Share

Mas Radit Keceplosan

Tahu aja mau dikasih kejutan." Mas Radit melepaskan tangannya yang melingkar di pinggangku. Beralih mengambil benda di balik sakunya. Sejurus kemudian dia berjongkok seperti orang-orang yang akan melamar pacarnya.

"Maukah engkau hidup menua bersamaku, Sayang?" Dia buka kotak beludru merah yang berisi cincin bermata indah. Aku membungkam mulut, pura-pura kaget dan bahagia. Padahal, di dalam sini rasanya mual, muak mendengar rayuan sampahnya. Dengan gerakan cepat aku ambil perhiasan tersebut.

"Terima kasih banyak, ya, Mas. Indah sekali, aku suka." Cincin kini sudah melingkar di jari manis.

"Tentu, akan mas berikan yang terbaik untukmu, Sayang." Rasanya ingin aku melu dah di depannya. Muak dengan omong kosongnya.

"Ini semua hasil uang karetku kan, Mas? Sudah seharusnya kamu memberikan yang terbaik untukku. Aku yakin cincin ini tak harganya bila dibandingkan dengan apa-apa yang kamu berikan pada perempuan yang bernama Desti. Dia yang selama ini menikmati hasil ladangku kan, Mas?" Sayangnya, pertanyaan ini hanya di dalam hatiku. Belum saatnya aku mempertanyakan ini padanya secara langsung.

Dadaku kembali sesak kalau mengingat tentang uang karet. Di sana, istri mudanya selalu dimanja di sini aku … ah, sudah tak perlu dijelaskan. Kejomplangan yang ada. Berat sebelah. Mending kalau hasil kerjanya sendiri. Hasil ladangku yang berhektar-hektar itu.

Hening di antara kami. Hanya desau angin yang berhembus membelai pipiku yang tanpa make up. Sesekali aku memainkan cincin baru tadi.

"Mas, aku masuk dulu, ya. Ini sudah larut malam. Aku ngantuk." Kubawa langkah kaki menuju ke arah pintu.

Namun, secepat kilat mas Radit mencekal kembali tanganku, kemudian membalik tubuh ini. Lelaki itu mencuri kesempatan. Dia berhasil mendaratkan hidungnya di pipiku. Aku terdiam. Bukan menikmati, tapi ingin tahu apa yang akan dia lakukan.

Wajahku dibingkai dengan kedua tangannya.

"Kenapa kamu menghindar? Ada apa sebenarnya dengan kamu, De?" Aku mengernyitkan dahi.

"De? Panggilan untuk siapa itu, Mas? Seumur-umur menimani hidupmu belum pernah sekalipun kamu memanggilku dengan sebutan itu. Aku curiga, jangan-jangan itu panggilan untuk orang lain. Istri barumu mungkin," ucapku lembut tapi penuh penekanan.

Mataku menyorot pada tubuh mas Radit yang terlihat menegang. Tangan yang memegangi pipiku ia lepaskan dengan sendirinya. Mungkin dia merutuki dirinya sendiri yang keceplosan.

Baru disindir gitu aja sudah takut kamu, Mas! Cemen!

Entah akan seperti apa reaksi bila aku sudah melakukan aksi nantinya. Tunggu tanggal mainnya. Mas! Akan ada kejutan-kejutan manis untukmu dan istri barumu itu. Kamu pikir aku cinta mati hingga tak berani berbuat apa pun?

"Aku masuk, Mas." Berlari kecil aku meninggalkan lelaki yang tengah mematung pucat itu.

Pintu kamar Wildan Kututup dengan sempurna. Tak akan kuberikan kesempatan mas Radit untuk masuk ke ruangan ini. Rasanya sangat enggan bertemu dengannya.

Kupandangi Cincin emas dua puluh empat karat itu. Tertulis jelas di suratnya yang diselipkan dalam kotak persegi empat itu.

*****

Pagi-pagi aku masak seperti biasa. Aku tetap melayani kebutuhan suami meski tidak untuk kebutuhan biologisnya. Hatiku masih sakit dan tak siap untuk berbagi tubuh setelah mengetahui ada perempuan lain yang selalu memanjakannya. Biarlah dia dipuaskan oleh Desti. Toh, dia juga yang paling banyak menghabiskan uangku yang dikelola sama mas Radit.

"Nduk, gimana kabar keluarga di kampung?" Suara ibu mengagetkan, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada ibu yang sedang duduk di atas kursi roda.

"Alhamdulillah, baik semua, Bu. Ibu gimana selama di tinggal Alina pulang kampung?" Aku belum bertemu lagi dengan ibu setelah menidurkan Wildan semalam.

Selama tiga hari, menitipkan ibu pada keponakan perempuannya. Mbak Niswa wanita berstatus single mom itu bersedia mengurus ibu selama aku tinggal. Tentu dengan upah sebagai imbalannya. Sebenarnya, perempuan berumur tiga puluhan itu menolaknya, tapi aku tahu bagaimana susahnya ia mencari rezeki untuk menghidupi dua anaknya yang masih kecil-kecil.

Ibu mengalami stroke setelah jatuh sewaktu aku tinggal di Hongkong dulu. Entah bagaimana ceritanya bisa jatuh? Yang jelas saat ini ibu membutuhkan kursi roda.

"Ibu dibantu Niswa meskipun, tak setelaten kamu dalam mengurusnya." Aku tersenyum tipis menanggapi ucapan ibu.

Bu, mungkin kedepannya ibu akan aku antarkan ke rumah menantu yang lain. Biar dia merasakan mengurus mertua. Jangan hanya mau mengurus anaknya yang terlihat mapan meskipun, bukan murni hartanya sendiri.

"Bu, Alina mau kembali ke rumah makan. Ibu nggak papa ya, ditinggal sendiri di rumah." Aku meninggalkan irisan bumbu. Berjalan mendekat ke arah ibu kemudian berjongkok di sisi kursi roda. Mensejajarkan dengan tubuh ibu meski tetap tidak sejajar.

"Kamu mau kembali ke rumah makan itu? Mau sibuk di sana lagi? Untuk apa, Nduk? Bukankah sudah ada orang kepercayaanmu?" Rentetan pertanyaan ibu mengisyaratkan rasa keberatan.

"Bu, Alina ingin rumah makan itu lebih maju dari sekarang. Alina tidak mau mengandalkan orang kepercayaan. Banyak yang berkhianat, Bu. Jaman sekarang banyak orang yang dipercaya tetapi menyalahkan gunakan kepercayaan itu. Lagian, Bu, jaman sekarang wanita itu harus pintar cari uang. Jangan lagi hanya mengandalkan suami. Karena suami itu tiba-tiba bisa diambil sama dua hal. Satu diambil sama pelakor atau diambil sama Allah. Dan Alina harus menyiapkan itu semua sejak sekarang." Kulihat ibu terdiam. Wajahnya kembali memucat.

"Kenapa kamu ngomong seperti itu, Sayang?" Tiba-tiba mas Radit sudah muncul di belakangku. Aku menoleh ke arah sumber suara.

"Ya, aku kan tidak tahu kapan kamu akan diambil, Mas. Bukan mendoakan tapi aku harus mempersiapkan diri. Oh, ya, Mas. Sekalian aku mau ngomong. Itu mobil aku ambil ya. Untuk ke rumah makan kan butuh kendaraan. Tahu sendiri cukup jauh dari sini. Bolehkan?"

Sungguh pemandangan yang sangat bagus. Ingin rasanya aku mengambil handphone dan memfoto wajah mereka berdua. Kalian tahu apa yang terjadi di

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status