnya bertugas di belakang mesin kasir, tadi itu toko lumayan ramai dan salah satu da
"Sarapan telur tiap hari, bisa bisulan aku."Kia berusaha tak membalas. Sesuap demi sesuap sarapan di hadapan ia lahap, walau tidak berselera.Evan terlihat mengeluarkan kunyahan nasi dan telur dari mulut. Pria itu taruh di pinggir piring. Wajahnya keruh, jecut dan kesal. "Kamu kalau enggak niat masak, jangan masak, Ki. Telur digoreng sama kulit-kulitnya juga?"Sendok di tangan Kia taruh kasar. Suara denting karena besi membentur piring keramik menghentikan acara sarapan pagi itu."Menurut kamu aku enggak boleh salah, gitu? Kamu sengaja mau ngajak ribut pagi, ini? Ayok, ribut sekalian, Van."Si lelaki ikut-ikutan melepas sendok dari tangan. "Kok jadi kamu yang marah? Yang salah kamu, Ki.""Apa? Apa salah aku?"Kia mengaben sendiri apa-apa saja yang menjadi kesalahannya pagi ini. Pertama, kembali menghidangkan telur dadar sebagai sarapan, setelah kemarin-kemarin juga menyajikan menu yang sama.
Kiandra pikir Damar hanya membual tadi pagi, saat berkata akan menjemput. Pria itu sudah dua kali membuat Kia salah menerka."Mau langsung pulang?" Damar menarik cepat sodoran helm ke arah Kia. Senyum pria itu mekar."Memang mau ke mana lagi?" Kiandra menarik gelang di tangan kanan. Menjadikan benda itu pengikat rambut, lalu ingat sesuatu. "Aku belum pulangkan gelang kamu."Damar memberitahu. Di rumah sedang tidak ada orang. Lidia dan Evan sedang pergi jalan-jalan. Jadi, tidak msalah seandainya mereka juga berkeliling sebentar."Ke mall aja, yuk? Sekalian cari ikat rambut."Pada ajakan itu, Damar mengangguk. Mereka berangkat.Kia memang sedikit tidak berselera pulang tadi. Masih kesal dengan Evan. Karena itu ide Damar disanggupi.Mereka sempat berkeliling mal sebentar. Melihat-lihat. Di toko pakaian, sepatu, kosmetik, lalu berhenti di salah satu stand aksesori.Toko itu lumayan be
"Ini istri Bapak, ya?"Kiandra menoleh sedikit. Dilihatnya Evan mengangguk, sembari membuat Lidia berdiri di sampingnya."Istri saya. Lidia."Entah apa yang Kiandra tunggu. Entah apa juga yang ia harapakan hingga terus-terusan menatapi Evan yang tengah berbasa-basi dengan perempuan asing tadi."Sampai ketemu lagi, ya, Pak. Semoga mesra terus sama istrinya."Kembali menghadap ke arah si penjaga toko, Kiandra tersenyum getir. Apa yang ia tunggu? Dikenalkan Evan sebagai istri kedua? Yang benar saja.Kenapa tidak? Banyak pria yang terang-terangan memiliki istri lebih dari satu sekarang ini. Selagi mereka bisa mencukupi nafkah lahir atau batin, tidak akan ada orang yang melarang. Harusnya, Evan tak perlu malu, 'kan?Namun, pria itu memilih hanya memperkenalkan Lidia. Menyembunyikan Kiandra, menganggapnya tak ada di sana.Masalahnya, mungkin, bagi Evan pernikahannya dengan Kiandra itu m
Rumah sepupunya Damar terasa sedikit lebih riuh hari ini, setelah dari pagi hingga sore tadi tentram damai. Penyebabnya adalah Kiandra yang sakit.Sejak pagi, Damar melihat bagaimana Lidia berusaha mengurusi Kiandra yang bersikeras tak ingin makan atau diajak ke dokter. Sepupunya itu baru pergi untuk melayat salah satu teman, setelah Evan pulang dari rumah makan.Kiandra mengaku sakit kepala tadi pagi. Namun, barusan, gadis itu terlihat menggigil. Damar sendiri sudah memberi saran untuk meminum obat demam saja. Namun, ditolak. Kiandra lebih memilih terus berbaring di sofa ruang tengah."Irna!"Damar menyipitkan mata saat mendengar Evan berteriak memanggil sang asisten rumah tangga."Panggilkan dokter."Pada titah sang bos, Irna mengangguk patuh.Dari tempatnya duduk--sofa single--Damar melihat Evan pergi ke lantai dua. Tak lama kemudian kembali, membawa sepasang kaus kaki."Kayak
18+Di kamar, saat terbangun pagi ini, Kia merasa tidak sendiri. Ada Evan juga yang berbaring di kasur bersamanya. Kondisi tubuh sudah lumayan baik daripada kemarin."Kamu ngapain di sini?" tanya Kia serak. "Ini, kan hari Selasa." Perempuan itu menjauhkan tangan Evan yang mampir di kening."Setidaknya, kalau kamu mati, ada yang tahu." Evan menautkan alis pada ekspresi kesal di wajah pucat istrinya. Sakit saja, masih bisa memancing pertengkaran.Kiandra berusaha melepas rangkulan lengan Evan di pinggang. "Lepas.""Kamu mau kerja? Aku udah kasih tahu bos kamu kalau kamu masih sakit."Si perempuan berhenti bergerak. Ia merasakan sesuatu yang mengganjal di belakang. Tiba-tiba saja napas jadi pendek-pendek. Jantung juga berdentam-dentam."Kata Lidia, kamu itu bakal sakit kepala kalau lagi mikirin sesuatu. Kamu mikirin apa?"Bibir si istri mengerucut. Lidia yang tahu? Bukan Evan? Sial.
Kiandra berjengit, sedikit menunduk saat seseorang tiba-tiba saja membantunya mengambil mangkuk dari rak di atas wastafel.Perempuan itu seolah tahu bahwa orang itu bukan Evan, karenanya sampai harus membungkuk dan berdiri rapat dengan bak cuci piring, demi menghindari punggung benar-benar menempeli dada orang tadi."Mau masak apa?" Damar menaruh mangkuk besar yang diambil tadi di meja dekat kompor.Mengusap kepala belakang, Kiandra menoleh. "Aku bisa ambil sendiri tadi."Alis tebal Damar menukik. "Kamu enggak suka dibantuin?"Tergantung, jawab Kia dalam hati. Jika Damar membantunya dalam situasi wajar dan dengan sikap yang normal, mungkin Kia tak akan protes.Pertama, mengikatkan tali sepatu. Kedua, mengikatkan rambut. Kemarin membantu menggendongnya untuk mengambil kaus yang tersangkut di pohon mangga belakang. Kemudian, menemaninya ke toilet saat listrik padam. Dan sekarang ini.Entah
Kiandra yang bersandar pada salah satu pohon di depan toko berdiri tegak saat melihat seseorang dengan sepeda motor mendekat. Wajahnya langsung terlihat kesal."Evan enggak bisa jemput." Damar mengangsurkan helm pada perempuan di depannya.Kiandra menepis benda itu. Ia mulai melangkah. "Aku bisa pulang sendiri."Damar tak membiarkan itu. Pria itu mengejar Kiandra. Meraih lengan, hingga Kia berhenti berjalan. "Udah malam, Ki. Bahaya pulang sendiri. Sama aku aja."Kiandra mengempas tangan itu, tetapi agaknya pegangan Damar lebih kuat. "Aku bisa pulang sendiri."Kejadian beberapa hari lalu masih membekas di benak Kia. Ia masih kesal karena itu. Karenanya, belakangan berusaha menghindari Damar di rumah. Apa dia harus ikut pria itu pulang sekarang? Sia-sia sekali usaha kemarin. Ke mana pula Evan yang berjanji ingin menjemput?Sibuk dengan pikirannya, Kiandra tak sadar langkahny