"Terima kasih banyak, Bu. Saya Terima uangnya. Semoga acaranya berjalan dengan lancar. Semoga Ibu dan keluarga selalu diberikan keberkahan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala," ucapku setelah menerima uang pemberian Bu Ratih."Aamiin. Doa yang sama untuk Mbak Alina sekeluarga. Semoga Mbak Alina juga segera mendapatkan jodoh kembali. Monggo dihitung dulu uangnya, Mbak. Siapa tahu kurang." Senyum ramah Bu Ratih berikan padaku.Sebenarnya tanpa disuruh pun aku tetap menghitung jumlah uang yang Bu Ratih berikan. Uang kekurangan dari pembayaran brownies kering. DP sudah masuk dari beberapa hari sebelumnya sebagai tanda jadi. Bu Ratih salah satu langganan kue di tempatku. Kali ini dia memesan kue brownies sebanyak lima kilo untuk acara pernikahan adiknya, katanya. "Pas, Mbak? Atau kurang?" Bu Ratih memastikan setelah mencicipi kue yang aku antarkan. "Sudah pas, Bu. Semoga Ibu puas dengan rasa kuenya. Kalau begitu kami pamit dulu, Bu." "Saya selalu puas dengan citarasa kue produksi Mbak Alina.
[Wahai nyonya Radit yang terhormat! Kerasukan setan mana sehinga kamu ngomel-ngomel nggak jelas begitu? Ada masalah apa kamu menuduh aku begitu? Aku belum bisa move on dari Mas Radit? Salah besar. Bahkan untuk mengenang namanya juga aku enggan. Aku amat sangat bahagia tanpa kehadiran lelaki parasit itu. Bagaimana mungkin aku belum bisa move on darinya? Sejak aku tahu kalian telah menikah secara diam-diam, hati ini pun sudah mati untuknya. Oh ya, apa maksudmu susah melihatmu senang?][Sok polos! Bibirmu ngomong lupa di diam-diam masih kau sebut nama suamiku. Dasar munafik! Merasa nggak tahu apa-apa. Puas kamu sudah menghancurkan usaha kami. Puas kamu sudah membuat kami terpuruk! Sekarang kamu boleh menang, tapi ingat kemenanganmu itu tidak akan lama. Seumur hidup kamu tidak akan bahagia, Alina!] Astaghfirullah ….[Desti. Aku tidak mengerti apa pun yang kamu maksud. Aku bukan cenayang yang bisa tahu isi kepalamu. Katakan terus terang jangan terus menuduh dan memfitnah aku demikian. Ing
Aku penasaran siapa lelaki yang menayangkan diri ini? Apa mungkin Bang Randu? Rasanya itu mustahil. Secara, dia sudah memiliki istri yang sedang hamil. Dan Bang Randu itu tipe lelaki setia. Mana mungkin menanyakan aku untuk dijadikan istrinya? Nggak lucu. Barangkali ada lelaki lain yang bertanya pada orang tuaku. Aku benar-benar dibuat penasaran oleh Bunda. Meskipun begitu, aku tak mungkin bertanya kepada Bapak secara langsung. Ah, biarlah beliau cerita sendiri. Toh, Bapak juga tidak mungkin mengambil keputusan sepihak tanpa bertanya padaku. Cepat atau lambat aku akan diberi tahu. Otak berhentilah penasaran. Aku hanya sekedar penasaran. Bukan berarti sudah siap untuk menikah kembali. Saat ini aku sudah bahagia dengan kehidupan kami. Aku dan Wildan. Anak lelaki itu sudah paham kalau bapaknya tidak akan pernah bisa hadir lagi dalam kehidupan kami. Dia pun sudah bahagia tanpa kehadiran bapaknya. Sepertinya untuk menikah lagi harus aku pikirkan puluhan kali. Rasanya tidak mudah untu
Ya, Wulan adalah orang kepercayaanku. Dia memegang peranan penting di dalam bisnisku. Dia jago promosi yang akhirnya membuat usaha katering dan rumah makan serta pesanan kue terus meningkat dari hari ke hari. Itu tak terlepas dari campur tangan Wulan. Tentu, aku tidak hanya menyumbang katering doang. Tetapi, sudah menyiapkan sesuatu yang berharga untuknya. Semoga bermanfaat untuknya."Apa yang saya lakukan tidak sebanding dengan apa yang Ibu berikan pada kami selama ini. Izinkan saya membayar seperempatnya, ya, Bu?" "Gunakan uangmu untuk kebutuhan yang lainnya. Ibu tak akan bangkrut gara-gara menggratiskan katering ini untukmu, Lan." "Masya Allah … terima kasih banyak, Bu." Mata itu berkaca-kaca. Segera kurangkul perempuan muda yang tangguh itu."Ibu hanya bisa membantu catering untuk pernikahan kalian. Tidak bisa yang lainnya." "Itu lebih dari cukup, Bu. Saya tahu untuk urusan konsumsi itu tidak murah. Dan itu semua Ibu yang akan menanggung biayanya. Padahal, saya dan Mas Danu sud
"Kurang ajar memang mantan istrimu itu, Bang! Munafik! Sok menasihati orang lain padahal, dia sendiri yang menyebabkan kita begini!" Desti bersungut-sungut sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. "De, Abang rasa kita tidak perlu mengumpat Alina. Semua ini sudah tidak ada kaitannya sama dia, De?" Aku mencoba meredam emosi Desti yang meledak-ledak dengan cara merangkul pundaknya. Namun, perempuan itu menepis tangan ini dan melotot tajam ke arahku. Apa salahku? Memang benar, semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan mantan istriku itu. Lalu, kenapa Desti mengaitkan semua ini dengannya? Rasanya tidak adil untuk Alina. Wanita itu jelas-jelas tidak tahu apa-apa."Belain terus mantan istrimu itu! Hanya dia yang tidak suka dengan kesuksesan kita, Bang! Diam-diam selama ini dia selalu mencari tahu tentang keluarga kita dari Ririn, Bang. Ririn sering datang ke rumah ini, tidak semata-mata untuk menjenguk Ibu, Bang. Dia ada maksud lain. Alina lah yang menyuruhnya. Dia ingin tahu kelem
Mendapatkan penolakan dari Desti, membuatku ingin rebahan. Aku berjalan menuju sofa. Kusandarkan punggung ini pada sandaran kursi empuk di seberang Desti. Kupijit pelipis ini yang berdenyut nyeri karena memikirkan masalah yang datang secara bertubi-tubi."Roman-romannya ada yang sedang pusing tujuh keliling ini. Kasihan sekali kalian!" Suara Ratmi membuat kami menoleh ke arah pintu. Kebiasaan, wanita bertubuh subur itu tidak pernah mau mengucapkan salam bila masuk ke rumah ini. Seenak jidatnya ia ke luar masuk ke kediaman kami. Ah, aku lupa ada bapak mertuaku di sini. Itu sebabnya perempuan satu bapak beda ibu dengan Desti sering datang kemari.Perempuan itu menatap kami secara bergantian dengan senyum meremehkan. Kurang ajar memang. Inilah definisi susah melihat orang senang. Senang melihat orang susah. Menyebalkan memang manusia satu ini. Tanpa kami minta, Ratmi ikut bergabung bersama kami di ruang tamu. Tubuh tambun itu ia dudukkan di sofa yang berseberangan dengan kami. Desti ta
Kubawa langkah kaki menuju kamar ibu dengan hati berbunga. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa memiliki gairah hidup kembali meskipun, kini sedang diselimuti masalah yang tak ada habisnya.Toh, terlalu memikirkan masalah hanya membuatku pusing sendiri. Lebih baik saat ini berpikir yang happy-happy saja. Agar hidup ini tidak santai.Kutarik handle pintu dengan perlahan. Terlihat ibu berbaring menghadap ke arah pintu. Dengan senyum mengembang aku menghampiri beliau. "Bu, sedang apa?" Kupijit kaki ibu setelah duduk di sebelahnya. Beliau hanya menggelengkan kepalanya. Ibu memang tidak bicara, tapi aku tahu beliau tidak baik-baik saja. Maafkan anakmu ini, Bu. Aku janji akan segera membawa ibu kepada Alina kembali.Ibu menggerakkan tangannya, bermaksud meminta bantuan. Dengan sigap aku membantu beliau untuk bangkit. Kubantu ibu bersandar pada kepala ranjang. "Bu? Apa Alina sering memberikan uang pada, Ibu?" tanyaku dengan hati-hati. Ibu mendelik ke arahku. Di keningnya terdapat banyak ke
'Sabar Radit, kamu harus maklum kenapa nomormu diblokir. Mungkin, dia marah saat itu. Kalau mau mau mendapatkan hatinya lagi ya harus berjuang kembali. Dan ini bagian dari perjuanganmu.' Sisi hatiku yang lain memberikan motivasi pada diri sendiri.Aku menghela napas berat. Bagaimana caranya aku bisa menghubungi Alina kalau nomornya saja aku nggak punya? Aku mendongak ke arah langit-langit. Siapa tahu ada petunjuk setelahnya.Ririn … aha … Ririn. Aku tersenyum menyebut nama istrinya Saiful itu.Ririn pasti tahu nomor Alina. Aku harus segera menghubunginya. Akan tetapi, tidak di rumah ini. Bisa bahaya kalau Desti tahu aku sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan Alian. Bukan takut diceraikan, bukan. Aku hanya takut diusir dan tidak memiliki tempat tinggal saat ini. Mencari aman adalah solusi terbaik. "De, Abang mau keluar sebentar, ya?" Kutemui Desti di kamar. Perempuan itu sedang rebahan. Kuguncang pundaknya pelan. Desti menoleh. Kudapati pipinya yang basah, habis menangis. Matanya