Home / Rumah Tangga / Ketika Istri Mati Rasa / Mas Radit Keceplosan

Share

Mas Radit Keceplosan

Author: Farid-ha
last update Last Updated: 2022-10-26 22:20:36

Tahu aja mau dikasih kejutan." Mas Radit melepaskan tangannya yang melingkar di pinggangku. Beralih mengambil benda di balik sakunya. Sejurus kemudian dia berjongkok seperti orang-orang yang akan melamar pacarnya.

"Maukah engkau hidup menua bersamaku, Sayang?" Dia buka kotak beludru merah yang berisi cincin bermata indah. Aku membungkam mulut, pura-pura kaget dan bahagia. Padahal, di dalam sini rasanya mual, muak mendengar rayuan sampahnya. Dengan gerakan cepat aku ambil perhiasan tersebut.

"Terima kasih banyak, ya, Mas. Indah sekali, aku suka." Cincin kini sudah melingkar di jari manis.

"Tentu, akan mas berikan yang terbaik untukmu, Sayang." Rasanya ingin aku melu dah di depannya. Muak dengan omong kosongnya.

"Ini semua hasil uang karetku kan, Mas? Sudah seharusnya kamu memberikan yang terbaik untukku. Aku yakin cincin ini tak harganya bila dibandingkan dengan apa-apa yang kamu berikan pada perempuan yang bernama Desti. Dia yang selama ini menikmati hasil ladangku kan, Mas?" Sayangnya, pertanyaan ini hanya di dalam hatiku. Belum saatnya aku mempertanyakan ini padanya secara langsung.

Dadaku kembali sesak kalau mengingat tentang uang karet. Di sana, istri mudanya selalu dimanja di sini aku … ah, sudah tak perlu dijelaskan. Kejomplangan yang ada. Berat sebelah. Mending kalau hasil kerjanya sendiri. Hasil ladangku yang berhektar-hektar itu.

Hening di antara kami. Hanya desau angin yang berhembus membelai pipiku yang tanpa make up. Sesekali aku memainkan cincin baru tadi.

"Mas, aku masuk dulu, ya. Ini sudah larut malam. Aku ngantuk." Kubawa langkah kaki menuju ke arah pintu.

Namun, secepat kilat mas Radit mencekal kembali tanganku, kemudian membalik tubuh ini. Lelaki itu mencuri kesempatan. Dia berhasil mendaratkan hidungnya di pipiku. Aku terdiam. Bukan menikmati, tapi ingin tahu apa yang akan dia lakukan.

Wajahku dibingkai dengan kedua tangannya.

"Kenapa kamu menghindar? Ada apa sebenarnya dengan kamu, De?" Aku mengernyitkan dahi.

"De? Panggilan untuk siapa itu, Mas? Seumur-umur menimani hidupmu belum pernah sekalipun kamu memanggilku dengan sebutan itu. Aku curiga, jangan-jangan itu panggilan untuk orang lain. Istri barumu mungkin," ucapku lembut tapi penuh penekanan.

Mataku menyorot pada tubuh mas Radit yang terlihat menegang. Tangan yang memegangi pipiku ia lepaskan dengan sendirinya. Mungkin dia merutuki dirinya sendiri yang keceplosan.

Baru disindir gitu aja sudah takut kamu, Mas! Cemen!

Entah akan seperti apa reaksi bila aku sudah melakukan aksi nantinya. Tunggu tanggal mainnya. Mas! Akan ada kejutan-kejutan manis untukmu dan istri barumu itu. Kamu pikir aku cinta mati hingga tak berani berbuat apa pun?

"Aku masuk, Mas." Berlari kecil aku meninggalkan lelaki yang tengah mematung pucat itu.

Pintu kamar Wildan Kututup dengan sempurna. Tak akan kuberikan kesempatan mas Radit untuk masuk ke ruangan ini. Rasanya sangat enggan bertemu dengannya.

Kupandangi Cincin emas dua puluh empat karat itu. Tertulis jelas di suratnya yang diselipkan dalam kotak persegi empat itu.

*****

Pagi-pagi aku masak seperti biasa. Aku tetap melayani kebutuhan suami meski tidak untuk kebutuhan biologisnya. Hatiku masih sakit dan tak siap untuk berbagi tubuh setelah mengetahui ada perempuan lain yang selalu memanjakannya. Biarlah dia dipuaskan oleh Desti. Toh, dia juga yang paling banyak menghabiskan uangku yang dikelola sama mas Radit.

"Nduk, gimana kabar keluarga di kampung?" Suara ibu mengagetkan, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada ibu yang sedang duduk di atas kursi roda.

"Alhamdulillah, baik semua, Bu. Ibu gimana selama di tinggal Alina pulang kampung?" Aku belum bertemu lagi dengan ibu setelah menidurkan Wildan semalam.

Selama tiga hari, menitipkan ibu pada keponakan perempuannya. Mbak Niswa wanita berstatus single mom itu bersedia mengurus ibu selama aku tinggal. Tentu dengan upah sebagai imbalannya. Sebenarnya, perempuan berumur tiga puluhan itu menolaknya, tapi aku tahu bagaimana susahnya ia mencari rezeki untuk menghidupi dua anaknya yang masih kecil-kecil.

Ibu mengalami stroke setelah jatuh sewaktu aku tinggal di Hongkong dulu. Entah bagaimana ceritanya bisa jatuh? Yang jelas saat ini ibu membutuhkan kursi roda.

"Ibu dibantu Niswa meskipun, tak setelaten kamu dalam mengurusnya." Aku tersenyum tipis menanggapi ucapan ibu.

Bu, mungkin kedepannya ibu akan aku antarkan ke rumah menantu yang lain. Biar dia merasakan mengurus mertua. Jangan hanya mau mengurus anaknya yang terlihat mapan meskipun, bukan murni hartanya sendiri.

"Bu, Alina mau kembali ke rumah makan. Ibu nggak papa ya, ditinggal sendiri di rumah." Aku meninggalkan irisan bumbu. Berjalan mendekat ke arah ibu kemudian berjongkok di sisi kursi roda. Mensejajarkan dengan tubuh ibu meski tetap tidak sejajar.

"Kamu mau kembali ke rumah makan itu? Mau sibuk di sana lagi? Untuk apa, Nduk? Bukankah sudah ada orang kepercayaanmu?" Rentetan pertanyaan ibu mengisyaratkan rasa keberatan.

"Bu, Alina ingin rumah makan itu lebih maju dari sekarang. Alina tidak mau mengandalkan orang kepercayaan. Banyak yang berkhianat, Bu. Jaman sekarang banyak orang yang dipercaya tetapi menyalahkan gunakan kepercayaan itu. Lagian, Bu, jaman sekarang wanita itu harus pintar cari uang. Jangan lagi hanya mengandalkan suami. Karena suami itu tiba-tiba bisa diambil sama dua hal. Satu diambil sama pelakor atau diambil sama Allah. Dan Alina harus menyiapkan itu semua sejak sekarang." Kulihat ibu terdiam. Wajahnya kembali memucat.

"Kenapa kamu ngomong seperti itu, Sayang?" Tiba-tiba mas Radit sudah muncul di belakangku. Aku menoleh ke arah sumber suara.

"Ya, aku kan tidak tahu kapan kamu akan diambil, Mas. Bukan mendoakan tapi aku harus mempersiapkan diri. Oh, ya, Mas. Sekalian aku mau ngomong. Itu mobil aku ambil ya. Untuk ke rumah makan kan butuh kendaraan. Tahu sendiri cukup jauh dari sini. Bolehkan?"

Sungguh pemandangan yang sangat bagus. Ingin rasanya aku mengambil handphone dan memfoto wajah mereka berdua. Kalian tahu apa yang terjadi di

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (13)
goodnovel comment avatar
Popon Ponirah
bagus alina harus bermain cantik ambil hartamu to msda depan anakmu kelak jg dinikmati pelakor ... yg tak punya perasaan percantik dirimu biar suami gigit jari
goodnovel comment avatar
Ahmad Firdos
HARUSSS Laki² seperti itu harus. di beri Pelajaran
goodnovel comment avatar
Ahmad Firdos
iya lah uang Jerih Payah istri jadi TKW malah di gunakan utk Senang² dgn istri mudanya.. miskinkan mereka kembali Alina
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Istri Mati Rasa    Alina Melahirkan

    "Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D

  • Ketika Istri Mati Rasa    Siapa Namamu?

    POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima

  • Ketika Istri Mati Rasa    Ralia Terjatuh ke Sungai

    Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh

  • Ketika Istri Mati Rasa    Nasib Ralia Kini

    POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te

  • Ketika Istri Mati Rasa    Bagaimana Nasib Ralia Selanjutnya?

    POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d

  • Ketika Istri Mati Rasa    Ditelpon Penculik Ralia.

    Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status