Share

Mengambil Mobil

Author: Farid-ha
last update Last Updated: 2022-10-26 22:32:56

Ketika Istri Mati Rasa

Mas Radit tampak ternganga. Mungkin tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Kepala itu digelengkan ke kiri dan ke kanan. Seolah menolak ucapanku. Aku hanya tersenyum tipis melihat ekspresi.

Pandangan kualihkan ke arah wanita yang sedang duduk di kursi roda. Ibu pun tak kalah terkejutnya. Buktinya mulutnya hanya bisa melongo, seperti orang yang sedang mengucapkan huruf 0.

Kaget-kaget lah kalian! Itu belum seberapa dibandingkan nanti kedepannya. Akan banyak kejutan untukmu, Mas!

"Setuju atau tidak itu mobil tetap aku ambil, Mas!" ucapku sembari kembali berjalan ke tempat aku menaruh bumbu yang sempat tertunda pengerjaannya. Namun, baru beberapa langkah kakiku kembali berhenti karena ucapan mas Radit.

"Kamu apa-apaan, Alina! Nggak bisa gitu, dong! Itu mobil aku pake untuk bolak-balik ke Gumawang. Kamu bisa naik angkot ke ke rumah makan! Jangan egois kamu, Lin!" protes mas Radit dilayangkan ke padaku, setelah sekian menit ia sempat cenggo di tempatnya berdiri.

Baru kali ini mas Radit meninggikan suaranya. Aku membalikkan badan. Mataku menatap lelaki berhidung bangir itu.

Sejenak kemudian, ku alihkan pandangan ini lurus ke depan.

Takut-takut ada Wildan yang tiba-tiba muncul dan menyimak obrolan tidak sehat ini dari ruang tengah. Tapi, sepertinya tidak ada. Aku sedikit lega.

"Mas, pelankan suaramu! Ada Wildan di rumah. Aku tak mau dia mendengar pertengkaran orang tuanya." Tatapan tak suka aku layangkan ke lelaki berjambang tipis itu.

Ibu memutar roda kursinya, lalu berjalan menjauh dari kami tanpa sepatah katapun. Entah apa yang ingin beliau lakukan. Aku mengangkat bahu ringan.

"Aku egois? Meminta barang sendiri disebut egois? Yang egois itu kamu, Mas!"

Suaraku pelan tapi penuh penekanan.

Aku kembali ke tempat tujuan dan melanjutkan mengiris bumbu, tanpa menghiraukan respon dia. Pagi ini aku akan memasak tumis kangkung dengan bumbu diiris, ayam goreng, tempe bacem dan sambal terasi.

"Sampai kapan pun itu mobil tidak akan aku serahkan ke kamu, Alina." Suara Mas Radit pelan tepat di dekat telingaku. Aku tersenyum miring mendengarnya, meskipun yakin lelaki itu tak akan melihat senyumku.

Kenapa, Mas? Mau kamu bawa ke Gumawang. Kamu gunakan untuk menyenangkan hati istri tercinta mu itu?

Tangan ini kembali berhenti dari aktivitas. Badan kubalik menghadapnya kembali. Kutatap lelaki yang telah mendua itu dengan tajam. Aku berdiri tepat di hadapannya dengan tangan bersedekap.

"Mas, nggak lupa kan kalau itu mobil milikku? Dibeli menggunakan uangku! Hasil jerih payahku selama di Hongkong. Ingat dong. Masa nggak ingat!" Aku tak pernah meninggikan suara. Sama seperti saat ini suaraku pelan dan tenang. Tapi terdengar tegas.

Ucapanku berhenti saat mata ini menangkap sosok anak kecil yang berjalan ke arah kami. Senyum manis kulayangkan kepada bocah itu. Mulut mas Radit terbuka, seakan ingin berbicara tapi diurungkan karena ada Wildan di depan kami.

"Bu, Wildan mau beli bubur dulu ya, sama Mbak Uti," pamit bocah tujuh tahun itu. Tangannya menengadah ke arahku. Kode untuk meminta uang. Aku mengangguk, paham dengan semuanya.

"Iya, Sayang. Ini uangnya. Hati-hati ya, nyebrang jalannya." Selembar uang berwarna biru aku ulurkan padanya. Bocah yang sedang libur sekolah itu tampak sumringah menerima duit itu.

Ooh ternyata ibu pergi dari sini karena mau membawa Wildan ke luar? Ibu ingin memberikan ruang untuk kami. Sepertinya beliau paham bakal ada pertengkaran di rumah ini.

"Ini buat beli bubur sama ibu titip gorengan sepuluh ribu, ya." Anak semata wayang itu mengangguk kemudian pergi setelah mencium punggung tangan kami secara bergantian.

Manis sekali sikap anaknya. Semoga sampai tua nanti tetap bersikap manis pada semua orang. Jangan sampai dia mewarisi karakter bapaknya yang suka menikah diam-diam.

Di samping tukang bubur ayam ada tukang gorengan. Jam-jam segini sudah ramai yang membeli. Bahkan tak jarang orang-orang pada ngantri demi mendapatkan gorengan murah itu. Ya, murah karena masih dengan harga dua ribu dapat tiga. Sengaja aku menitipnya, selain ingin makan gorengan yang ngangenin itu, aku juga ingin Wildan dan neneknya lebih lama lagi di luar. Jangan sampai anak itu mendengar pertengkaran kami.

"Mana kunci mobil dan surat-suratnya, Mas?" Tanganku menengadah di depan pria yang mulai aku benci itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (14)
goodnovel comment avatar
Ahmad Firdos
iyaa BETULLL SEKALI
goodnovel comment avatar
Ahmad Firdos
Begitulah Manusia
goodnovel comment avatar
Ahmad Firdos
emang keduanya sama-sama Manusia JAHATTT YG GAK TAHU DI UNTUNG
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Istri Mati Rasa    Alina Melahirkan

    "Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D

  • Ketika Istri Mati Rasa    Siapa Namamu?

    POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima

  • Ketika Istri Mati Rasa    Ralia Terjatuh ke Sungai

    Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh

  • Ketika Istri Mati Rasa    Nasib Ralia Kini

    POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te

  • Ketika Istri Mati Rasa    Bagaimana Nasib Ralia Selanjutnya?

    POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d

  • Ketika Istri Mati Rasa    Ditelpon Penculik Ralia.

    Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status