Share

Bab 7

"Ki? Makan siang, yuk? Buka pintunya, aku antar, ya?" 

Pada Lidia yang mengetuk pintu kamar, Kiandra tak memberikan respon apa pun. Ia masih duduk di lantai dekat tempat tidur. 

Sejak kemarin, Kia memang tak keluar dari kamar. Masih tidak ingin bertemu si sinting Evan. Dan kesal pada Damar yang ternyata adalah sepupunya Lidia. 

Ia sudah berharap bisa bebas dari Evan. Menumpang sebentar di rumah saudara Damar, untuk nantinya mencari sumber uang dan bisa mandiri. Sayang, nasih6 terlalu licik mengatur semua ini. 

Tidak keluar dari kamar, sejak kemarin Kia juga belum makan. Jadi, untuk mengganjal perut sampai entah kapan, Kia memakan biskuit yang memang selalu ada di kamar. 

Di sela kegiatan itu, ponsel si perempuan bergetar. Ada telepon dari Nando. Cepat-cepat ia terima. 

"Ada apa, Ndo?" 

"Pagi, Kak. Cuma mau kasih tahu. Senin nanti aku ujian. Aku udah dapat kartu ujiannya, loh. Tunggakan sekolah, udah dibayar lunas sama Bang Evan. Aku udah sampein terima kasih tadi." 

Senyum merekah terbit di bibir Kiandra. Ia senang mendengar nada semringah sang adik. Lega sekali karena ternyata Nando merasakan nyaman menuju hari uajiannya. 

"Makasih banyak, ya, Kak. Aku cuma mau bilang itu. Ini udah di sekolah, bentar lagi bel. Dadah. Nanti aku telepon lagi." 

"Belajar yang rajin, Ndo." 

"Siap, Kak!" 

Sambungan terputus, Kiandra masih betah tersenyum. Ia sungguh senang. Namun, senyum hilang saat mengingat konsekuensi dari nyaman yang tadi Nando ceritakan. Anak untuk Evan. 

Kiandra berpikir. Kabur sepertinya bukan opsi tepat. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Ia berusaha menccari jalan tengah. Solusi yang sekiranya bisa mengurangi penderitaan. 

Setengah jam berlalu, Kia mendapat ide. Tangannya segera mengambil kertas dan pena. 

Kiandra akan mengubah kesepakatan dengan Evan. Tidak banyak, hanya beberapa poin yang dirasa akan lebih meringankan beban. 

Selesai membuat perjanjian tertulis, perempuan itu menyambar jaket. Berjalan tertatih menghampiri Lidia yang ada di ruang makan. 

"Aku pinjam kunci motor," kata Kia langsung. 

Lidia mengernyit. "Mau ke mana? Kamu masih mau kabur, Ki? Pikirkan dengan kepala dingin. Ja--" 

"Aku mau nyusul Evan. Pinjam kunci motor. Dia di mana?"  

Lidia meminta Irna mengambil kunci motor. "Kenapa enggak tunggu dia pulang aja?" Si istri pertama menyebut alamat rumah makan yang suaminya kontrol hari ini. 

Kia menyambar kunci dari tangan Irna. Ia sempat melirik kesal pada Damar yang sedang menikmati makan siang, sebelum akhirnya pergi. Si penolong gadungan, batinnya. 

*** 

Kata salah satu pegawai, Evan sedang di dapur. Kia diminta menunggu di salah satu meja, perempuan itu memilih yang paling belakang dan sudut. Bukan karena hanya meja itu yang kosong, tetapi juga karena cukup nyaman untuk bicara di sana. 

Semoga nanti ia dan Evan bisa bicara dan bukan bertengkar. 

Evan muncul, Kia segera membuka lipatan kertas berisi perjanjian baru yang ia buat. "Aku mau ubah kesepakatan kita. Enggak banyak, cuma beberapa." 

Menarik kursi, dahi lebar Evan mengernyit. 

"Kamu enggak bikin surat perjanjian waktu itu, 'kan?" 

Si lelaki menggeleng. 

"Ini aku buat. Baca, beli materai, tanda tangani." Kia menyodorkan kertas itu. Meminta Evan membacanya lewat isyarat mata. 

Evan menggulung lengan jaket denimnya. Ia meminta salah satu pegawai membawakan satu gelas air putih. Ia berikan itu pada si perempuan. "Kepala kamu jadi bermasalah karena lompat kemarin?"

Wajah Kia berubah datar. "Tambahan di kesepakatan yang lama adalah, satu, permintaan cerai dari aku juga bisa dikabulkan." Kia mengambil kertas tadi, memilih membacakannya, daripada menunggu Evan melakukan sendiri. 

Sebelumnya, perjanjian tidak tertulis mereka menyebutkan bahwa permintaan cerai baru akan dikabulkan, jika datang dari Evan. Sebanyak apa pun Kia minta berpisah, tidak akan terjadi, bila Evan tidak setuju. 

"Dua, aku bebas pergi ke mana pun dan melakukan apa pun." 

Evan mengerutkan hidung. "Aku enggak pernah larang kamu melakukan apa pun. Kamu aja yang terlalu pemalas dan cuma pengin di rumah." Evan meneguk air dari gelas. Tenggorokannya agak kering setelah menatapi Kia beberapa saat. 

"Tiga, aku tetap akan kasih kamu anak. Satu. Setelahnya, aku boleh minta cerai dan kamu enggak akan ambil rumah Bapak dan Ibu. Soal Rina dan Nando, itu terserah kamu." Kia menyerahkan kertas sekaligus pena pada suaminya. "Aku lupa beli materai. Itu sah juga, 'kan?" 

Sekali lagi Evan memanggil salah satu pegawainya. Meminta dibelikan materai. Selagi menunggu, lelaki itu menuliskan sesuatu di kertas. Poin yang dirasa menguntungkan dirinya. 

"Dalam lima bulan, kalau Kia belum hamil, Evan berhak menarik kembali apa yang sudah diberikan pada Bapak, Ibu, Rina dan Nando. Selanjutnya, Evan bebas melakukan apa saja, tidak dihitung sebagai pemaksaan, selama perjanjian berlangsung." Pria itu menyuarakan apa yang sudah ditulis. Menanti reaksi lawan bicara. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status