Share

Bab 5

Ryan tiba, yang di iringi langkah Sintya ikut masuk ke ruang rapat dengan napas terengah-engah. Mereka yang baru saja ikut bergabung dalam ruangan ini, menatap tajam ke arahku. Terutama suamiku Ryan yang mengepalkan kedua tangannya, karena melihat aku duduk di tempat yang biasa ia tempati, kursi kebesaran yang menjadikannya orang nomor satu di perusahaan serta memegang tampuk kekuasaan.

"Dengan ini saya Alexa Wardana pemilik tunggal perusahaan menyatakan mengambil alih kembali perusahaan warisan orang tua saya Tio Wardana dari Ryan Aldera yang selama ini menjadi pengganti sementara. Semoga untuk kedepannya perusahaan ini akan lebih maju dengan karyawan yang setia dan memiliki loyalitas tinggi," tuturku dengan lantang diiringi tepuk tangan dari semua yang ada di ruangan.

Tapi tak begitu dengan suamiku, jangankan bertepuk tangan, senyum dari bibirnya pun seakan musnah. Mas Ryan menatapku tajam seakan ingin menelanku hidup-hidup saat itu juga, sementara Sintya terlihat kacau karena ia pasti takut dipecat dan kembali ke kehidupan penuh kekurangan yang sudah terlihat di depan mata.

Ryan tidak menungguku sampai menyelesaikan semua ucapanku. Dengan tangan yang masih mengepal ia meninggalkan ruang rapat menuju ruangannya yang sedang di lakukan perombakan dan perubahan tata letak.

Aku sedikit bernapas lega, detik-detik menegangkan sudah ku lalui sesaat lalu. Awalnya aku sedikit pesimis kembali merebut kuasa ku dari tangan suamiku. Merasa takut kalau nanti nya tak ada yang mendukung keberadaan ku di perusahaan ini. Karena aku yang sudah cukup lama vakum dalam pengurusan perusahaan peninggalan papaku ini.

Tetapi, Om Wijaya selalu setia mendampingiku sampai di titik ini. Laki-laki bertubuh tambun dengan sedikit bulu yang tumbuh di rahangnya itu selalu memberiku arahan dan membuatku tampak percaya diri di depan para pemegang saham. Tak ku pungkiri, nama almarhum Papa sebagai salah satu penunjang berdirinya aku sebagai tampuk paling atas di perusahaan ini.

Tak lagi ku hiraukan dua manusia yang pastinya sangat tidak mendukung keputusan yang ku buat. Buktinya, mereka meninggalkan pertemuan ini tanpa duduk terlebih dahulu. Hanya tatapan tajam dengan kilatan amarah terpancar jelas di sorot mata suami dan pelakor itu.

Setelah pertemuan usai dan para petinggi dan karyawan lainnya melanjutkan aktivitas mereka, tinggallah aku dengan Om Wijaya di ruangan itu.

"Apa aku kelewatan, Om?" tanyaku menghempaskan bokongku di kursi dan menyilangkan kaki.

"Menurut mu?" Tanyanya balik.

Aku menarik napas panjang dan menghirup serakus-rakusnya mengisi rongga paru-paru yang sedikit merasa sesak.

"Tidak, Om. Aku hanya ingin mempertahankan apa yang telah di perjuangkan Papa," jawabku dengan tatapan menerawang.

"Nah! Kamu sendiri sudah tahu jawabnya. Kenapa masih bertanya?" Jawab Om Wijaya dengan wajah datarnya.

"Lagipula, laki-laki itu pantas untuk kau hempaskan. Pantas Papamu meminta Om terus mengawasinya," lanjut Om Wijaya lagi.

"Maksud, Om?"

"Papa mu sebenarnya menyimpan rasa ragu saat kau meminta Ryan menjadi pasangan hidupmu, meski Ryan suamimu itu memiliki kinerja yang cukup bagus untuk perusahaan. Tapi lelaki tua itu, begitu bahagia saat melihatmu selalu tersenyum bahagia disamping pria pilihanmu itu. Sehingga dia merelakan menutup rapat rasa kurang simpatiknya pada Ryan," Ungkapnya dengan wajah sendu.

Aku menyimak setiap kata yang diutarakannya. Ku lihat jelas, ada kerinduan disana. Tapi pria paruh baya di hadapanku ini, begitu hebat menyembunyikan perasaannya.

Sungguh, persahabatan yang mereka bina tak lekang oleh waktu. Aku cemburu, aku iri pada mereka. Sementara sahabatku malah menjadi perusak rumah tanggaku, menghancurkan kebahagiaanku. Tapi itu tidak salahnya sendiri, suamiku ikut andil di dalamnya. Seandainya saja Ryan lebih setia dan menjaga mata dan hati, mungkin ini semua tidak akan terjadi.

Ku melihat ke arah Om Wijaya, meraih tangannya yang ikut menua karena usia.

"Terima kasih, Om. Terima kasih karena kau selalu menjagaku dan perusahaan Papa. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi padaku dan perusahaan ini, bila Om nggak ada." Ucapku dengan mata berkaca-kaca.

"Kau adalah amanah dari Tio. Seandainya kau bisa menjadi...,

Drrrrt

Drrrrt

Ucapannya terputus karena ponsel pintarnya yang berdering. Ku lepas tangannya dan membiarkan Om Wijaya menerima panggilan telepon.

Tak sampai lima menit. Ponsel pintar yang tadi menempel di telinganya sudah berpindah ke saku celana.

"Om ada urusan mendadak, jaga dirimu. Buktikan pada Om dan Papamu, kalau kau bisa di andalkan, sayang," imbuhnya membelai kepalaku berpamitan.

Hingga lelaki paruh baya itu menghilang di balik pintu kaca, sementara ucapan Om Wijaya yang menggantung masih menjadi tanda tanya buatku.

Dengan langkah percaya diri aku menelusuri lorong yang kiri kanannya merupakan kubikel para karyawan dengan divisi yang berbeda- beda. Para karyawan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, satu dua orang ada yang melihat kearah ku dengan tersenyum.

Ku buka pintu kaca ruang yang nantinya akan ku tempati untuk memimpin perusahaan.

Ternyata benar dugaanku, di sana laki-laki dan perempuan pengkhianatan itu sedang terlihat berdiskusi atau sedang merapatapi nasib.

Mereka sama-sama membalikkan tubuh, menyadari aku yang baru hadir disini.

Menatap kearahku, saat aku sudah berdiri di dalam ruangan yang sama.

"Kenapa kalian masih disini? Bukannya harusnya kalian mengemasi barang kalian dan angkat kaki dari perusahaan ku!" Ucapku pongah.

Ryan menepis tangan Sintya dari bahunya, mendekat kearah ku yang berdiri dengan elegant.

"Sayang, dengarkan Mas dulu. Ini semua nggak seperti yang terlihat sayang. Dia yang menggoda Mas. Ya, namanya laki-laki nggak mungkin dong menolak yang gratisan," ucap Ryan dengan tak tahu malu, mendekat ke arahku.

Sintya nggak terima dirinya di rendahkan pun ikut membalas ucapan Ryan.

"Mas! Nggak gitu juga konsepnya. Enak aja kamu bilang aku yang menggodamu, Mas! Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau kamu nggak selera melihat Alexa yang sudah kaya' karung beras," cerocos Syntia dengan dada naik turun, kesal akan tuduhan Ryan padanya.

Syntia seakan lupa kalau dirinya seharusnya drama sedikit untuk melancarkan aksi Ryan untuk meluluhkan hatiku. Aku jadi tertawa sendiri dalam hati, menikmati drama berantakan yang mereka buat sendiri.

Bahkan wanita bin*l itu berbicara seolah aku tak ada di hadapannya kini. Aku hanya tersenyum melihat pertengkaran mereka. Yang berujung Sintya meninggalkanku dan Ryan di ruang kerja yang masih dalam tahap pembenahan.

"Aku khilaf sayang, aku mohon beri aku kesempatan kedua. Ingat ada Anggia yang masih butuh kasih sayang kita." Rengek Ryan mencoba meraih jari jemari tanganku.

Kalian pikir aku akan senang dan membiarkan ia menyentuhku. Tentu aku nggak sudi lagi disentuh pria yang masih manjadi suamiku itu. Merasa jijik dan mual berada di dekatnya.

Sakit dan rasa kecewaku sangat besar hingga mengalahkan kewarasan otakku. Merasa di rendahkan dan di abaikan membuat ku murka dan mati rasa berkali-kali pada suami bangs*t ku ini.

Buatku, perselingkuhan bukanlah sesuatu yang bisa di tolerir. Sekali pernah melakukannya, maka tidak menunjuk kemungkinan kalau suatu saat akan mengulanginya kembali.

"Mari kita bercerai, Mas!" ajakku yang kini melihat kedua netranya yang membulat sempurna, melihat kearah ku dengan tatapan tidak berkedip.

Ryan berputar tak percaya, masih merasa semua bagai mimpi buruk yang hadir dalam tidurnya.

"Kamu bercandakan, sayang! Mas cinta sama kamu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
good alexa buang sampah pd tempatnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status