Ryan tiba, yang di iringi langkah Sintya ikut masuk ke ruang rapat dengan napas terengah-engah. Mereka yang baru saja ikut bergabung dalam ruangan ini, menatap tajam ke arahku. Terutama suamiku Ryan yang mengepalkan kedua tangannya, karena melihat aku duduk di tempat yang biasa ia tempati, kursi kebesaran yang menjadikannya orang nomor satu di perusahaan serta memegang tampuk kekuasaan.
"Dengan ini saya Alexa Wardana pemilik tunggal perusahaan menyatakan mengambil alih kembali perusahaan warisan orang tua saya Tio Wardana dari Ryan Aldera yang selama ini menjadi pengganti sementara. Semoga untuk kedepannya perusahaan ini akan lebih maju dengan karyawan yang setia dan memiliki loyalitas tinggi," tuturku dengan lantang diiringi tepuk tangan dari semua yang ada di ruangan.Tapi tak begitu dengan suamiku, jangankan bertepuk tangan, senyum dari bibirnya pun seakan musnah. Mas Ryan menatapku tajam seakan ingin menelanku hidup-hidup saat itu juga, sementara Sintya terlihat kacau karena ia pasti takut dipecat dan kembali ke kehidupan penuh kekurangan yang sudah terlihat di depan mata.Ryan tidak menungguku sampai menyelesaikan semua ucapanku. Dengan tangan yang masih mengepal ia meninggalkan ruang rapat menuju ruangannya yang sedang di lakukan perombakan dan perubahan tata letak.Aku sedikit bernapas lega, detik-detik menegangkan sudah ku lalui sesaat lalu. Awalnya aku sedikit pesimis kembali merebut kuasa ku dari tangan suamiku. Merasa takut kalau nanti nya tak ada yang mendukung keberadaan ku di perusahaan ini. Karena aku yang sudah cukup lama vakum dalam pengurusan perusahaan peninggalan papaku ini.Tetapi, Om Wijaya selalu setia mendampingiku sampai di titik ini. Laki-laki bertubuh tambun dengan sedikit bulu yang tumbuh di rahangnya itu selalu memberiku arahan dan membuatku tampak percaya diri di depan para pemegang saham. Tak ku pungkiri, nama almarhum Papa sebagai salah satu penunjang berdirinya aku sebagai tampuk paling atas di perusahaan ini.Tak lagi ku hiraukan dua manusia yang pastinya sangat tidak mendukung keputusan yang ku buat. Buktinya, mereka meninggalkan pertemuan ini tanpa duduk terlebih dahulu. Hanya tatapan tajam dengan kilatan amarah terpancar jelas di sorot mata suami dan pelakor itu.Setelah pertemuan usai dan para petinggi dan karyawan lainnya melanjutkan aktivitas mereka, tinggallah aku dengan Om Wijaya di ruangan itu."Apa aku kelewatan, Om?" tanyaku menghempaskan bokongku di kursi dan menyilangkan kaki."Menurut mu?" Tanyanya balik.Aku menarik napas panjang dan menghirup serakus-rakusnya mengisi rongga paru-paru yang sedikit merasa sesak."Tidak, Om. Aku hanya ingin mempertahankan apa yang telah di perjuangkan Papa," jawabku dengan tatapan menerawang."Nah! Kamu sendiri sudah tahu jawabnya. Kenapa masih bertanya?" Jawab Om Wijaya dengan wajah datarnya."Lagipula, laki-laki itu pantas untuk kau hempaskan. Pantas Papamu meminta Om terus mengawasinya," lanjut Om Wijaya lagi."Maksud, Om?""Papa mu sebenarnya menyimpan rasa ragu saat kau meminta Ryan menjadi pasangan hidupmu, meski Ryan suamimu itu memiliki kinerja yang cukup bagus untuk perusahaan. Tapi lelaki tua itu, begitu bahagia saat melihatmu selalu tersenyum bahagia disamping pria pilihanmu itu. Sehingga dia merelakan menutup rapat rasa kurang simpatiknya pada Ryan," Ungkapnya dengan wajah sendu.Aku menyimak setiap kata yang diutarakannya. Ku lihat jelas, ada kerinduan disana. Tapi pria paruh baya di hadapanku ini, begitu hebat menyembunyikan perasaannya.Sungguh, persahabatan yang mereka bina tak lekang oleh waktu. Aku cemburu, aku iri pada mereka. Sementara sahabatku malah menjadi perusak rumah tanggaku, menghancurkan kebahagiaanku. Tapi itu tidak salahnya sendiri, suamiku ikut andil di dalamnya. Seandainya saja Ryan lebih setia dan menjaga mata dan hati, mungkin ini semua tidak akan terjadi.Ku melihat ke arah Om Wijaya, meraih tangannya yang ikut menua karena usia."Terima kasih, Om. Terima kasih karena kau selalu menjagaku dan perusahaan Papa. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi padaku dan perusahaan ini, bila Om nggak ada." Ucapku dengan mata berkaca-kaca."Kau adalah amanah dari Tio. Seandainya kau bisa menjadi...,DrrrrtDrrrrtUcapannya terputus karena ponsel pintarnya yang berdering. Ku lepas tangannya dan membiarkan Om Wijaya menerima panggilan telepon.Tak sampai lima menit. Ponsel pintar yang tadi menempel di telinganya sudah berpindah ke saku celana."Om ada urusan mendadak, jaga dirimu. Buktikan pada Om dan Papamu, kalau kau bisa di andalkan, sayang," imbuhnya membelai kepalaku berpamitan.Hingga lelaki paruh baya itu menghilang di balik pintu kaca, sementara ucapan Om Wijaya yang menggantung masih menjadi tanda tanya buatku.Dengan langkah percaya diri aku menelusuri lorong yang kiri kanannya merupakan kubikel para karyawan dengan divisi yang berbeda- beda. Para karyawan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, satu dua orang ada yang melihat kearah ku dengan tersenyum.Ku buka pintu kaca ruang yang nantinya akan ku tempati untuk memimpin perusahaan.Ternyata benar dugaanku, di sana laki-laki dan perempuan pengkhianatan itu sedang terlihat berdiskusi atau sedang merapatapi nasib.Mereka sama-sama membalikkan tubuh, menyadari aku yang baru hadir disini.Menatap kearahku, saat aku sudah berdiri di dalam ruangan yang sama."Kenapa kalian masih disini? Bukannya harusnya kalian mengemasi barang kalian dan angkat kaki dari perusahaan ku!" Ucapku pongah.Ryan menepis tangan Sintya dari bahunya, mendekat kearah ku yang berdiri dengan elegant."Sayang, dengarkan Mas dulu. Ini semua nggak seperti yang terlihat sayang. Dia yang menggoda Mas. Ya, namanya laki-laki nggak mungkin dong menolak yang gratisan," ucap Ryan dengan tak tahu malu, mendekat ke arahku.Sintya nggak terima dirinya di rendahkan pun ikut membalas ucapan Ryan."Mas! Nggak gitu juga konsepnya. Enak aja kamu bilang aku yang menggodamu, Mas! Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau kamu nggak selera melihat Alexa yang sudah kaya' karung beras," cerocos Syntia dengan dada naik turun, kesal akan tuduhan Ryan padanya.Syntia seakan lupa kalau dirinya seharusnya drama sedikit untuk melancarkan aksi Ryan untuk meluluhkan hatiku. Aku jadi tertawa sendiri dalam hati, menikmati drama berantakan yang mereka buat sendiri.Bahkan wanita bin*l itu berbicara seolah aku tak ada di hadapannya kini. Aku hanya tersenyum melihat pertengkaran mereka. Yang berujung Sintya meninggalkanku dan Ryan di ruang kerja yang masih dalam tahap pembenahan."Aku khilaf sayang, aku mohon beri aku kesempatan kedua. Ingat ada Anggia yang masih butuh kasih sayang kita." Rengek Ryan mencoba meraih jari jemari tanganku.Kalian pikir aku akan senang dan membiarkan ia menyentuhku. Tentu aku nggak sudi lagi disentuh pria yang masih manjadi suamiku itu. Merasa jijik dan mual berada di dekatnya.Sakit dan rasa kecewaku sangat besar hingga mengalahkan kewarasan otakku. Merasa di rendahkan dan di abaikan membuat ku murka dan mati rasa berkali-kali pada suami bangs*t ku ini.Buatku, perselingkuhan bukanlah sesuatu yang bisa di tolerir. Sekali pernah melakukannya, maka tidak menunjuk kemungkinan kalau suatu saat akan mengulanginya kembali."Mari kita bercerai, Mas!" ajakku yang kini melihat kedua netranya yang membulat sempurna, melihat kearah ku dengan tatapan tidak berkedip.Ryan berputar tak percaya, masih merasa semua bagai mimpi buruk yang hadir dalam tidurnya."Kamu bercandakan, sayang! Mas cinta sama kamu.""Cinta! Cinta seperti apa? Dan satu hal lagi, jangan jadikan Anggia sebagai alasan kita untuk terus bersama. Karena selama ini pun kau tidak pernah ada waktu untuk bersamanya." Cerca ku yang muak mendengar alasan yang menjadikan Anggia sebagai tumbal keegoisannya."Ok, terserah! Kamu terlalu sombong dengan kekayaanmu, kalau bukan karena aku! Belum tentu perusahaan ini akan berkembang. Kamu nggak ngerti apa-apa Alexa," geramnya mulai memperlihatkan sifat aslinya."Oh, Ok. Wajar dong aku sombong. Semua milik ayahku tentu dan sudah sudah pasti sekarang menjadi milikku. Kamu nggak lupakan, suamiku sayang! Ya, untuk kerja kerasmu selama ini takkan ku pungkiri, ada keringatmu disana. Tapi ku harap kau juga tak lupa, berapa banyak uang perusahaan yang kau mainkan untuk jalan bersama gundikmu itu! Dan satu lagi, ku harap kau juga tak lupa, kalau dulu kau pernah mengajariku dan aku pernah duduk di kursi itu?" Ucapku sedikit pongah dan panjang lebar, sedikit menunjukkan taring di hadapan suami
POV Author Flashback on.Ryan yang nggak menyangka dengan apa yang di lakukan sang istri, merasa kesal dan harga dirinya di injak-injak. Tangannya mengepal kuat saat melihat wanita yang masih menjadi istrinya itu kembali mengalihkan kuasa perusahaan ke tangannya.Sakitnya lagi, semua staf dan petinggi tak satupun berpihak padanya. Sintya yang masih setia berdiri disamping Ryan pun ikut merasa gusar melihat pemandangan di hadapannya kini. Sahabat yang ia rebut suaminya itu, kini malah berdiri dan mengucapkan kata yang membuat dirinya syok. "Bagaimana mungkin Alexa yang memimpin perusahaan ini? Bagaimana dengan posisiku? Mas Ryan aja lengser, apalagi aku?" lirih Sintya.Tatapan mata yang tadi tertuju ke arah Alexa, kini beralih ke Ryan yang masih berdiri terpaku disampingnya. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut laki-laki itu.Hanya terlihat rahang yang mengeras dan kepalan tangan yang kuat hingga buku-buku di tangannya terlihat jelas. Sintya tahu kalau laki-laki disebelahnya i
Siang berganti malam, rembulan bersinar terang di atas langit yang kelam. Semilir angin malam menambah sejuk udara. Ini untuk pertama kali aku kembali menjadi Alexa sang pewaris, setelah sekian lama aku vakum dan menjadi babu di rumah ku sendiri. Demi melayani suami yang tak tahu berterima kasih.Meminta Om Wijaya mencarikan dua Asisten Rumah Tangga untuk melakukan semua tugas yang aku handle sendiri selama ini."Bu, makan malam sudah tersedia." Siti mengingatkanku yang masih mematut diri di depan cermin.Dengan pakaian malam yang modis aku kenakan, meski hanya di rumah saja. Dandanan yang natural membuat aku semakin percaya diri. Sengaja aku lakukan ini agar Ryan menyadari kebodohannya yang lebih memilih kerikil di banding berlian yang tersimpan apik. Bukan ku memuji diri sendiri, tapi ku rasa itu kiasan yang tepat. Benar nggak?"Iya, terima kasih. Sebentar lagi saya turun," jawabku.Sudah memasuki jam makan malam tetapi suamiku belum juga memperlihatkan batang hidungnya di rumah.E
Ponsel di saku celananya berdering dan minta diangkat. Ku lihat dengan jelas, Ia merogoh menggunakan tangan yang satunya, melihat layarnya saja dan meletakkan benda pipih itu di atas meja. Suamiku hanya melirik layar ponselnya yang masih terus berdering. Tentu hatiku sedikit menaruh rasa penasaran dong! Siapa yang menghubunginya di luar jam kerja?Netraku menyipit menelisik ke kedua manik matanya. Dan aku tau dia yang mendapat tatapan dariku, terlihat menelan ludah dari gerakan jakunnya yang naik turun."Nggak penting sayang, yang terpenting saat ini kamu mau memaafkanku dan mengizinkanku memulai dengan lembaran baru bersamamu," ucapnya padaku menerangkan, padahal aku tak bertanya penting atau nggak nya si penelepon.Sungguh, kelakuannya membuat relung hatiku menjerit, ingin meninju mulutnya yang berbicara tanpa berpikir bagaimana sakitnya hatiku ia khianati dan kini malah sok-sok'an menggombal dengan memanggilku sayang. "Aku nggak bisa, Mas. Kesalahanmu sudah sangat tidak bisa ku tol
POV Ryan.Aku hanya bisa melihat punggung Alexa yang mulai menjauh menuju peraduannya, kamar yang dua bulan ini tak pernah ku jamah begitupun dengan tubuh istriku itu. Teganya ia meninggalkanku duduk sendiri disini. Kali ini aku gagal meyakinkannya untuk memberiku maaf dan kesempatan kedua. Apa yang ku sampaikan padanya ternyata tak berhasil membuat pendirian wanita itu berubah. Keras kepalanya yang dominan kini ketara sekali. "Apa susahnya sih memberi maaf dan kesempatan, toh nggak ada ruginya. Dasar perempuan dimana-mana egois!" rutukku dengan menggusar wajah.Di tengah pikiranku yang masih kalut dan pusing memikirkan reaksi Alexa barusan. Kini ponsel pintar ku kembali menjerit minta diangkat. Ingin rasanya membiarkan ponselku itu terus berbunyi, mengabaikannya. Tapi setelah sambungan putus, lagi-lagi benda pipih itu berdering, pertanda ada yang penting. Dengan perasaan kesal ku sambar benda pipih yang tergeletak di atas meja setelah sesaat lalu di hempaskan oleh istriku itu karen
Bab 11Aku yang masih tiduran ayam mendengar suara deru mesin mobil yang meninggalkan garasi mobil.Ku intip dari jendela kamar, ternyata Mas Ryan keluar rumah dengan tergesa-gesa. Entah kenapa hati ini bergerak dan aku ingin menyusulnya. Ku ganti pakaianku dengan kaos dan celana panjang. Ku sambar jaket kain yang ku beli di luar Negeri saat kedua orang tuaku masih hidup dahulu. Cukup tebal menahan terpaan angin malam yang dingin. Sedingin hatiku yang pilu.Menyambar kunci sepeda motor metic yang tergantung di sudut pintu kamar. Kendaraan yang dulunya sebagai transportasi ku saat diharuskan menjadi ibu rumah tangga. Bukan nggak ada mobil di garasi, tapi kalau pakai mobil ntar malah ketahuan dan lambat karena ruang gerak yang sempit.Nggak ku sia-siakan waktu yang ada. Sesudah mengingatkan asistenku untuk menutup pagar dan memastikan Anggia sudah tertidur pulas bersama Baby Sisternya, aku melajukan kendaraan menyusul mobil yang dikemudikan laki-laki yang masih menjabat suami itu.Untu
Bab 12Seandainya saja ada bahu tempat bersandar atau guling untuk ku peluk mungkin sudah remuk keduanya ku buat. "Karena apa?. Karena aku merasa menyesal, kenapa mesti menunggu ia yang menceraikanku. Aku kan bisa menggugatnya dengan semua bukti yang ku punya. Kenapa juga aku harus menunggu dan mengulur waktu. Untuk apa?.""Apa kalian berharap aku akan rujuk dengannya setelah rayuan gombalnya yang seolah memikirkan kebahagiaanku dengan Anggia?" "Oh, tidak." Bermimpi pun aku nggak mau.Terbukti sudah, kalau itu hanya omong kosong yang keluar dari lidah tak bertulang miliknya. Bahkan kini, mungkin ia lupa akan niatnya memperbaiki rumah tangga kami setelah ia tahu kalau gundiknya itu tengah hamil. Sudah pasti anak Ryan, bukan?Saat tiba di parkiran, ku hapus air mataku dengan tissu yang ku rogoh dari dalam tas selempang. Cukup sudah aku membuang air mata ini untuk pria yang tak berguna seperti Ryan. Ku ambil ponsel dari dalam saku celana dan menghubungi Om Wijaya saat itu juga."Om, a
Bab 13Entah berapa lama aku terdiam. Hingga kulihat penunjuk waktu sudah hampir sepertiga malam. Sajadah dan maha pemilik kehidupan adalah tempat satu-satunya aku bisa mengadukan semua yang kurasakan. Bersimpuh pada sang pencipta pemilik kehidupan. Ku ayunkan kaki menuju kamar. Beranjak ke kamar mandi untuk mensucikan diri lalu melaksanakan shalat tahajjud dan istiqarah. Memohon ampunan dan petunjuk pada sang pemilik kehidupan, mengadukan semua yang kini kurasakan.Bersujud dan bersimpuh di atas sajadah mencari suatu jawaban yang terbaik. Ku tadahkan tangan meminta maaf dan pengampunan-Nya. Memohon di berikan jalan kemudahan menentukan pilihan terbaik untuk hidupku dan Anggia. Aku yang manusia lemah sungguh tiada berdaya tanpa campur tangan sang pemilik takdir. Tak lagi ada nama suami yang dulu selalu ku sebut dalam tiap doaku. Buatku kini kehidupanku dan Anggia akan menjadi prioritas utama bagiku. Kini aku berada di titik terlelah dalam hari-hari yang ku jalani selama ini. Siapa y