Bersusah payah aku menjadi pembantu di luar negeri demi mengumpulkan uang dan berupaya mengangkat taraf hidupmu, Mas. Setelah kelihatan hasilnya dengan tanpa perasaan kamu menggunakannya untuk menyenangkan hati perempuan lain. Terbuat dari apa hatimu, Mas!
Hatiku menjerit. Merutuki perbuatan lelaki yang bergelar suami.Tanganku kembali mengepal hingga kukunya memutih.Rahangku mengeras. Bibir kukatup rapat-rapat. Gigiku gemeletuk. Gemuruh di dada kembali meletup-letup."Lin, kamu masih di sana, kan?" Suara Mbak Sisil memutuskan lamunanku."Ma — masih, Mbak. Aku masih mendengar kok. Terus perempuan itu pernah pulang nggak setelah menikah?""Pernah beberapa kali, tapi tidak pernah sama suaminya. Katanya, sih, suaminya selalu sibuk. Tapi, ada yang bilang kalau itu suami orang. Selentingan yang Mbak dengar dia menjadi istri simpanan. Katanya, dia mau meresmikan pernikahan sirinya."Deg!Meresmikan pernikahannya?Seratus persen keyakinanku menyimpulkan Desti adalah maduku. Segera, kuhirup napas dalam-dalam menghembuskan secara perlahan.Sesaknya dada berharap bisa berkurang.Jelas, dia tidak akan pernah pulang dengan suaminya. Karena mas Radit tidak mau ketahuan oleh keluarga kita, Mbak."Aku tidak heran kalau Desti menjadi istri simpanan. Lha wong, emaknya aja seperti itu. Memang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Cuman, aku kasihan dengan istri lelaki itu. Pasti tak pernah dipedulikannya. Kata uwaknya, lelakinya lebih banyak waktu di tempat Desti. Jarang pulang ke rumah istri tuanya.""Mbak, terima kasih, ya. Informasinya. Maaf, mengganggu waktunya. Aku matikan dulu, ya. Assalamualaikum." Sudah tak sanggup lagi aku mendengar penjabaran yang lain.Air mataku kembali luruh, pertahan yang aku bangun sedari tadi jebol. Keterangan-keterangan dari Mbak Sisil menambah sakit di dalam sini. Tak berdarah tapi sangat luka.Aku tergugu hingga terguncang pundakku. Kamu benar-benar jahat, tega, Mas! Aku yang kerja keras kamu dan simpananmu yang menikmati. Terbuat dari apa hatimu, Mas?Ketukan pintu dari dalam membuatku menoleh ke arah pintu. Sengaja, pintu aku tutup dari luar. Tak ingin ada orang yang mengganggu. Aku menoleh ke layar handphone. Sudah jam sepuluh malam. Selama ini aku menangis?Lekas, kususut air mata dengan kasar. Aku pastikan ini air mata terakhir. Tak akan ada lagi air mata yang lainnya. Aku harus kuat, tegar, tenang tapi menghanyutkan. Lihat saja nanti, Mas!Jelas, dia tidak akan pernah pulang dengan suaminya. Karena mas Radit tidak mau ketahuan oleh keluarga kita, Mbak.Kran air kukulir, tangan kutengadahkan untuk menampung airnya. Air yang dingin membasuh mukaku yang penuh jejak air mata. Tidak boleh ada jejak air mata di pipiku.Setelah mengatur napas dan memastikan emosi yang sudah mulai stabil lekas, berjalan menuju pintu.Tenang, kubuka kunci pintu dari luar. Mataku membelo sempurna saat melihat apa yang terjadi di depan pintu. lelaki itu berdiri di depan pintu dengan tatapan menghunus. Tangannya melipat di depan dada. Degup jantungku tak berirama. Terlintas pertanyaan di kepala. Sudah berapa lama Mas Radit berdiri di situ? Handphone segera aku masukkan ke saku baju. Tak ingin dia merampas dan membaca semuanya. Aku mundur satu langkah. Mas Radit pun mengikuti langkahku. Sejurus kemudian lelaki itu menarik tanganku ke arah ayunan."Apa-apaan sih, Mas?" Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan kekar itu.Kini posisi kami berhadapan. Tatapan kami bersirobok. Atmosfer ketegangan menyelimuti kami.Detak jantungku lebih cepat dari biasanya.Apa dia mendengar obrolanku dengan mbak Sisil, sehingga terlihat marah seperti ini? Apa dia tahu kalau aku sedang membicarakan istri mudanya? Tenang, Alina. Tenang, jangan panik!Keadaan kembali aku kuasai setelah menghembuskan napas pelan. Aku tidak boleh terlihat gugup."Ada Mas Radit ke sini?" Pertanyaan itu kuberikan untuk mencairkan suasana yang sempat menegang. Tatapan kulayangkan pada sebelah kiri dada bidangnya. Ada yang menyembul dari balik saku kaus pendek yang ia kenakan. Apa itu?"Kenapa kamu bohong sama mas, Alina?" Aku mengernyit, menatap lelaki yang memegangi kedua pundakku. Lekas, kulingkarkan tangan ke arah pundaknya. Tatapannya berubah dari menghunus menjadi mengharap."Bohong? Bohong gimana, Mas?" Sebelah mata aku kedipkan. Seolah merayunya. Tangan yang tadi berada di pundakku kini beralih ke pinggangku."Kenapa kamu menghindariku?" Tatapannya semakin sayu. "Katanya mau ke kamarnya Wildan, tapi malah sibuk berteleponan. Sama siapa?"Degup jantungku kian tak berirama. Takut-takut dia mendengar obrolan kami. Namun, aku berusaha keras untuk tetap tenang."Kenapa? Kamu takut aku selingkuh?" Senyum manis kupersembahkan untuk lelaki yang bergelar suami. Tanganku yang sempat mengalung di lehernya aku lepaskan. Tangan kumainkan di atas dadanya."Bukan. Mana berani kamu selingkuh. Kamu kan cinta mati sama Mas. " Aku tertawa sumbang mendengar ucapannya."Kenapa kamu tertawa? Ada yang lucu?" Jelas aku tertawa, Mas. Percaya diri sekali kamu! Bahkan aku ragu apakah masih ada rasa untukmu, Mas? Kalau pun masih ada kadarnya sudah sangat menipis. Nyaris habis terkikis oleh kebohongan yang kamu ciptakan sekian tahun."Percaya diri sekali kamu, Mas. Bagaimana kalau aku sudah tidak mencintaimu lagi?" Aku tertawa kecil di ujung pertanyaan. Ucapan serius terbalut candaan. Dia melengos, membuang muka ke sembarang arah. Entah apa yang membuat mukanya memerah?Mungkinkah ini alasan yang membuatnya tega menikah lagi. Dia pikir aku akan menerimanya begitu saja. Seorang Alina Sasha Putri cinta mati sama suaminya."Benda apa ini, Mas?" Aku mengalihkan pembicaraan. Tanganku meraba saku kaus berwarna biru yang dikenakan lelaki bergelar suami itu.Tahu aja mau dikasih kejutan." Mas Radit melepaskan tangannya yang melingkar di pinggangku. Beralih mengambil benda di balik sakunya. Sejurus kemudian dia berjongkok seperti orang-orang yang akan melamar pacarnya."Maukah engkau hidup menua bersamaku, Sayang?" Dia buka kotak beludru merah yang berisi cincin bermata indah. Aku membungkam mulut, pura-pura kaget dan bahagia. Padahal, di dalam sini rasanya mual, muak mendengar rayuan sampahnya. Dengan gerakan cepat aku ambil perhiasan tersebut. "Terima kasih banyak, ya, Mas. Indah sekali, aku suka." Cincin kini sudah melingkar di jari manis. "Tentu, akan mas berikan yang terbaik untukmu, Sayang." Rasanya ingin aku melu dah di depannya. Muak dengan omong kosongnya. "Ini semua hasil uang karetku kan, Mas? Sudah seharusnya kamu memberikan yang terbaik untukku. Aku yakin cincin ini tak harganya bila dibandingkan dengan apa-apa yang kamu berikan pada perempuan yang bernama Desti. Dia yang selama ini menikmati hasil ladangku kan, Mas?" Saya
Ketika Istri Mati Rasa Mas Radit tampak ternganga. Mungkin tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Kepala itu digelengkan ke kiri dan ke kanan. Seolah menolak ucapanku. Aku hanya tersenyum tipis melihat ekspresi. Pandangan kualihkan ke arah wanita yang sedang duduk di kursi roda. Ibu pun tak kalah terkejutnya. Buktinya mulutnya hanya bisa melongo, seperti orang yang sedang mengucapkan huruf 0. Kaget-kaget lah kalian! Itu belum seberapa dibandingkan nanti kedepannya. Akan banyak kejutan untukmu, Mas! "Setuju atau tidak itu mobil tetap aku ambil, Mas!" ucapku sembari kembali berjalan ke tempat aku menaruh bumbu yang sempat tertunda pengerjaannya. Namun, baru beberapa langkah kakiku kembali berhenti karena ucapan mas Radit."Kamu apa-apaan, Alina! Nggak bisa gitu, dong! Itu mobil aku pake untuk bolak-balik ke Gumawang. Kamu bisa naik angkot ke ke rumah makan! Jangan egois kamu, Lin!" protes mas Radit dilayangkan ke padaku, setelah sekian menit ia sempat cenggo di tempatnya berdiri.
Tak kuhiraukan lagi tentang masakan. Lebih baik aku beli makanan jadi saja untuk saat ini. Membahas mobil itu lebih penting bagiku. Masalah satu ini harus segera kelar."Kamu jangan egois, Alina! Aku yang lebih membutuhkan mobil itu daripada kamu!" Tanganku diturunkan dari hadapannya kemudian melenggang meninggalkan ku seorang diri. Dasar, nggak sadar diri! Sabar Alina! Ucapannya benar-benar membuatku emosi. Oksigen kuhirup sebanyak-banyaknya kemudian ku hembuskan pelan-pelan. Berharap kadar emosi ini bisa menurun setelah ada di ubun-ubun. "Mas, motor kamu dipinjam Mbak Nanik," ucapku saat menemukannya di garasi. Aku hapal betul bagaimana lelaki itu kalau marah. Pasti akan pergi dari rumah dengan membawa motor.Tadi pagi, saat mas Radit sedang sibuk di kamarnya, Mbak Nanik menemui aku dan meminjam motor itu untuk jualan. Motor miliknya sedang rusak. Toh, tidak ada salahnya aku meminjamkan untuk saudara yang membutuhkannya. Sepertinya apa yang sering mas Radit lakukan selama ini."K
"Kenapa kamu begitu percaya diri kalau itu hartamu? Seandainya, ini seandainya, ya, tapi amit-amit, jangan sampai terjadi. Seumpama kita berpisah maka, itu mobil akan menjadi harta Gono gini. Akan kita bagi dua bukan hartamu sendiri meskipun, itu dibeli dengan uangmu sendiri." Aku tertawa kecil mendengar penuturannya. Harta gono-gini. Lucu! Ngarep banget dapat harta gono-gini dari hartaku. Itu tidak mungkin akan terjadi."Kamu mau kita berpisah, Mas? Ayo, siapa takut!" Dagu kuangkat ke arahnya. Sedikit menantangnya. "Mas, ngaji yang bener. Berguru yang bener dengan seorang ustadz. Di dalam Islam itu tidak ada harta gono-gini. Harta yang didapatkan suami itu murni menjadi hak suami setelah dia mengeluarkan sedekah kepada istrinya berupa nafkah; sandang, pangan dan papan. Kalau ada sisa dari itu itu murni harta suaminya. Sedangkan harta istri yang dihasilkan dari kerjanya sendiri itu juga hak istri. Tidak ada bisa dijadikan harta gono-gini. Coba ngaji yang bener! Sekarang sudah paham,
Setelah sekian menit perjalanan, rumah Mbak Niswa sudah tampak. Mobil diparkirkan di sisi jalan. Kami sengaja tidak turun. Takut kelamaan.Mas Radit membunyikan klakson mobil, Mbak Niswa ke luar rumah menemui kami. Kaca tengah aku buka separuh."Mbak, nitip Wildan, ya. Maaf dia belum makan sedari tadi." Kusodorkan dua lembar uang berwarna merah yang sudah aku siapkan sejak tadi. "Untuk jajan Wildan selama aku tinggal. Aku tidak tahu pulang kapan. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku, Mbak. Terima kasih sebelumnya. Wildan hanya aku bawakan baju tiga stell." Aku tadi menyiapkan baju Wildan setelah menghubungi Mbak Niswa sambil menunggu Mas Radit. Tas milik Wildan pun aku berikan ketika bocah tewas jauh tahun itu turun dari mobil."Tenang saja, Wildan aman sama aku. Kebetulan ada baju Deri yang bisa dipake ganti kalau memang kehabisan." Aku mengangguk mendengar ucapan Mbak Niswa. Setelah mengucapkan salam Kami kembali melanjutkannya perjalanan ke rumah sakit. Kebetulan rumah Mb
[Abang yang sabar, ya. Semoga Ibu lekas sehat. Adik sedih tahu, Bang. Mertua sakit tapi tak bisa menjenguk apalagi mengurusnya.] Benar apa kataku, Dik adalah panggilan untuk Desti. Maduku. Aku menarik salah satu sudut bibir ke atas setelah membaca pesan dari maduku itu. Manis sekali rangkaian kata-katanya. Terlihat sangat tulus. Mungkin, bagi orang yang tidak mengenalnya akan terbuai oleh ucapan-ucapan yang keluar dari mulut wanita itu. Tapi, aku tidak termasuk.Sembilan tahun di sekolah yang sama, membuatku paham betul bagaimana tabiat istri muda mas Radit. Bermuka dua, penjilat ulung. Handphone dalam genggamanku, kembali ada pesan masuk dari kontak yang diberi nama pak Garwo. Garwo, artinya sigaran jiwo atau belahan jiwa. Sebegitu romantisnya mas Radit dalam memperlakukan istri mudanya. Ada yang sesak di dalam sini. Tapi ada yang lebih menyesakkan dada dari sekedar nama kontak itu. Bahkan, kini darahku mendidih seketika setelah membacanya. Jadi ini alasan mas Radit tidak mau meny
Ketika Istri Mati Rasa "Mana STNKnya?" Sekali lagi kuulangi pertanyaan itu. Kali ini dengan sedikit menyentaknya. Beruntung, di kelas satu ini hanya ibu yang menjadi penghuninya. Tidak ada yang lain. Memang, saat ini rumah sakit sedang tidak banyak pasien.Sudah hilang kesabaranku di hadapan lelaki licik ini. Dari ekor mataku, Ibu terlihat membuka matanya sebentar mungkin kaget. Tetapi, ia terlihat kembali memejamkan mata. Ibu juga termasuk orang yang pandai berlakon. "Kenapa kamu bersikeras mau membawa mobil sih, Dik?" Salah ngomong lagi dia. Kesempatan bagus ini! "Ck! CK! Dik lagi, dik lagi! Siapa sih sebenarnya dia? Selingkuhanmu? Atau istri barumu? Atau siapa? Kenapa begitu latah kau memanggil sebutan itu? Jangan kamu pikir aku tidak jeli, Mas! Siapa wanita yang kamu panggil dik itu?" tanyaku dengan tatapan tajam yang siap menguliti lawan bicara. Tentu tak lupa kupasang wajah garang demi sebuah.... Mas Radit terlihat tergagap. Rupanya pertanyaanku tadi mampu membuat lelaki i
Tak kuhiraukan dering handphone yang terus menjerit minta diangkat. Aku masih di tempat dengan posisi memeluk lutut. Kubiarkan air mataku tumpah. Berharap setelah ini dadaku bisa plong. Aku capek dengan hati yang seperti ini. Aku lelah. Sayup-sayup aku mendengar ketukan pintu dari arah depan. Ketukannya berulang hingga membuatku harus menyusut air mata. Entah siapa yang datang. Jangan-jangan itu mas Radit. Dia menyusulku ke sini karena merasa curiga dengan semuanya. Bisa jadi, karena tadi Mbak Nanik, anak sambung ibu mertuaku itu mau gantiin menjaga Ibu. Dengan hati sakit, aku kembali merapikan ruangan yang dulu sering kami gunakan untuk memadu kasih. Segera, aku kembalikan seluruh barang yang tadi sempat diobrak-abrik oleh tangan ini, ke tempat semula. Perhiasan berbentuk rantai sudah aku amankan dalam saku celana kulot yang ada di balik gamis lebar ini. Tentu tanpa kotaknya. Ketukan pintu terasa kian nyaring. Siapa, sih yang datang? Dengan langkah lebar aku berjalan menuju pintu