"Di pernikahan ini, bukan cuma kamu yang berkuasa, Evan. Aku butuh uang kamu, tapi kamu juga butuh aku. Kalau kamu enggak bisa berubah, sedikit aja menghargai aku, lupakan niat kamu dapat anak dari aku."
Usai mengatakan itu, Kia melompat dari atas mobil. Benar-benar melompat hingga tubuhnya terlempar, berguling dan menghantam entah apa.
Perempuan itu meringis setelah tubuh berhenti berguling. Ia bangkit untuk duduk. Sakit. Lutut, lengan, siku, kepala, semuanya. Ia menoleh ke belakang, mobil Evan berhenti.
Mengumpulkan tenaga, menghalau semua rasa sakit, Kia berdiri. Meski pergelangan kakinya sakit, perempuan itu berlari menjauh dari sana. Ia tak ingin Evan berhasil mengejar. Kalau pria itu memang berusaha mencarinya.
Jalanan malam itu cukup ramai, tetapi lancar. Kiandra yang sudah beberapa menit berlari, memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu trotoar. Evan sudah tak terlihat.
Perempuan itu berjongkok, mengatur napas, air matanya jatuh karena sakit dari luka lecet di tubuh. Kia bingung. Harus ke mana ia kabur sekarang? Tempat siapa yang bisa ia tuju?
Pulang? Jelas orang tua akan mengusirnya, dikatai istri tak tahu diri seperti yang sudah-sudah diterima saat Kia mengadu dirinya lelah dengan Evan.
Menyewa kamar kost? Kiandra tak punya uang. Sial. Evan benar. Kia tak bisa apa-apa tanpa sokongan pria itu.
Di tengah kekalutan itu, Kia melihat sebuah motor yang berisi dua pria berhenti di depannya. Salah satu lelaki datang menghampirinya.
"Mbaknya kenapa? Kenapa nangis?" Laki-laki tinggi itu membuka helm. Menatap iba pada perempuan terluka dan menangis di hadapan.
Kia langsung meraih lengan orang itu. "To--tolong saya, Pak. Sa--saya butuh kabur dari sini. Saya mau kabur, tapi enggak punya uang."
Laki-laki tadi berjongkok. Menatapi wajah perempuan di hadapan. Menilai apakah orang itu cukup sadar atau tidak.
"Rumah Mbaknya di mana? Mau saya antar ke sana?"
Kia menggeleng kuat. "Saya mau kabur. Ke mana aja, asal bukan pulang ke sana. Tolong saya, Pak. Saya janji bisa kerjakan apa aja sebagai ganti."
Laki-laki itu menggaruk kening. "Nama saya Damar," ucapnya sembari berpikir. Jujur saja, ia tak tega melihat perempuan kurus yang punya terlukauka itu. Mungkin saja perempuan itu memang sedang butuh bantuan. Menghindari kejaran seseorang, mungkin?
"Tolong saya. Bawa saya ke mana aja." Kiandra memohon. Erat ia genggam lengan pria berkulit putih itu.
"Saya juga orang baru di sini, Mbak. Saya mau ke rumah saudara saya yang tinggal di sini."
"Saya enggak akan merepotkan, Pak. Saya cuma butuh tempat untuk bersembunyi beberapa hari." Kia menghapus air mata dengan punggung tangan.
Satu-satunya harapan untuk bisa kabur dari Evan, hanya pria asing di hadapan. Jika lelaki itu setuju membawanya, maka Kia yakin inilah jalan untuk lepas dari jerat si suami.
Sebuah keberuntungan, Kia melihat lelaki asing itu mengangguk. "Saudara saya itu baik. Semoga dia enggak masalah saya bawa Mbak ke sana."
Lelaki itu membayar ongkos ojeknya tadi. Setelahnya, menghentikan taksi dan mereka pun berangkat.
"Ke alamat ini, ya, Pak?" Laki-laki itu menunjukkan ponselnya pada si supir taksi.
Perjalanan itu mungkin sekitar sepuluh menit. Bodohnya Kia, ia tak memerhatikan jalan dengan benar. Perempuan itu sungguh terkejut saat taksi itu masuk ke pekarangan sebuah rumah yang sangat dikenalnya.
"Ini rumah saudara saya itu, Mbak. Sepupu saya."
Kia termangu dengan perasaan dongkol. Ditatapnya rumah di hadapan dengan perasaan tak percaya. Tak lama kemudian, dua orang keluar dari rumah itu.
"Damar?" Si perempuan yang keluar dari rumah menyapa sepupunya.
Damar menghampiri dan memeluk perempuan itu. "Udah lama enggak ketemu, Lid."
Orang yang Damar hampiri menatap heran pada Kia.
"Oh, ini. Mbak ini aku ketemu di jalan. Butuh tempat tinggal untuk sementara. Kamu enggak keberatan, 'kan?" jelas Damar sambil menatap sungkan pada suami sepupunya.
Hening beberapa detik, lalu sebuah tawa terdengar. Milik pria yang tadi keluar dari rumah itu. Pria yang berdiri di samping sepupu Damar.
"Aku penasaran kamu mau kabur ke mana lagi setelah ini, Ki."
Kia menepis lengan si tuan rumah yang merangkul bahunya. Si berengsek Evan. Sepupu yang Damar maksud, sialnya adalah Lidia.
Si malang Kiandra kembali ke rumah yang sangat ingin ia tinggalkan.
"Menipuku soal pil kontrasepsi. Berusaha kabur sampai dua kali. Jangan kira setelah ini kamu bisa mengelak dari akibatnya, Ki." Mata Evan menatap penuh ancaman pada Kiandra. Kali ini, sungguh. Ia tak akan melepaskan perempuan itu.
"Ki? Makan siang, yuk? Buka pintunya, aku antar, ya?"Pada Lidia yang mengetuk pintu kamar, Kiandra tak memberikan respon apa pun. Ia masih duduk di lantai dekat tempat tidur.Sejak kemarin, Kia memang tak keluar dari kamar. Masih tidak ingin bertemu si sinting Evan. Dan kesal pada Damar yang ternyata adalah sepupunya Lidia.Ia sudah berharap bisa bebas dari Evan. Menumpang sebentar di rumah saudara Damar, untuk nantinya mencari sumber uang dan bisa mandiri. Sayang, nasih6 terlalu licik mengatur semua ini.Tidak keluar dari kamar, sejak kemarin Kia juga belum makan. Jadi, untuk mengganjal perut sampai entah kapan, Kia memakan biskuit yang memang selalu ada di kamar.Di sela kegiatan itu, ponsel si perempuan bergetar. Ada telepon dari Nando. Cepat-cepat ia terima."Ada apa, Ndo?""Pagi, Kak. Cuma mau kasih tahu. Senin nanti aku ujian. Aku udah dapat kartu ujiannya, loh. Tunggakan sekolah, udah
"Dalam lima bulan, kalau Kia belum hamil, Evan berhak menarik kembali apa yang sudah diberikan pada Bapak, Ibu, Rina dan Nando. Selanjutnya, Evan bebas melakukan apa saja, tidak dihitung sebagai pemaksaan, selama perjanjian berlangsung." Pria itu menyuarakan apa yang sudah ditulis. Menanti reaksi lawan bicara.Kia mengangguk, meski sempat terlihat akan protes. Materai ditempel, mereka tanda tangan bergantian di atas nama masing-masing.Kia menatapi kertas itu dengan mata berbinar. Akhirnya, setengah dari bebannya lepas. Hanya tinggal tunggu tiga bulan usai efek KB hilang, hamil, melahirkan dan bebas dari Evan. Kia akan bisa memiliki hidupnya sepenuhnya lagi.Tanpa sepengetahuan Kia, Evan sudah berdiri. Pria itu memutari meja, memposisikan diri di samping kursi istrinya.Evan menarik lengan Kia, hingga perempuan itu berdiri. "Kamu naik apa ke sini?" Ia mengancingkan bagian bawah ritsleting jaket abu-abu Kia."Motor." Ki
Kia turun untuk makan malam. Sepertinya agak terlambat, karena meja sudah dihuni penghuni rumah lain. Ada Evan, Lidia dan sepupunya Lidia.Saat akan menarik kursi di sudut ujung, yang berseberangan langsung dengan Evan, Kia diinterupsi. Evan memang tidak bicara, tetapi menatapnya terus-menerus. Lurus, ke arah dada.Ingat kejadian di rumah makan kemarin, Kia dengan sigap menyilangkan lengan di depan dada. "Ada. Aku pakai."Alis Evan naik satu, pria itu masih tak membuka mulut, tetapi tatapannya sangat mengganggu Kiandra."Apanya yang ada, Ki?" tanya Lidia sembari menaruh piring di depan Kia.Kiandra menggeleng. Ia mengambil piring yang tadi Lidia berikan. "Aku bisa sendiri," ucapnya tak ramah.Kebiasaan Lidia itu, yang Kia paling tidak suka adalah, selalu bersikap baik. Bagaimana pun Kia berusaha ketus, tak acuh atau sengaja menyebalkan, istri pertama Evan itu tak pernah marah.Tadi itu, kalau
Kia menatap waspada pada lelaki itu. Apa Damar ingin melakukan pembalasan atas sikapnya pada Lidia?"Sini, aku bantu." Damar mengambil kapas dari tangan kiri Kia. Membasahinya dengan alkohol, lalu menarik lengan kanan gadis itu."Aku bisa sendiri." Kia berusaha menjauhkan lengan."Aku bantu." Damar sedikit melotot. Memaksa, hingga akhirnya gadis di depan tak lagi protes.Ada jeda yang diisi hening sekitar beberapa menit, sampai akhirnya Damar bersuara."Menurut kamu, Lidia itu sok baik?"Kan! Kia sudah menebak. Sepupunya Lidia ini pendendam. Tidak menjawab, Kia meringis sebab Damar sengaja menekan luka."Kamu bisa nolak dengan baik-baik kalau enggak mau dibantu. Kenapa harus ngatain?" Damar meniup luka di siku kanan si gadis.Damar melirik lutut Kia yang juga lecet. Pria itu menarik kaki si gadis, ditaruh di atas paha."Dia keras kepala. Tiap hari ditolak, tiap hari s
"Yang bener dikit, Ki. Apa, sih, yang bisa kamu kerjain dengan benar?" Evan menoleh dengan sorot galak ke belakang. Pada istrinya yang malas-malasan memijat punggung."Ini udah benar, Evan!" Kia menekan kuat di punggung si suami."Yang kuat. Kamu punya banyak tenaga untuk membantah, tapi untuk mijit aja enggak bisa benar."Mengerahkan seluruh tenaga, Kia memicit punggung dan bahu Evan."Yang kuat, Kia!""Ini udah kuat, Evan! Badan kamu aja yang kayak kayu!" Telapak tangan Kia memukul punggung si lelaki.Evan menengok, dahinya berkerut tak senang. "Kamu enggak boleh makan kalau aku enggak puas."Mengancam, mengancam dan mengancam. Hanya itu yang bisa Evan gunakan. Sial sekali Kia harus melalui Sabtu malam begini bersama si lelaki jahat itu.Terpaksa, demi perut yang sudah keroncongan, Kia berusaha memijat punggung dan bahu Evan lagi. Jemarinya sudah terasa kebas dan terlihat memera
Warning! 18+ Kiandra terperanjat. Perempuan itu menengok ke belakang sambil memegangi dada yang berdebar karena terkejut. "Mau ajak makan. Kamu habis mandi?" Dilihatnya Damar mengenakan kaus tanpa lengan dan handuk sebagai bawahan.Damar melirik benda-benda di atas kasur. Ia meneliti wajah Kiandra. "Di rumah ini, memang harus makan malam bareng-bareng, ya?"Damar berjalan menuju sisi kasur yang bersebrangan dengan posisi Kia berdiri. Pria itu membuka kausnya, mengambil gantinya dari tas ransel.Selesai mengenakan pakaian, Damar berbalik. Melempar senyum penuh maksud pada si perempuan yang tengah memasang raut heran."Kenapa? Enggak pernah lihat bekas luka?"Kia menggeleng. "Itu karena apa?" tanyanya tak bisa mengendalikan rasa ingin tahu. Ada bekas luka memanjang di punggung Damar tadi. Ia sempat melihat saat si lelaki berganti pakaian."Berke
Geram sekali, Evan yang tak bisa menahan diri akhirnya menendang pintu di hadapan. Pria itu berteriak memanggil nama perempuan di dalam ruangan."Aku mau tidur, Kia! Buka pintunya!"Ini Minggu. Masih jatah Evan bersama Kia. Pun, Evan sebenarnya hanya ingin tidur. Besok Senin, banyak pekerjaan yang harus diurus, ia perlu menghemat tenaga. Namun, dasarnya Kiandra alergi membuat rumah ini tenang. Perempuan itu malah tak mengizinkan Evan masuk ke kamar itu."Tidur sama Lidia! Aku enggak mau kasih kamu masuk, sebelum kamu setujui aku kerja di rumah makan kamu!"Teriakan dari dalam dibalas pukulan oleh Evan di pintu. Pria itu menarik napas. Merapikan helai rambut yang sudah beberapa kali diacak."Ini rumahku, Kia. Ini kamarku. Buka pintunya, atau kudobrak." Pelan, tetapi penuh ancaman. Evan mendoktrion diri untuk mewujudkan ucapan barusan, jika si istri tetap tak mengalah."Dobrak aja! Uangmu
"Di sini aja, mau?" Evan menunjuk sofa santai. Bibirnya menampilkan seringai sempurna."Orang gila!" Menghentak kaki, Kiandra memukul lengan Evan dengan tangan yang bebas.Evan tergelak saja. Pria itu berjalan, menuntun Kia menuju kamar perempuan itu. Ia bahkan sempat mengejek Kiandra karena terus memukuli punggung dan lengannya. "Katanya enggak mau, tapi dipegang-pegang juga."Kiandra meratapi nasib sembari mengekori langkah Evan menuju kamar. Ia tak tahu apa kesalahan fatal yang sudah diperbuat, hingga harus menanggung hukuman seberat ini, berada dalam jeratan pria seperti Evan.Niatnya ingin mendapatkan sesuatu, malah dipaksa kalah dan harus rela melakukan sesuatu yang tak diinginkan. Kiandra hampir menangis, saat Evan mengganjal pintu yang dirusak tadi dengan kursi, agar bisa tertutup rapat."Kamu itu laki-laki paling jahat di dunia, Evan! Cuma orang gila yang bisa tahan sama ka