"Ki? Makan siang, yuk? Buka pintunya, aku antar, ya?"
Pada Lidia yang mengetuk pintu kamar, Kiandra tak memberikan respon apa pun. Ia masih duduk di lantai dekat tempat tidur.
Sejak kemarin, Kia memang tak keluar dari kamar. Masih tidak ingin bertemu si sinting Evan. Dan kesal pada Damar yang ternyata adalah sepupunya Lidia.
Ia sudah berharap bisa bebas dari Evan. Menumpang sebentar di rumah saudara Damar, untuk nantinya mencari sumber uang dan bisa mandiri. Sayang, nasih6 terlalu licik mengatur semua ini.
Tidak keluar dari kamar, sejak kemarin Kia juga belum makan. Jadi, untuk mengganjal perut sampai entah kapan, Kia memakan biskuit yang memang selalu ada di kamar.
Di sela kegiatan itu, ponsel si perempuan bergetar. Ada telepon dari Nando. Cepat-cepat ia terima.
"Ada apa, Ndo?"
"Pagi, Kak. Cuma mau kasih tahu. Senin nanti aku ujian. Aku udah dapat kartu ujiannya, loh. Tunggakan sekolah, udah dibayar lunas sama Bang Evan. Aku udah sampein terima kasih tadi."
Senyum merekah terbit di bibir Kiandra. Ia senang mendengar nada semringah sang adik. Lega sekali karena ternyata Nando merasakan nyaman menuju hari uajiannya.
"Makasih banyak, ya, Kak. Aku cuma mau bilang itu. Ini udah di sekolah, bentar lagi bel. Dadah. Nanti aku telepon lagi."
"Belajar yang rajin, Ndo."
"Siap, Kak!"
Sambungan terputus, Kiandra masih betah tersenyum. Ia sungguh senang. Namun, senyum hilang saat mengingat konsekuensi dari nyaman yang tadi Nando ceritakan. Anak untuk Evan.
Kiandra berpikir. Kabur sepertinya bukan opsi tepat. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Ia berusaha menccari jalan tengah. Solusi yang sekiranya bisa mengurangi penderitaan.
Setengah jam berlalu, Kia mendapat ide. Tangannya segera mengambil kertas dan pena.
Kiandra akan mengubah kesepakatan dengan Evan. Tidak banyak, hanya beberapa poin yang dirasa akan lebih meringankan beban.
Selesai membuat perjanjian tertulis, perempuan itu menyambar jaket. Berjalan tertatih menghampiri Lidia yang ada di ruang makan.
"Aku pinjam kunci motor," kata Kia langsung.
Lidia mengernyit. "Mau ke mana? Kamu masih mau kabur, Ki? Pikirkan dengan kepala dingin. Ja--"
"Aku mau nyusul Evan. Pinjam kunci motor. Dia di mana?"
Lidia meminta Irna mengambil kunci motor. "Kenapa enggak tunggu dia pulang aja?" Si istri pertama menyebut alamat rumah makan yang suaminya kontrol hari ini.
Kia menyambar kunci dari tangan Irna. Ia sempat melirik kesal pada Damar yang sedang menikmati makan siang, sebelum akhirnya pergi. Si penolong gadungan, batinnya.
***
Kata salah satu pegawai, Evan sedang di dapur. Kia diminta menunggu di salah satu meja, perempuan itu memilih yang paling belakang dan sudut. Bukan karena hanya meja itu yang kosong, tetapi juga karena cukup nyaman untuk bicara di sana.Semoga nanti ia dan Evan bisa bicara dan bukan bertengkar.
Evan muncul, Kia segera membuka lipatan kertas berisi perjanjian baru yang ia buat. "Aku mau ubah kesepakatan kita. Enggak banyak, cuma beberapa."
Menarik kursi, dahi lebar Evan mengernyit.
"Kamu enggak bikin surat perjanjian waktu itu, 'kan?"
Si lelaki menggeleng.
"Ini aku buat. Baca, beli materai, tanda tangani." Kia menyodorkan kertas itu. Meminta Evan membacanya lewat isyarat mata.
Evan menggulung lengan jaket denimnya. Ia meminta salah satu pegawai membawakan satu gelas air putih. Ia berikan itu pada si perempuan. "Kepala kamu jadi bermasalah karena lompat kemarin?"
Wajah Kia berubah datar. "Tambahan di kesepakatan yang lama adalah, satu, permintaan cerai dari aku juga bisa dikabulkan." Kia mengambil kertas tadi, memilih membacakannya, daripada menunggu Evan melakukan sendiri.
Sebelumnya, perjanjian tidak tertulis mereka menyebutkan bahwa permintaan cerai baru akan dikabulkan, jika datang dari Evan. Sebanyak apa pun Kia minta berpisah, tidak akan terjadi, bila Evan tidak setuju.
"Dua, aku bebas pergi ke mana pun dan melakukan apa pun."
Evan mengerutkan hidung. "Aku enggak pernah larang kamu melakukan apa pun. Kamu aja yang terlalu pemalas dan cuma pengin di rumah." Evan meneguk air dari gelas. Tenggorokannya agak kering setelah menatapi Kia beberapa saat.
"Tiga, aku tetap akan kasih kamu anak. Satu. Setelahnya, aku boleh minta cerai dan kamu enggak akan ambil rumah Bapak dan Ibu. Soal Rina dan Nando, itu terserah kamu." Kia menyerahkan kertas sekaligus pena pada suaminya. "Aku lupa beli materai. Itu sah juga, 'kan?"
Sekali lagi Evan memanggil salah satu pegawainya. Meminta dibelikan materai. Selagi menunggu, lelaki itu menuliskan sesuatu di kertas. Poin yang dirasa menguntungkan dirinya.
"Dalam lima bulan, kalau Kia belum hamil, Evan berhak menarik kembali apa yang sudah diberikan pada Bapak, Ibu, Rina dan Nando. Selanjutnya, Evan bebas melakukan apa saja, tidak dihitung sebagai pemaksaan, selama perjanjian berlangsung." Pria itu menyuarakan apa yang sudah ditulis. Menanti reaksi lawan bicara.
"Dalam lima bulan, kalau Kia belum hamil, Evan berhak menarik kembali apa yang sudah diberikan pada Bapak, Ibu, Rina dan Nando. Selanjutnya, Evan bebas melakukan apa saja, tidak dihitung sebagai pemaksaan, selama perjanjian berlangsung." Pria itu menyuarakan apa yang sudah ditulis. Menanti reaksi lawan bicara.Kia mengangguk, meski sempat terlihat akan protes. Materai ditempel, mereka tanda tangan bergantian di atas nama masing-masing.Kia menatapi kertas itu dengan mata berbinar. Akhirnya, setengah dari bebannya lepas. Hanya tinggal tunggu tiga bulan usai efek KB hilang, hamil, melahirkan dan bebas dari Evan. Kia akan bisa memiliki hidupnya sepenuhnya lagi.Tanpa sepengetahuan Kia, Evan sudah berdiri. Pria itu memutari meja, memposisikan diri di samping kursi istrinya.Evan menarik lengan Kia, hingga perempuan itu berdiri. "Kamu naik apa ke sini?" Ia mengancingkan bagian bawah ritsleting jaket abu-abu Kia."Motor." Ki
Kia turun untuk makan malam. Sepertinya agak terlambat, karena meja sudah dihuni penghuni rumah lain. Ada Evan, Lidia dan sepupunya Lidia.Saat akan menarik kursi di sudut ujung, yang berseberangan langsung dengan Evan, Kia diinterupsi. Evan memang tidak bicara, tetapi menatapnya terus-menerus. Lurus, ke arah dada.Ingat kejadian di rumah makan kemarin, Kia dengan sigap menyilangkan lengan di depan dada. "Ada. Aku pakai."Alis Evan naik satu, pria itu masih tak membuka mulut, tetapi tatapannya sangat mengganggu Kiandra."Apanya yang ada, Ki?" tanya Lidia sembari menaruh piring di depan Kia.Kiandra menggeleng. Ia mengambil piring yang tadi Lidia berikan. "Aku bisa sendiri," ucapnya tak ramah.Kebiasaan Lidia itu, yang Kia paling tidak suka adalah, selalu bersikap baik. Bagaimana pun Kia berusaha ketus, tak acuh atau sengaja menyebalkan, istri pertama Evan itu tak pernah marah.Tadi itu, kalau
Kia menatap waspada pada lelaki itu. Apa Damar ingin melakukan pembalasan atas sikapnya pada Lidia?"Sini, aku bantu." Damar mengambil kapas dari tangan kiri Kia. Membasahinya dengan alkohol, lalu menarik lengan kanan gadis itu."Aku bisa sendiri." Kia berusaha menjauhkan lengan."Aku bantu." Damar sedikit melotot. Memaksa, hingga akhirnya gadis di depan tak lagi protes.Ada jeda yang diisi hening sekitar beberapa menit, sampai akhirnya Damar bersuara."Menurut kamu, Lidia itu sok baik?"Kan! Kia sudah menebak. Sepupunya Lidia ini pendendam. Tidak menjawab, Kia meringis sebab Damar sengaja menekan luka."Kamu bisa nolak dengan baik-baik kalau enggak mau dibantu. Kenapa harus ngatain?" Damar meniup luka di siku kanan si gadis.Damar melirik lutut Kia yang juga lecet. Pria itu menarik kaki si gadis, ditaruh di atas paha."Dia keras kepala. Tiap hari ditolak, tiap hari s
"Yang bener dikit, Ki. Apa, sih, yang bisa kamu kerjain dengan benar?" Evan menoleh dengan sorot galak ke belakang. Pada istrinya yang malas-malasan memijat punggung."Ini udah benar, Evan!" Kia menekan kuat di punggung si suami."Yang kuat. Kamu punya banyak tenaga untuk membantah, tapi untuk mijit aja enggak bisa benar."Mengerahkan seluruh tenaga, Kia memicit punggung dan bahu Evan."Yang kuat, Kia!""Ini udah kuat, Evan! Badan kamu aja yang kayak kayu!" Telapak tangan Kia memukul punggung si lelaki.Evan menengok, dahinya berkerut tak senang. "Kamu enggak boleh makan kalau aku enggak puas."Mengancam, mengancam dan mengancam. Hanya itu yang bisa Evan gunakan. Sial sekali Kia harus melalui Sabtu malam begini bersama si lelaki jahat itu.Terpaksa, demi perut yang sudah keroncongan, Kia berusaha memijat punggung dan bahu Evan lagi. Jemarinya sudah terasa kebas dan terlihat memera
Warning! 18+ Kiandra terperanjat. Perempuan itu menengok ke belakang sambil memegangi dada yang berdebar karena terkejut. "Mau ajak makan. Kamu habis mandi?" Dilihatnya Damar mengenakan kaus tanpa lengan dan handuk sebagai bawahan.Damar melirik benda-benda di atas kasur. Ia meneliti wajah Kiandra. "Di rumah ini, memang harus makan malam bareng-bareng, ya?"Damar berjalan menuju sisi kasur yang bersebrangan dengan posisi Kia berdiri. Pria itu membuka kausnya, mengambil gantinya dari tas ransel.Selesai mengenakan pakaian, Damar berbalik. Melempar senyum penuh maksud pada si perempuan yang tengah memasang raut heran."Kenapa? Enggak pernah lihat bekas luka?"Kia menggeleng. "Itu karena apa?" tanyanya tak bisa mengendalikan rasa ingin tahu. Ada bekas luka memanjang di punggung Damar tadi. Ia sempat melihat saat si lelaki berganti pakaian."Berke
Geram sekali, Evan yang tak bisa menahan diri akhirnya menendang pintu di hadapan. Pria itu berteriak memanggil nama perempuan di dalam ruangan."Aku mau tidur, Kia! Buka pintunya!"Ini Minggu. Masih jatah Evan bersama Kia. Pun, Evan sebenarnya hanya ingin tidur. Besok Senin, banyak pekerjaan yang harus diurus, ia perlu menghemat tenaga. Namun, dasarnya Kiandra alergi membuat rumah ini tenang. Perempuan itu malah tak mengizinkan Evan masuk ke kamar itu."Tidur sama Lidia! Aku enggak mau kasih kamu masuk, sebelum kamu setujui aku kerja di rumah makan kamu!"Teriakan dari dalam dibalas pukulan oleh Evan di pintu. Pria itu menarik napas. Merapikan helai rambut yang sudah beberapa kali diacak."Ini rumahku, Kia. Ini kamarku. Buka pintunya, atau kudobrak." Pelan, tetapi penuh ancaman. Evan mendoktrion diri untuk mewujudkan ucapan barusan, jika si istri tetap tak mengalah."Dobrak aja! Uangmu
"Di sini aja, mau?" Evan menunjuk sofa santai. Bibirnya menampilkan seringai sempurna."Orang gila!" Menghentak kaki, Kiandra memukul lengan Evan dengan tangan yang bebas.Evan tergelak saja. Pria itu berjalan, menuntun Kia menuju kamar perempuan itu. Ia bahkan sempat mengejek Kiandra karena terus memukuli punggung dan lengannya. "Katanya enggak mau, tapi dipegang-pegang juga."Kiandra meratapi nasib sembari mengekori langkah Evan menuju kamar. Ia tak tahu apa kesalahan fatal yang sudah diperbuat, hingga harus menanggung hukuman seberat ini, berada dalam jeratan pria seperti Evan.Niatnya ingin mendapatkan sesuatu, malah dipaksa kalah dan harus rela melakukan sesuatu yang tak diinginkan. Kiandra hampir menangis, saat Evan mengganjal pintu yang dirusak tadi dengan kursi, agar bisa tertutup rapat."Kamu itu laki-laki paling jahat di dunia, Evan! Cuma orang gila yang bisa tahan sama ka
Kiandra adalah orang yang pantang menyerah. Gadis itu keras kepala, jika menyangkut sesuatu yang memang sangat diinginkan.Salah satu bukti, sewaktu ia berusaha menolak dinikahkan dengan Evan. Selain kabur dari rumah, Kiandra juga pernah nekat akan lompat dari atap rumah. Nyaris akan benar-benar melompat, sebelum akhirnya sang ayah memohon sambil menangis.Saat itu, takut menjadi anak durhaka, Kiandra turun dari atap rumah. Namun, dengan beberapa syarat yang harus Evan penuhi agar mereka bisa menikah.Sekarang pun, Kiandra masih tak suka menyerah sebelum mengerahkan segala cara. Pada Evan, ia kembali membuka percakapan soal pekerjaan.Sengaja Kia mendatangi si suami yang sedang santai di ruang tengah sendirian. Meminta diberi satu posisi, berjanji akan membagi gajinya nanti sebesar 20 persen pada Evan."Aku yang gaji kamu, kamu pikir aku bakal senang dapat bagian 20 persen? Yang paling tep