Share

Mengambil Mobil

Ketika Istri Mati Rasa

Mas Radit tampak ternganga. Mungkin tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Kepala itu digelengkan ke kiri dan ke kanan. Seolah menolak ucapanku. Aku hanya tersenyum tipis melihat ekspresi.

Pandangan kualihkan ke arah wanita yang sedang duduk di kursi roda. Ibu pun tak kalah terkejutnya. Buktinya mulutnya hanya bisa melongo, seperti orang yang sedang mengucapkan huruf 0.

Kaget-kaget lah kalian! Itu belum seberapa dibandingkan nanti kedepannya. Akan banyak kejutan untukmu, Mas!

"Setuju atau tidak itu mobil tetap aku ambil, Mas!" ucapku sembari kembali berjalan ke tempat aku menaruh bumbu yang sempat tertunda pengerjaannya. Namun, baru beberapa langkah kakiku kembali berhenti karena ucapan mas Radit.

"Kamu apa-apaan, Alina! Nggak bisa gitu, dong! Itu mobil aku pake untuk bolak-balik ke Gumawang. Kamu bisa naik angkot ke ke rumah makan! Jangan egois kamu, Lin!" protes mas Radit dilayangkan ke padaku, setelah sekian menit ia sempat cenggo di tempatnya berdiri.

Baru kali ini mas Radit meninggikan suaranya. Aku membalikkan badan. Mataku menatap lelaki berhidung bangir itu.

Sejenak kemudian, ku alihkan pandangan ini lurus ke depan.

Takut-takut ada Wildan yang tiba-tiba muncul dan menyimak obrolan tidak sehat ini dari ruang tengah. Tapi, sepertinya tidak ada. Aku sedikit lega.

"Mas, pelankan suaramu! Ada Wildan di rumah. Aku tak mau dia mendengar pertengkaran orang tuanya." Tatapan tak suka aku layangkan ke lelaki berjambang tipis itu.

Ibu memutar roda kursinya, lalu berjalan menjauh dari kami tanpa sepatah katapun. Entah apa yang ingin beliau lakukan. Aku mengangkat bahu ringan.

"Aku egois? Meminta barang sendiri disebut egois? Yang egois itu kamu, Mas!"

Suaraku pelan tapi penuh penekanan.

Aku kembali ke tempat tujuan dan melanjutkan mengiris bumbu, tanpa menghiraukan respon dia. Pagi ini aku akan memasak tumis kangkung dengan bumbu diiris, ayam goreng, tempe bacem dan sambal terasi.

"Sampai kapan pun itu mobil tidak akan aku serahkan ke kamu, Alina." Suara Mas Radit pelan tepat di dekat telingaku. Aku tersenyum miring mendengarnya, meskipun yakin lelaki itu tak akan melihat senyumku.

Kenapa, Mas? Mau kamu bawa ke Gumawang. Kamu gunakan untuk menyenangkan hati istri tercinta mu itu?

Tangan ini kembali berhenti dari aktivitas. Badan kubalik menghadapnya kembali. Kutatap lelaki yang telah mendua itu dengan tajam. Aku berdiri tepat di hadapannya dengan tangan bersedekap.

"Mas, nggak lupa kan kalau itu mobil milikku? Dibeli menggunakan uangku! Hasil jerih payahku selama di Hongkong. Ingat dong. Masa nggak ingat!" Aku tak pernah meninggikan suara. Sama seperti saat ini suaraku pelan dan tenang. Tapi terdengar tegas.

Ucapanku berhenti saat mata ini menangkap sosok anak kecil yang berjalan ke arah kami. Senyum manis kulayangkan kepada bocah itu. Mulut mas Radit terbuka, seakan ingin berbicara tapi diurungkan karena ada Wildan di depan kami.

"Bu, Wildan mau beli bubur dulu ya, sama Mbak Uti," pamit bocah tujuh tahun itu. Tangannya menengadah ke arahku. Kode untuk meminta uang. Aku mengangguk, paham dengan semuanya.

"Iya, Sayang. Ini uangnya. Hati-hati ya, nyebrang jalannya." Selembar uang berwarna biru aku ulurkan padanya. Bocah yang sedang libur sekolah itu tampak sumringah menerima duit itu.

Ooh ternyata ibu pergi dari sini karena mau membawa Wildan ke luar? Ibu ingin memberikan ruang untuk kami. Sepertinya beliau paham bakal ada pertengkaran di rumah ini.

"Ini buat beli bubur sama ibu titip gorengan sepuluh ribu, ya." Anak semata wayang itu mengangguk kemudian pergi setelah mencium punggung tangan kami secara bergantian.

Manis sekali sikap anaknya. Semoga sampai tua nanti tetap bersikap manis pada semua orang. Jangan sampai dia mewarisi karakter bapaknya yang suka menikah diam-diam.

Di samping tukang bubur ayam ada tukang gorengan. Jam-jam segini sudah ramai yang membeli. Bahkan tak jarang orang-orang pada ngantri demi mendapatkan gorengan murah itu. Ya, murah karena masih dengan harga dua ribu dapat tiga. Sengaja aku menitipnya, selain ingin makan gorengan yang ngangenin itu, aku juga ingin Wildan dan neneknya lebih lama lagi di luar. Jangan sampai anak itu mendengar pertengkaran kami.

"Mana kunci mobil dan surat-suratnya, Mas?" Tanganku menengadah di depan pria yang mulai aku benci itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Maskuri saia
menarik ceritanya
goodnovel comment avatar
Rizalsyah Muhammad
Asyik juga nih ceritanya...background merakyat...banyak cerita spt ini diluar sana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status