Share

2 Hutang Budi

"Sayang, maafin Mas! Ini semua salah Mas. Gara-gara Mas ...."

"Pergi ...!" 

Lagi Luna berteriak memotong perkataanku. Suaranya bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Sepertinya, istriku benar-benar marah atas kejadian ini. Sungguh, aku  tersiksa menyaksikannya sesakit ini. Tapi, caranya tidak begini bukan.

Aku memang salah karena tidak langsung hadir ketika Luna membutuhkan. Tapi, apa patut dia memperlalukanku seperti ini. Bukan hanya Luna yang sedih, aku juga sangat merasa kehilangan atas kepergian calon anak kami. Mengertilah Luna, aku juga sakit bahkan lebih sakit ketika kamu berubah dingin.

 Kemana Lunaku yang dulu. Yang selalu bersikap manja, banyak cerita saat aku pulang kerja. Tutur kata dan tatapan begitu menggoda. Lembut dan selalu menghormatiku sebagai suami. 

"Luna, please. Mas nggak mau kamu seperti ini, Sayang. Mas mengaku salah, Lun. Tapi, Mas benar-benar nggak bermaksud mengabaikan permintaan kamu ...."

"Keluar atau aku yang pergi?" 

Suaranya mulai melemah kembali, tapi masih saja menyayat hati.

Luna menyingkirkan selimut yang tadi menutupi seluruh tubuhnya dan beranjak duduk di atas ranjang dengan posisi membelakangi. Aku hanya mampu menatap dari belakang, lalu menyimpulkan betapa kacaunya penampilan wanitaku, sekarang.

Rambut lurusnya yang hitam tampak berantakan, dan tubuh yang semakin kurus yang tersembunyi di balik piama.

Sial.

Kenapa baru sekarang aku menyadarinya. Bukankah seharusnya wanita semakin berisi kalau sedang hamil. Apa Luna kurang memperhatikan pola makannya. 

Padahal, setahuku selama mengandung istriku tidak mengalami morning sickness yang serius. Dan Luna bilang apa barusan.

Mau pergi?

Apa itu sebuah ancaman atau titik puncak kemarahan. Apapun alasannya, kupastikan itu tidak akan pernah terjadi, Sayang. Bagaimana bisa aku kehilanganmu.

"Pilihan ada di tanganmu, Mas," ujarnya serak. Lalu, tangannya bergerak seperti menghapus air mata asal. 

Tak pernah terbayang sebelumnya, istriku benar-benar berubah hampir 180 derajat. Aku tidak lagi mengenalnya. Mungkinkah ini karena mood-nya yang kurang baik setelah mengalami keguguran. Atau karena sewaktu peristiwa itu terjadi, aku tidak berada di sisinya?

Ya Tuhan, sungguh aku menyesal tidak menuruti permintaan Luna  jika dampaknya sampai seperti ini. Kehilangan calon bayi dan hati istriku secara bersamaan. Itu ujian yang tak mungkin mampu kulewati.

Luna mengancam ingin pergi. Kepalaku seperti mau pecah menerka-nerka isi hatinya. Tidak aku tidak boleh menyerah.  Kembali  kuberanikan diri  naik ke atas ranjang dan duduk di sampingnya yang masih betah menatap tembok. 

"Sayang, kita harus bicara! Maaf, Mas baru tahu apa yang terjadi. Kenapa kamu nggak cerita sama Mas kalau kamu keguguran? Dan kenapa waktu di telpon tadi, kamu bilang kalau kamu baik-baik saja. Harusnya kamu bilang habis terjatuh dari tangga, biar Mas langsung putar balik." 

Susah payah aku menjelaskan panjang lebar, Luna malah menunduk dan mengacuhkanku. Saat menyentuh bahunya, lagi-lagi dia menepis kasar tanganku. Apa aku harus sedikit tegas, aku tidak mau Luna pergi, aku tidak sanggup kehilangan Lunaku yang dulu. 

"Lihatlah ke arah Mas, Luna! Tidak sopan membelakangi suami saat sedang berbicara, apalagi jika kamu sampai mendiamkan Mas seperti ini, kamu ngerti agama 'kan? Mas sangat hancur melihatmu seperti ini, Sayang."

Semoga kali ini berhasil. Dulu kalau Luna sedang marah dan  mengabaikanku, istriku akan lemah kalau aku sudah ngomong tentang agama, khususnya hukum dalam berumah tangga. 

Satu detik.

Dua detik. 

Tiga ....

Luna mulai menatap ke arahku, sepasang netra bening itu tampak memerah dan membengkak. Mungkin, karena terlalu lama menangis. Hatiku semakin hancur saja, seperti puluhan kali ditikam dengan belati. 

Ingin sekali tangan ini bergerak mengusap pipi halus itu. Tapi, melihat bagaimana caranya menatap, nyali ini ciut. Keinginan ini terpaksa kutahan lagi, kenapa aku tidak mampu  membawanya dalam rengkuhan, lalu membisikkan maaf berkali-kali.  Ke mana jiwa pemberaniku sebagai laki-laki.

Dua matanya menatap jijik, seolah laki-laki yang kini duduk di sampingnya seperti sampah berlumpur dan berbau. Aku salah tingkah, sementara bibir tipis itu tersungging,  sinis. Sempat merasa senang karena sudi ditatap biar dengan ekspresi entah, kini aku  harus menelan ludah. 

"Membawa wanita lain yang bukan muhrim  tinggal di rumah dan mengabaikan istri, apa itu mengerti hukum agama? Kalau mengerti, apa hukumnya jika tidak menjalankannya?"

Glek. 

Tatapan dan ucapan Luna begitu tajam. Aku benar-benar tidak tahan berada si posisi seperti ini lebih lama. Ingatanku seketika menerawang pada maksud dari setiap perkataan Luna.

Apa ini masalah Tiara lagi?

 Ya sekarang aku mengerti, Luna bukan hanya marah gara-gara dirinya keguguran, tapi juga karena Tiara yang tinggal di sini. Bukankah waktu itu, istriku sudah setuju? Lalu kenapa harus mengungkitnya kembali. Sampai harus mengeluarkan pertanyaan yang memojokkanku.

Tentu saja aku mengerti, dan tidak akan mengkhianatinya. Selama Tiara tinggal di sini aku tidak pernah macam-macam. Dan aku tidak mungkin menolak permintaan Tiara, dia dan keluarganya yang membuatku seperti sekarang. 

Dulu jauh sebelum bertemu dengan Luna, aku hanyalah seorang pekerja serabutan. Bukan tidak ingin berusaha, tapi hanya modal ijazah  cumlaude ternyata tidak banyak membantuku kala itu.

Selama beberapa bulan, hampir setiap hari aku keluar masuk perusahaan, baik yang bersifat publik atau swasta. Semua aku coba datangi, dan berakhir keluar dengan rasa kecewa. Lalu, kembali mencoba di esok hari, lagi dan lagi.

Hingga waktu membawaku bertemu Tiara, sahabatku semasa di perguruan tinggi. Kami sama-sama berstatus sebagai mahasiswa di salah satu universitas ternama dengan jurusan yang sama. Hanya nasib yang beda, Tiara dan aku bagai langit dan bumi. 

Tiara yang memberiku pekerjaan di perusahaan milik papanya. Hingga aku menjelma seperti saat ini, tampan, berharta juga bertahta. Itu semua berkat Tiara. Aku berhutang budi, apa tega menolak permintaan Tiara yang bukan apa-apa sama sekali.

Harusnya Luna mengerti dan menerima Tiara dengan baik. Toh ini hanya sementara, bukannya malah sering marah-marah pada Tiara di belakangku. 

Bukan sekali dua kali Tiara mengadu tidak nyaman dan takut atas sikap Luna terhadapnya kalau aku sedang tidak ada. 

Saat aku menegur, Luna malah berkilah dan tidak mau mengakui  dan ujung-ujungnya kami bertengkar. Kenapa Luna harus se–egois ini? 

"Jadi, kamu masih marah soal itu? Ayo-lah, Sayang! Kamu tahukan Tiara sangat berjasa pada kita? Lagian Mas tidak macam-macam ...."

"Tidak. Aku tidak marah. Ini rumah Mas, Mas yang lebih berhak." 

Kini istriku kembali menunduk, setelah melontar jawaban yang begitu menusuk. Childish sekali. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu, dia istriku, tentu dia berhak atas apa yang aku miliki. Termasuk rumah ini.

"Sebenarnya, mau kamu apa sih, Dek? Tolong jangan buat Mas berada di posisi yang sulit!"

"Keluarlah! Itu yang aku mau. Tolong, bersikap seperti biasa. Tidak perlu pura-pura peduli, aku tidak butuh."

Ketus.

 Ke mana kelembutan dan sopan santun yang selama ini bersemanyam dalam diri Luna. Yang membuatku jatuh cinta dan merasa mantap menjadikannya sebagai istri. Ratu di rumah ini dan ... hatiku.

Tuhan, ini apalagi? Bahkan di saat aku benar-benar peduli dan khawatir terhadapnya, malah disangka hanya pura-pura? 

Padahal, aku tidak pernah merasa mengabaikannya selama ini.  Luna yang menjaga jarak dariku, memberi sekat, lalu sekarang dia menuduhku.

"Luna, sebenarnya kamu kenapa? Kamu marah sama Mas? Oke, Mas yang salah, Mas minta maaf ya. Tapi, jangan suruh Mas keluar, Mas mau di sini sama kamu. Di kamar kita," ujarku lembut sembari meraih kedua tangan Luna dan menggenggamnya. Kali ini istriku tidak melawan, walaupun masih tidak mau menatap ke arahku. Semoga Luna luluh dan memaafkanku. 

"Kalau begitu biar aku yang keluar." 

Luna menghentak-hentakkan tangan mungilnya hingga terlepas dari genggaman. Aku mencoba menahannya saat dia hendak beranjak dan mendudukkannya kembali. 

Tak ada yang berubah, hanya tatapan kosong juga datar. Matanya tampak berkaca-kaca. Sepertinya, emosi istriku sedang tidak baik. Baik, aku tidak punya pilihan selain mengalah kali ini.

"Baiklah. Mas akan keluar. Kamu harus istirahat ya! Jangan banyak pikiran! Biar cepat sembuh. Mas sedih melihat istri Mas seperti ini, begitu juga dengan anak kita." 

Aku berjalan gontai, meninggalkan Luna yang masih mematung. Semoga Lunaku cepat kembali. Setelah menutup pintu kamar, aku mulai beranjak ke kamar tamu. Terpaksa aku tidur di sana malam ini. 

"Tiara! Kamu kenapa?" 

Tiba di ruang tamu, aku memekik dan berlari ke arah Tiara yang terduduk di lantai  sambil memegang  kepalanya.

"Sorry Dipta! Aku tiba-tiba merasa pusing dan terjatuh," desis Tiara.

"Ya ampun Tiara. Yok aku bantu kamu jalan ke sofa. Lagian kenapa kamu masih berada di luar udah malam begini?" Aku memapah Tiara sampai ke sofa dan membantunya untuk berbaring.

"Makasih ya, Dipt." 

"Iya, lagian kamu ngapain masih di luar udah malam begini?"

"Oh itu ... tadi aku haus mau ambil minum."

Melihat Tiara yang tampak meringis sambil memijit kepalanya membuatku merasa kasihan. Apalagi Luna yang tadi pagi keguguran, pasti istriku kesakitan banget. Bodohnya, aku malah tidak berada di sampingnya. 

"Yaudah kamu di sini dulu ya. Biar aku yang ambil minum buat kamu." 

Tiara mengangguk pelan dengan mata terpejam. Saat aku berbalik hendak ke dapur aku hampir jantungan. 

"Luna?"

Istriku hanya tersenyum miring dan menatap sinis ke arahku dan Tiara yang terbaring di sofa. Saat hendak berjalan ke arahnya, Luna sudah kembali masuk ke kamar dengan langkah lebar dan cepat. 

Apa Luna melihat semuanya? Istriku tampak sangat marah. Jangan-jangan Luna salah paham lagi. 

Bersambung ...

Hai, tengkyu yang sudah berkenan mampir ❤️

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sulas Lis
ya marah dasar entut birut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status