"Bang, apa-apaan ini?" Dengan kasar Desti mengeluarkan semua isi peti kayu yang dibungkus dengan kertas kado dan dihiasi pita. Aku terperangah menatap isinya yang berserakan di lantai akibat ulah Desti. Tidak ada yang istimewa atau pun spesial. Semua hanya baju-baju dan barang-barang milikku yang ada di rumah Alina. Kenapa Alina harus mengusir aku dengan cara seperti ini? Apa itu artinya rumah itu telah ia kuasai? Padahal, di sana aku masih memiliki hak. Hak atas harta bersama.Aku lunglai seketika. Seluruh persendian ini rasanya tidak bertulang. Kursi tamu menjadi pilihan untuk menjatuhkan bobot tubuh ini."Ini artinya dia sudah mengusir, Abang! Sudah menginjak-injak harga diri Abang! Aku tidak menyangka Alina se ke jam ini! Kamu harus melakukan sesuatu, Bang! Harus segera!" Desti bersungut-sungut, matanya menyalang ke arah onggokan baju yang berserak di lantai. Aku bergeming. Tatapanku lurus ke depan. Pikiran ini mengawang. "Bang! Jangan diam aja dong! Lakukan sesuatu untuk Alin
Usai pulang dari kondangan kami masih kembali ke rumah Bang Randu. Bahkan rencananya dua hari kedepan. Hitung-hitung liburan untuk anak-anak. Kebetulan bertepatan dengan anak-anak yang baru selesai menjalani ujian semester genap. Sehingga tidak mengganggu sekolah mereka.Ada beberapa hal yang akan kami kerjakan di sini. Salah satunya kami akan berkunjung ke rumah Ririn usai menilik kebun karet yang dulu aku miliki. Kami sudah janjian untuk mengunjungi rumahnya yang masih tiga puluh kilo lagi dari sini."Lin, tadi Mbak sempat khawatir sama kamu, lho. Takut-takut Desti mengamuk dan hilang kendali kemudian mencakar dan menjambak kerudungmu," ungkap Mbak Puji usai makan malam. Aku tersenyum menanggapi ucapan istrinya Bang Sukri. Kami, para orang tua masih berbincang di meja makan. Anak-anak telah diamankan oleh Wulan di depan. Dari suaranya yang riuh, bisa dipastikan mereka sedang bermain di ruang tengah milik Bang Randu."Keren kamu tadi, De. Kalau Mbak jadi kamu sudah tidak tahu lagi.
******Jam sepuluh pagi kami berangkat ke kebun karet yang berjarak sepuluh kilometer dari rumah Bang Randu. Kami hanya berangkat dengan mengendarai motor.Bang Randu memang duda tajir. Lima motor adalah salah satu bukti lelaki yang belum memiliki anak itu adalah golongan kelas menengah ke atas selain dua mobil. Satu mobil pribadi yang kemarin digunakan ke kondangan. Dan ini mobil kijang kapsul yang sudah cukup umur yang kami tumpangi. Mobil yang digunakan khusus untuk ke kebun-kebunnya. Katanya, kendaraan roda dua itu pun sengaja dibeli untuk fasilitas para karyawannya. Setiap pagi mereka akan mengambil dan sorenya dikembalikan lagi ke rumah yang punya. Hari ini pun kami melihat sendiri mereka mengambil motor-motor itu. Tentu, motor bekas yang dibelikan Bang Randu untuk mereka.Mobil melaju meninggalkan rumah besar milik Bang Randu. Di belakang kami ada tiga orang yang mengikuti. Mereka tentang ga Bang Randu yang akan ditugaskan untuk menyadap karet.Bapak tanpa Bunda kali ini. Bel
"Bapak tidak pernah main karet jadi tidak tahu sama sekali." Bapak menjawab tanpa menoleh ke arahku yang ada di bangku tengah. Aku tepuk jidat saat menyadari telah bertanya pada orang yang tidak tepat. Sama halnya dengan aku, cinta pertamaku itu memang tidak tahu tentang dunia karet. Beliau tidak pernah memiliki kebun karet bagaimana bisa tahu tentang hal itu. Pun dengan dua abang tiriku itu. Mereka baru mau bermain karet. Selama ini mata pencaharian Bang Zaki maupun Bang Sukri adalah pedagang. Bukan petani. Mereka pun tidak tahu akan hal ini."Bisa. Ada dua cara menyadap dua hektar seorang diri. Pertama dikerjakan langsung dua hektar di setiap paginya. Bagi yang sudah terbiasa mah tidak capek. Tapi, bagi pemula cukup menguras tenaga. cara kerjanya pun tidak santai. Dari satu batang ke batang yang lain harus berlari. Bagi yang sudah biasa mulai dari jam lima subuh jam sepuluh siang sudah selesai. Untuk pemula dari jam lima subuh beres jam dua belas siang." Aku menyimak penjelasan Ban
"Ibu tinggal di daerah sini?" Aku berbasa-basi sembari tersenyum kecil."Sebenarnya, di desa sebelah Mbak. Biasanya kami belanja di toko Ralia. Tapi, semenjak tahu dia pelakor kok jadi malas belanja di sana." Nggak profesional. Belanja-belanja aja toh, yang direbut juga bukan suaminya. Dasar emak-emak aneh. "Kan bukan suami ibu yang direbut. Kenapa jadi tidak mau belanja di sana?" Pertanyaan Mbak puji mewakili isi hatiku."Mbaknya nggak tahu sih. Dulu setiap kami belanja selalu dicurhati tentang kebaikan suaminya. Eh, bukan curhat tepatnya pamer sampai saya jengah. Tapi, ketika ditanya kenapa masih menikah siri? Dia bilang mertuanya belum merestui. Selama ini saya percaya aja. Kejadian kemarin membongkar semua kebohongannya. Saya paling muak sama orang yang suka bohong, Mbak. Makanya mending cari yang jauh. Ogah belanja lagi sama dia." Aku hanya bisa menghela napas tanpa bisa menjawab apa-apa."Sebentar lagi tokonya pasti bangkrut itu, Mbak. Karena warung-warung yang biasa belanja d
Desti rela menggadaikan rumahnya meski ditentang oleh keluarganya demi lelaki yang dicintainya. Mas Radit. Meskipun saat itu mas Radit belum membuka hati untuk Desti. Tapi, di dalam tulisannya perempuan itu sangat yakin bisa menaklukkan hati lelaki pujaannya setelah bisa menyelesaikan hutang yang melilit mas Radit. Hutang hingga ratusan juta.Mas Radit memiliki hutang? Hingga ratusan juta? Untuk apa? Kenapa dia tidak pernah cerita padaku? Kenapa malah memilih wanita lain untuk menyelesaikan masalah sebesar itu? Sebenarnya pengkhianatan ini memang berasal dari mas Radit. Kenapa dia membuka celah pada perempuan lain? Padahal, saat itu aku mampu untuk melunasi hutang-hutangnya itu. Ah, dasar lelaki murahan. Tapi, ada rasa syukur saat menyadari hikmah di balik semua ini. Aku bersyukur kala itu mas Radit itu tidak bercerita padaku. Jika waktu itu dia jujur padaku tentang masalahnya, sudah pasti aku akan menjual kebun karet lima hektar itu untuk membayar hutang-hutangnya. Hingga aku tak m
POV Radit"Bang, aku tidak mau tahu. Kamu harus segera mencarikan uang untuk DP mobil. Jangan sampai kita habis hajatan tidak terlihat membeli sesuatu yang baru." Desti sudah merepet pagi-pagi. Kami baru saja selesai sarapan.Aku meneguk segelas air putih hingga tandas. Otakku bekerja dengan keras. Dari mana dapat uang sebesar puluhan juta dalam waktu dekat? Uang hasil hajatan hanya cukup untuk membayar sewa-sewa serta daging sapi yang lumayan banyak. Tamunya memang banyak yang datang, tapi uang kondangannya tak seberapa."Bang, cepat gerak dong. Jangan hanya melamun dan menunggu keajaiban." Desti bangkit dari tempat duduknya. Piring kotor ia tumpuk, dibawanya ke wastafel."Pagi ini Abang mau ke rumah Kang Paimin. Setelahnya Abang akan ke rumah Pak Nardi mau kasbon." Aku berdiri dari duduk. Berjalan ke arah kulkas. Mengambil kunci motor yang disimpan di atasnya. "Pulang harus membawa hasil!" Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Desti. Aku maklum dengan segala perubahannya. Dia jadi
"Tenang dulu, Mas. Diminum dulu teh manisnya." Kang Paimin menyodorkan segelas teh hangat padaku. Aku sampai tidak menyadari kapan istrinya menyuguhkan minum hangat itu. Biasanya aku akan meminumnya hingga tandas. Tapi, tidak kali ini. Aku tak berselera.Aku berdiri dari tempat duduk setelah menyambar uang dalam plastik kresek tadi."Kang, aku pamit." Segera kubawa langkah kaki meninggalkan rumah Kang Paimin. Kubawa motor melaju ke arah kebun. "Siapa yang menyuruh kalian menyadap di tempat saya?" Kudekati lelaki kerempeng yang sedang menderes getah itu. Dia mendongak, menatapku yang sedang berkacak pinggang. "Yang menyuruh saya? Ya yang punya tanahlah, Mas! Ini kebun milik Pak Randu. Kalau mau marah-marah atau komplain silakan hubungi beliau. Saya hanya orang suruhannya." Enteng sekali mulut itu menjawab. Ketenangan pria itu justru membuat emosiku semakin menjadi-jadi."Telepon sekarang bosmu! Suruh ke sini sekarang. Hadapi saya!" Kutepuk dada ini agar dia paham aku tak terima de