Mendapatkan penolakan dari Desti, membuatku ingin rebahan. Aku berjalan menuju sofa. Kusandarkan punggung ini pada sandaran kursi empuk di seberang Desti. Kupijit pelipis ini yang berdenyut nyeri karena memikirkan masalah yang datang secara bertubi-tubi."Roman-romannya ada yang sedang pusing tujuh keliling ini. Kasihan sekali kalian!" Suara Ratmi membuat kami menoleh ke arah pintu. Kebiasaan, wanita bertubuh subur itu tidak pernah mau mengucapkan salam bila masuk ke rumah ini. Seenak jidatnya ia ke luar masuk ke kediaman kami. Ah, aku lupa ada bapak mertuaku di sini. Itu sebabnya perempuan satu bapak beda ibu dengan Desti sering datang kemari.Perempuan itu menatap kami secara bergantian dengan senyum meremehkan. Kurang ajar memang. Inilah definisi susah melihat orang senang. Senang melihat orang susah. Menyebalkan memang manusia satu ini. Tanpa kami minta, Ratmi ikut bergabung bersama kami di ruang tamu. Tubuh tambun itu ia dudukkan di sofa yang berseberangan dengan kami. Desti ta
Kubawa langkah kaki menuju kamar ibu dengan hati berbunga. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa memiliki gairah hidup kembali meskipun, kini sedang diselimuti masalah yang tak ada habisnya.Toh, terlalu memikirkan masalah hanya membuatku pusing sendiri. Lebih baik saat ini berpikir yang happy-happy saja. Agar hidup ini tidak santai.Kutarik handle pintu dengan perlahan. Terlihat ibu berbaring menghadap ke arah pintu. Dengan senyum mengembang aku menghampiri beliau. "Bu, sedang apa?" Kupijit kaki ibu setelah duduk di sebelahnya. Beliau hanya menggelengkan kepalanya. Ibu memang tidak bicara, tapi aku tahu beliau tidak baik-baik saja. Maafkan anakmu ini, Bu. Aku janji akan segera membawa ibu kepada Alina kembali.Ibu menggerakkan tangannya, bermaksud meminta bantuan. Dengan sigap aku membantu beliau untuk bangkit. Kubantu ibu bersandar pada kepala ranjang. "Bu? Apa Alina sering memberikan uang pada, Ibu?" tanyaku dengan hati-hati. Ibu mendelik ke arahku. Di keningnya terdapat banyak ke
'Sabar Radit, kamu harus maklum kenapa nomormu diblokir. Mungkin, dia marah saat itu. Kalau mau mau mendapatkan hatinya lagi ya harus berjuang kembali. Dan ini bagian dari perjuanganmu.' Sisi hatiku yang lain memberikan motivasi pada diri sendiri.Aku menghela napas berat. Bagaimana caranya aku bisa menghubungi Alina kalau nomornya saja aku nggak punya? Aku mendongak ke arah langit-langit. Siapa tahu ada petunjuk setelahnya.Ririn … aha … Ririn. Aku tersenyum menyebut nama istrinya Saiful itu.Ririn pasti tahu nomor Alina. Aku harus segera menghubunginya. Akan tetapi, tidak di rumah ini. Bisa bahaya kalau Desti tahu aku sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan Alian. Bukan takut diceraikan, bukan. Aku hanya takut diusir dan tidak memiliki tempat tinggal saat ini. Mencari aman adalah solusi terbaik. "De, Abang mau keluar sebentar, ya?" Kutemui Desti di kamar. Perempuan itu sedang rebahan. Kuguncang pundaknya pelan. Desti menoleh. Kudapati pipinya yang basah, habis menangis. Matanya
"Bu, ada yang pesan nasi sebanyak tujuh puluh kotak untuk syukuran khitanan. Sanggup, Bu?" Wulan setengah berlari menghampiri aku yang sedang memasukkan nasi kotak ke dalam kresek besar. Aku menghentikan pergerakan tangan ini.Aku harus memastikan bahwa saat itu kami tidak ada pesanan yang lain."Kapan hari H-nya?" Kutatap calon pengantin baru itu dengan seksama. "Belum tanya, Bu. Soalnya saya takut Ibu menolaknya." Aku paham kenapa Wulan berkesimpulan demikian, bukan tanpa sebab dia takut aku menolaknya. Ini pesanan kelima yang masuk pada hari ini.Tadi sudah masuk pesanan bolu pisang sepuluh loyang. Masuk pula pesanan nasi kotak lima puluh bok. Belum lagi pesanan kue-kue basah untuk ibu-ibu pengajian. Ada pula yang pesan catering untuk acara arisan ibu-ibu sosialita."Tanyakan dulu kapan harinya? Kalau berbenturan dengan yang lain kita jelas nggak bisa." Wulan segera menyampaikan pertanyaanku tadi pada pemesan melalui sambungan telepon. Rupanya sejak tadi gadis bermata belo itu b
[Masalahnya, Mbak. Bang Randu tidak memberikan alamat kalian. Bagaimana cara kami mengantarkannya?] Seramah mungkin aku menjawabnya. Biar bagaimanapun dia adalah customer yang wajib diberi pelayanan yang baik. Terserah dia mau bersikap seperti apa sama kita.[Kebiasaan lelaki itu. Suka mengambil keputusan sepihak. Kenapa sih tidak kompromi terlebih dahulu? Memangnya, aku ini dianggap apa?] Perempuan itu bergumam lirih tapi masih bisa ditangkap oleh indera pendengaranku.Ketus amat istrinya? Jadi penasaran seperti apa bentuk wajahnya. Kalau ditilik dari suara kayaknya ini bukan milik Risma, adik iparnya Bang Randu. Jadi siapa sebenarnya istrinya Bang Randu? Tapi, kasihan juga orang sebaik Bang Randu mendapatkan istri yang judes begitu. Ah, siapapun itu yang pasti bisa membuat Bang Randu jatuh cinta. Berarti dia sesuai kriterianya Bang Randu. [Siapa yang menelepon, De?] Itu suara milik Bang Randu. Aku menarik napas lega, setidaknya tidak akan berbicara lagi dengan istrinya.[Tuh, dari
"Siapa, Lan?" Kupandangi Wulan dengan seksama seraya kujilati jari tangan ini usai makan. Hal ini tidak jorok dan tak bertentangan dengan medis. Terpenting lagi menjilati jari tangan usai makan adalah Sunnah Nabi."Pak Radit, Bu." Wulan berbisik di telingaku. Handphone yang masih tersambung dengan mas Radit ia genggam di tangan kanannya yang saat ini disembunyikan di balik punggung gadis tersebut. Aku menggelengkan kepala kuat, tanda menolaknya. Wulan pun mengangguk. Dia pun paham bahwa aku tidak mau menerima telepon dari bapaknya Wildan. Enggan rasanya menjawab telepon dari lelaki yang kini bergelar mantan suami. Entah apa yang ingin ia bahas kali ini? Aku pun sudah tak mau tahu. Sebab tidak ada lagi hubungannya denganku. Aku tak mau pagi ini rusak gara-gara ngobrol dengan manusia seperti Mas Radit. [Maaf, Pak. Bu Alinanya sedang sibuk. Beliau tidak bisa menerima telepon dari Anda.] Kudengar suara Wulan yang sedang memberi alasan pada Mas Radit di seberang sana. Ku acungkan ked
[Kamu itu lucu, ya, Mas. Asli. Selera humornya cukup lumayan tinggi. Kamu pandai melawak. Sampai-sampai aku tidak bisa berhenti tertawa, nih!] Bisa-bisanya ia meminta bersama lagi. [Aku sedang tidak melawak, Lin. Aku serius. Aku tak rela bila Wildan mempunyai bapak sambung. Aku tak mau Wildan ….] Terdengar suara isakan Mas Radit. Aku tersenyum miring menanggapinya.[Sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa bersama lagi. Pantang bagiku menjilat ludah yang sudah dibuang! Jangan pernah mimpi kita akan rujuk kembali! Sesalmu sudah tidak ada artinya sama sekali, Mas. Maaf pekerjaan saya banyak. Silakan menangis sendiri di situ. Assalam —"] Lagi-lagi Mas Radit memotong salamku. Mau apa lagi sih?[Lin. Kapan aku bisa ngobrol dengan Wildan?][Nanti, jam setengah tiga sore silakan hubungi nomor ini. Tapi, aku ingatkan kamu, Mas. Usahamu akan sia-sia kalau Wildan kamu jadikan senjata agar kita bisa rujuk lagi. Oke!] Kali ini Kututup sambungan telepon tanpa salam. Aku tak ingin gagal lagi.
Lelaki dengan setelan celana chino, dengan atasan kaos polos yang di double kemeja tidak dikancing dengan lengan digulung seperempat siku serta sepatu sneaker itu berjalan dengan gagah berjalan menuju ke arah kami. "Masya Allah … gantengnya Bang Randu, Bu." Wulan mendekatiku sembari menyodorkan kalkulator. Alat itu akan aku gunakan untuk menghitung kisaran besaran biaya untuk belanja kebutuhan hari esok. "Hust! Ingat dia suami orang!" Aku memukul lengan Wulan agar gadis itu mengalihkan pandangannya. Namun, perempuan yang umurnya jauh lebih muda dari aku itu mencibir sembari tersenyum. Memang, tidak aku pungkiri Bang Randu mempesona meskipun, umurnya tak lagi muda. Aku yakin semua orang sepakat kalau lelaki yang usianya sudah kepala empat itu masih terlihat tampan dengan gaya rambutnya yang dibelah tengah. Badannya pun terawat. Meski tubuhnya berisi tapi tidak ada lemak yang berkumpul di perutnya. Rata. "Assalamualaikum." Senyum ramah itu mengembang dari bibir Bang Randu."Waalaiku