"Sayang, itu obat apa? Kok banyak banget? Sejak kapan kamu minum obat sembarangan? Kan kamu lagi hamil? Kamu sakit?"
Luna tampak terkejut saat melihat ke arahku yang berdiri di depan pintu kamar kami dan memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
Saat aku berjalan ke arahnya, istriku tampak buru-buru menelan obat-obatan yang tadi berada di tangannya.
"Sayang? Kamu kenapa? Itu yang barusan kamu minum obat apa?"
Bukannya menjawab, istriku malah memalingkan wajah membelakangiku. Tapi, aku masih bisa melihat kedua tangannya tampak menyapu kedua pipi dengan cepat.
Seketika aku meraih lengan Luna dan memutar tubuhnya untuk kembali menghadap ke arahku.
Hatiku mencolos.
Saat pandangan kami bertemu untuk beberapa saat, sebelum Luna menunduk. Sepasang netra itu tampak berkaca-kaca, bukankah itu sangat masuk akal jika aku terlalu khawatir, kalau ... kalau seandainya istriku sakit atau kenapa-napa.
"Sayang. Kamu kenapa? Kenapa menangis, apa ada yang sakit? Ceritakan sama Mas!"
Kembali kucoba sentuh lengan putih nan halus itu, namun, ditepis kasar. Aneh, tidak biasanya istriku seperti ini.
"Aku lelah mau tidur."
Ucapan itu bukan hanya terdengar datar tapi juga serak. Perpaduan antara amarah yang mungkin tengah ditahan mati-matian dengan sisi perempuanya yang lembut.
Namun, mulai tampak membeku akhir-akhir ini.
"Tapi, Sayang ...."
Belum sempat kutuntaskan pembicaraan, Luna sudah beranjak ke tempat tidur meninggalkanku dalam keadaan mematung dengan setumpuk rasa khawatir.
Terlalu mustahil jika aku tidak panik, wanita yang sudah kumiliki sejak enam bulan yang lalu itu tengah mengandung dengan usia baru delapan minggu.
Sementara, baru saja kusaksikan, calon mama itu meminum obat-obatan dalam jumlah yang tidak sedikit, padahal di dalam sana ada kehidupan yang kelak dapat mengubah status kami menjadi lebih berarti.
"Selamat Pak Dipta, Bu Luna. Bapak dan ibu akan segera menjadi orangtua. Bu Luna sedang mengandung. Alhamdulillah kondisi janinnya sehat. Ibu hanya perlu istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi, minum susu dan vitamin sesuai resep yang saya kasih."
Kalimat yang disampaikan dokter Anggita, spesialis kandungan setelah memeriksa istriku seminggu yang lalu. Kalimat yang membuatku ingin melompat-lompat kegirangan kalau saja hanya Luna yang menyaksikannya.
Kalimat itu pula–lah yang membuatku panik bukan main saat ini. Sebab tidak kutemukan dari saran-saran dokter Anggita yang membenarkan apa yang baru saja Luna lakukan.
Janin Luna sehat, istirahat yang cukup, makanan bergizi, susu juga vitamin. Itu saja. Lalu, obat-obatan yang baru saja lolos dalam kerongkongan istriku untuk apa?
Luna dan buah hatiku kenapa?
Rasa takut kian menjalar, tapi, untuk mengusik tubuh di balik selimut itu, bukan waktu yang tepat sekarang. Aku hanya mampu mematung tak berguna dengan sekelabat pertanyaan.
Kenapa Lunaku mendadak semakin aneh, hari ini? Tak ada salam temu, seperti cium tangan pipi, atau lebih dari itu yang biasa kami lakukan sejak kepulanganku sedari tadi.
Luna memang sudah lama tak lagi banyak bicara, tapi setidaknya sepatah dua patah kata selalu ada dalam sehari meskipun hanya yang penting-penting saja. Tapi, hari ini Luna membisu tanpa bersuara.
Rasa khawatir tentu ada, saat menatap tubuh mungilnya yang sudah tertutup selimut dengan sempurna dari ujung kaki hingga kepala. Tapi, sisi egoisku sebagai laki-laki, entah kenapa membuatku sedikit kesal dengan sikapnya yang estetik.
Memejam sebelum suaminya selesai berbicara, membuatku menarik kesimpulan, yakni merasa kurang dihargai.
Memangnya, kesalahan apa yang sudah aku perbuat hari ini?
Istriku memang sedikit berubah akhir-akhir ini, tapi perubahannya hari ini terasa sangat nyata untuk kuabaikan.
Dan tentu saja, hal itu meninggalkan banyak kata tanya di kepalaku. Apa istriku benar-benar lelah seperti yang baru saja bibir mungilnya ucapkan?
Tapi, kenapa? Apa yang menjadi penyebab dirinya lelah, hari ini? Bukankah untuk pekerjaan rumah, ada Mbok Asih yang mengerjakan.
Lalu ....
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Luna? Pikiranku benar-benar dibuat kacau dengan tingkahnya. Haruskah aku menemui Mbok Asih sekarang?
Benar. Tidak ada salahnya demi sebuah jawaban yang tak kudapatkan dari Luna.
Aku menghela nafas menatap pada tubuh yang mulai banyak teka-teki. Lama dan dalam, meski hanya selimut tebal yang tak memberi celah sedikitpun untukku menatap pemilik separuh ruang dalam rongga dada.
"Good Night, Sayang."
Setelah memastikan jika tubuh yang terbungkus selimut itu memang sudah terlelap, aku mematikan lampu kamar dan keluar menemui Mbok Asih.
Biasanya, jam segini siMbok masih di dapur untuk mencuci piring bekas makan malam dan membereskan dapur. Mengingat waktu baru pukul sembilan malam lebih.
Tiba di sana, aku melihat Mbok Asih seperti baru saja selesai dengan pekerjaannya. Kemudian, menoleh dan sedikit menunduk saat menyadari kehadiranku. Mungkin dari derap langkah sepatu atau bayangan tubuh pada lemari gantung berbahan kaca.
Sedikit tersenyum, aku mendaratkan tubuh di kursi mini bar. Sementara Mbok Asih masih pada posisinya di seberang.
"Mbok, bisa kita bicara sebentar?" ujarku setelah melirik ke belakang, memastikan Luna tidak ke sini dan mendengar pembicaraan kami.
"Iya, Pak."
"Tadi, istriku ngapain aja di rumah, Mbok?"
"Seharian tadi, Bu Luna nggak ngapa-ngapain, Pak."
"Eum. Terus kenapa tadi Luna bilang lelah dan saya melihatnya minum banyak obat," gumanku tanpa sadar pada diri sendiri sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk.
Sembari mencari opsi jawaban, tanpa sengaja aku melirik pada perempuan paruh baya yang sudah membantu kami dari pertama tinggal di rumah ini yang tampak meremas kedua tangannya.
Aneh.
Mbok Asih tampak salah tingkah saat menyadari kalau aku masih terus menatap ke arahnya. Aku yakin jika Mbok Asih mendengar apa yang barusan kukatakan. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini.
"Apa Mbok tahu sesuatu?" cercaku to the point.
Sekarang, raut wajahnya terlihat panik, seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Semakin aneh bukan. Tingkahnya sangat mengundang kecurigaan.
"Anu Pak, saya tidak ...."
"Mbok, tolong jujur sama saya! Ini menyangkut kondisi istri saya dan kandungannya. Apa Mbok nggak lihat saya sedang sangat khawatir sekarang," tegasku padanya.
"I–ya, Pak. Maaf, bukan maksud saya tidak jujur sama bapak. Tapi, ini permintaan Bu Luna yang menyuruh saya merahasiakannya dari bapak," ujar Mbok Asih terbata. Dan itu berhasil membuat tubuhku menegang.
Apa? Rahasia? Luna bahkan sudah berani merahasiakan sesuatu dariku. Sejak kapan istriku main rahasia-rahasiaan. Mendadak aku tidak suka dengan kelakukan Luna kali ini.
"Rahasia apa?" Aku berusaha bersikap normal, menyembunyikan kekecewaanku pada Luna di depan Mbok Asih. Aku benar-benar dibuat bingung dengan ulah istriku dan wanita paruh baya yang kini tengah berdiri ketakutan di depanku.
"Se–benarnya Bu Luna, Bu Luna ... keguguran."
"Keguguran?!" pekikku kencang. Hampir saja aku melompat dari kursi.
" Mbok nggak bohongkan?" Dalam keadaan masih shock dan tidak percaya atas apa yang baru saja Mbok Asih katakan, aku kembali memberondongnya dengan pertanyaan.
" Kenapa Luna bisa keguguran? Kapan? Dan kenapa tidak ada yang memberitahu saya?"
"Tadi pagi, Bu Luna terjatuh dari tangga dan mengalami pendarahan. Dan saat Bu Luna menghubungi bapak, kata Bu Luna bapak tidak bisa putar balik karena harus mengantar Mbak Tiara. Saat itu, saya khawatir melihat Bu Luna tampak sangat kesakitan, makanya saya langsung membawa Bu Luna ke klinik terdekat dengan taksi. Tapi, kami terlambat dan janin Bu Luna tidak dapat tertolong."
Nyes.
Mendengar penjelasan Mbok Asih membuat dadaku sesak. Tulangku seolah terpisah dari daging. Inikah alasan Luna meninggalkanku tadi. Inikah alasan istriku semakin beku hari ini.
Aku baru ingat sekarang tanpa perlu menyusun kepingan memori satu persatu, tadi pagi ketika sudah setengah jalan mengantar Tiara ke tempat meeting yang lumayan jauh dari rumah. Luna sempat menghubungi.
"Mas, tolong pulang sekarang! Perutku sakit," lirihnya yang terdengar seperti kesakitan di seberang.
"Tapi, Sayang, Mas sama Tiara udah setengah jalan menuju tempat meeting. Kalau Mas putar balik nanti Tiara bisa terlambat sampai di sana."
"Oh. Iya Mas nggak papa. Nggak usah pulang, aku baik-baik aja."
Tanpa menunggu aku berbicara, Luna sudah memutuskan panggilan. Aku yang mengira itu hanya akal-akalan Luna karena tidak suka aku pergi dengan Tiara, kembali melanjutkan perjalanan. Aku bahkan sempat mengeluh pada Tiara dengan tingkah kekanakan istriku.
Bagaimana tidak, selama Tiara di rumahku, kami selalu pergi bersama untuk bekerja. Karena memang kami satu kantor, dan Luna selalu mengeluh cemburu. Tidak masuk akal sama sekali. Aku hanya mencari nafkah, tidak berniat untuk main belakang atau sampai menduakannya.
Tiara adalah sahabatku semasa kuliah yang sudah sebulan lebih menginap di rumah kami. Katanya, dia tidak betah tinggal di rumah yang hanya ada pembantu, karena orangtuanya yang juga bosku di kantor sedang berada di luar negeri.
Maklum, Tiara adalah anak tunggal, dan Pak Handoko, papanya, menitip Tiara padaku selama beliau dan istrinya tidak ada. Jadi, alasanku welcome sama Tiara yang ingin tinggal bersama kami, ya karena selain hubungan persahabatan juga sebagai bentuk tanggungjawab dan balas budiku pada orangtuanya.
Saat pertama aku memberitahu Luna bahwa Tiara akan tinggal sementara di rumah kami agak ruwet memang, istriku itu tampak tidak setuju. Luna sempat ngambek sampai mendiamkanku seharian.
Saat itu aku mengerti perasaan dan ketakutan Luna yang mengira jika aku mungkin saja ada hubungan dengan Tiara.
Tapi, setelah kuberi pengertian siapa Tiara dan bagaimana hubungan kami. Luna tidak lagi protes, dan sepertinya mulai memberi izin sahabatku untuk tinggal dengan kami sementara waktu. Semuanya baik-baik saja, tapi Luna mulai tidak lagi banyak bicara. Meski, tidak separah hari ini.
Hari ini Luna tidak menyambut kepulanganku dan hanya membisu hingga saat aku menemukannya yang hendak menelan beberapa butir obat, beberapa waktu lalu.
Sekarang aku tahu, penyebab istriku bertingkah aneh.
Perasaanku begitu perih ketika mengingat setiap perkataan Luna melalui sambungan telpon tadi pagi. Istriku keguguran dan menahan sakitnya sendirian, sementara aku tidak kembali saat dia meminta.
Aku telah lalai menjaga istriku, padahal kondisinya sedang mengandung buah hati kami. Dan sekarang aku kehilangan anakku karena kelalaianku sendiri. Aku merasa sangat berdosa.
Bagaimana caraku menghadapi Luna?
*****
Setelah berbicara dengan Mbok Asih, aku memutuskan kembali ke kamar dengan sekelabat rasa bersalah yang terus menghantui.
Kembali menatap nanar ke arah tempat tidur, di mana tubuh yang tersembunyi di balik selimut itu seperti tengah terguncang.
Kamu hanya pura-pura tidur untuk menghindariku 'kan, Sayang.
Maafin Mas, Luna! Maaf!
Perlahan tubuh ini mendekat dan naik ke atas ranjang. Aku tidak bisa menahannya untuk membawa istriku dalam rengkuhan, merasakan setiap rasa sakitnya karena kehilangan calon anak kami. Aku yakin, saat ini Luna butuh rangkulan hangat dan perhatianku.
"Pergi!"
Aku terperanjat ketika Luna mendorong tubuhku dengan kasar. Hampir saja aku mendarat di lantai andai tidak sempat menyeimbangkan diri.
Bersambung ...
"Sayang, maafin Mas! Ini semua salah Mas. Gara-gara Mas ....""Pergi ...!" Lagi Luna berteriak memotong perkataanku. Suaranya bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Sepertinya, istriku benar-benar marah atas kejadian ini. Sungguh, aku tersiksa menyaksikannya sesakit ini. Tapi, caranya tidak begini bukan.Aku memang salah karena tidak langsung hadir ketika Luna membutuhkan. Tapi, apa patut dia memperlalukanku seperti ini. Bukan hanya Luna yang sedih, aku juga sangat merasa kehilangan atas kepergian calon anak kami. Mengertilah Luna, aku juga sakit bahkan lebih sakit ketika kamu berubah dingin. Kemana Lunaku yang dulu. Yang selalu bersikap manja, banyak cerita saat aku pulang kerja. Tutur kata dan tatapan begitu menggoda. Lembut dan selalu menghormatiku sebagai suami. "Luna, please. Mas nggak mau kamu seperti ini, Sayang. Mas mengaku salah, Lun. Tapi, Mas benar-benar nggak bermaksud mengabaikan permintaan kamu ....""Keluar atau aku yang pergi?" Suaranya mulai melemah kembali, tapi
"Dipta ...." Di saat aku hendak menyusul Luna ke kamarnya, Tiara kembali memanggilku dengan suara yang sangat lemah. Sepertinya Tiara benar-benar sangat kesakitan, tapi, bagaimana dengan Luna. Istriku juga sedang sakit."Dipt,""Eh, iya Tiara? Sorry, tadi aku ....""Aku udah panggil kamu sampai beberapa kali loh, tapi kamunya asik mematung sambil melihat ke arah situ. Emangnya ada apa sih, di situ? Kamu habis ngelamunin apa?" Aku berbalik menghampiri Tiara, dia terlihat sedikit kesal dan memberondongku dengan banyak pertanyaan. Suaranya juga sudah sedikit meninggi daripada yang tadi terdengar lirih dan lemah, padahal dia sedang sakit. Aneh."Maaf. Jadi, sekarang gimana? Oh ya, bentar aku ambil minum dulu." "Udah, nggak usah, Dipt. Tolong bantu aku ke kamar saja, kepalaku masih pusing soalnya." Tiara kembali memijit kepalanya dan berbicara dengan nada lirih.Mengantar Tiara ke kamar? Jujur aku takut, takut kalau Luna salah paham lagi. Tapi, membiarkan dia ke kamar sendirian juga ngg
Sarapan pagi ini kunikmati dalam hening, sementara Tiara sibuk berceloteh dengan banyak cerita yang hanya kutanggapi sesekali saja.Sembari menanti Luna selesai di dapur dan bergabung untuk sarapan dengan kami. Satu suap.Dua suap.Hingga di suapan ke tiga, istriku belum muncul juga. Ah, sejak kapan Luna menjadi sangat sibuk pagi-pagi begini, hingga tidak sempat sarapan. Ketika ingatan tentang obat-obatan di tangan Luna semalam, aku baru sadar, bahwa Luna harus makan dan minum obat. Biarpun dia masih marah, setidaknya jangan mengabaikan kesehatannya. Apa kata keluarganya nanti, jika Luna sampai kenapa-kenapa saat bersamaku. Sementara, sejak berjabat tangan dengan papa Luna saat ijab kabul dulu, segala tanggung jawab tentang Luna telah berpindah ke tanganku. Ya, aku menikahi Luna setelah dua tahun lebih bekerja di perusahaan manufaktur milik keluarga Tiara. Tepatnya sekitar enam bulan yang lalu. Memiliki jabatan sebagai manager bagian pemasaran dengan gaji yang bisa dibilang lebih d
"Iya, sekalian belajar ... menggantikan posisiku."Deg.Tubuhku menegang, setelah mendengar ucapan istriku. Luna berucap sangat pelan, tapi masih bisa tertangkap oleh telingaku yang memang duduk di sampingnya. Maksudnya apa berkata absurd seperti itu? Apa Luna ingin meninggalkanku?Bukankah kami baru saja berbaikan. Sekarang istriku kenapa lagi?Wajah Tiara juga berubah tidak jauh berbeda sepertiku. Sedangkan Luna hanya tersenyum dan lanjut menikmati makanannya, tanpa terganggu sama sekali. Sementara aku tak berani bersuara karena takut akan berakhir dengan pertengkaran, apalagi di depan Tiara yang notabenenya orang lain. Kenapa istriku jadi penuh misteri. Aku sangat merindukan Luna yang dulu."Kok pada tegang?" Luna menatapku dan Tiara secara bergantian. "Aku cuma bergurau, jangan dimasukkan hati, hehe," sambungnya lagi dengan kekehan kecil.Tiara tersenyum hambar, sediki dipaksakan. Mungkin tersinggung dengan candaan Luna. Tapi, aku merasa sedikit lega, setidaknya ... istriku han
Melihat cara mereka berinteraksi, sepertinya mereka sudah lama saling mengenal. Apa yang sedang mereka bicarakan, Luna bahkan sudah lama tidak menunjukkan wajah bahagia seperti itu saat bersamaku.Melainkan tatapan kosong, dan senyum terpaksa yang selalu ditunjukkan.Kira-kira siapa pria itu? Apa saudara jauh Luna. Jika memang iya, Luna pasti akan memberitahuku jika ada tamu. Aku bahkan belum pernah melihat pria itu sebelumnya. Sekilas, wajahnya tampak sangat mirip Hamid Fadaei, seorang model Iran. Sangat tampan. Ah, aku tidak rela mengakuinya. Namun, karena dilanda rasa penasaran yang sangat besar, aku memilih berada di dalam mobil untuk melihat apa yang mereka lakukan.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas mereka yang sedang berdiri di teras, sepertinya pria itu hendak pulang tapi, kenapa masih asik berbicara dengan istriku.Luna bahkan melihat ke sini, ke arah mobilku, berarti dia sudah tahu kalau aku sudah pulang, tapi mereka masih juga belum menyudahi. Mungkin, pria itu mem
Untuk membuatmu sadar atas suatu kesalahan, kenapa harus menunggu sampai waktu menempatkanmu pada posisi yang sama?*****Selama meeting berlangsung, aku berusaha keras untuk bisa melewatinya dengan baik. Meskipun perkataan Luna sewaktu di rumah terus mengusik pikiranku. "Suka? Tentu saja tidak, Mas ... tentu saja aku tidak suka karena baru mengetahuinya sekarang. Mungkin jika aku tahu Emir menyukaiku dari dulu, aku sudah bahagia bersamanya. Bukan malah terjebak dalam pernikahan menyakitkan ini. Apa kamu tahu Mas, menjadi istrimu adalah hal yang kusesali ...."Aku tidak bisa menahan diri mendengar Luna mengatakan menyesal menikah denganku selama ini, dan akan lebih memilih pria asing itu seandainya istriku masih punya kesempatan. Tentu saja aku sangat murka mendengar wanita yang begitu kucintai membahas laki-laki lain di depanku. Bahkan membelanya.Kemurkaan itulah yang akhirnya menjadi bumerang untuk diriku sendiri, aku telah menyakiti Luna dengan tanganku yang berakhir di pipinya.
Ada rasa panas yang kembali menjalar, mengingat bagaimana laki-laki itu memperlakukan Luna. Aku tidak mau istriku ditatap oleh laki-laki lain, apalagi dengan cara seperti itu. Luna hanya milikku. Aku akan cemburu, kalau Luna masih berteman dengan lawan jenis di saat kami sudah menikah. Rasa takut mulai menjalar menusuk ke dalam kalbu, bagaimana kalau dugaanku benar, bahwa laki-laki bernama Emir itu memiliki rasa terhadap istriku. "Nggak gue nggak bisa. Gue nggak terima kalau Luna punya teman laki-laki apalagi sampai tinggal di rumah kami." "Nah. Sekarang lo ngerti 'kan gimana perasaan Luna melihat lo dengan Tiara? Tinggal serumah, pulang pergi bareng. Lo sekarang ngerti 'kan istri lo tersiksa. Bahkan di saat dia keguguran lo lebih mentingin orang lain ketimbang dia. Sakit banget, Bro. Gue aja sampe merinding bayanginnya, jangan sampai gue seperti itu sama bini gue." Deg. Aku terbungkam. Lumayan lama mencerna setiap perkataan Riko, lalu menghubungkannya dengan apa yang aku rasak
Benar apa yang Riko bilang, aku telah salah mengartikan bentuk rasa terimakasih pada Tiara sehingga memasukkannya dalam kehidupan pribadiku dan mengabaikan Luna.Selama ini istriku malah terang-terangan menunjukkan apa yang dirasakan, tapi aku selalu berkilah dengan dalih persahabatan dan balas budi. Selama ini aku selalu memaksanya untuk mengerti posisiku. Sedangkan, posisi dan perasaannya selalu kunomorduakan. "Jadi, ini yang membuat kamu berubah? Kamu kenapa sih, Sayang seperti nggak suka sama Tiara? Tiara hanya tinggal sebentar di rumah kita, apa salahnya.Dia dan keluarganya sangat berjasa pada kita, harusnya kamu sadar itu dan berterimakasih pada Tiara. Bukan malah bersikap kekanakan seperti ini dan menuduhku yang bukan-bukan. Semalam itu nggak seperti yang kamu lihat, Luna. Aku hanya membantu Tiara ke kamarnya setelah terjatuh karena kepalanya sakit," Aku teringat perkataanku pada Luna, yang baru kusadari terdengar sangat egois dan menyakitkan. Oh Tuhan.Sekarang pertahanan