Share

Bab 4

Ryan yang tak menyadari keberadaan ku membalikkan tubuhnya bersiap akan memasuki kamar. Bola matanya membulat dan wajahnya terlihat pucat pasi, saat melihatku berdiri di belakangnya.

"A_Alexa...." Gumamnya dengan bibir bergetar dan wajah seakan tak berdarah. Pias!

"Hay Mas! Tadi katanya lagi sibuk di kantor. Aku baru tahu kalau kantorku pindah ke kamar hotel." Ucapku yang menatap tajam ke kedua netranya memang berniat mengintimidasinya.

Ryan melotot melihat tubuhku dari atas hingga ke bawah. Bahkan terlihat mengedipkan kedua netranya berkali-kali seakan memperjelas penglihatannya saat ini.

"Kenapa, Mas? Nggak usah kaget gitu lah," kilahku berniat menyadarkannya dengan bibir tertarik sebelah keatas.

"Alexa, bagaimana bisa kamu...."

Aku tahu pria yang masih menjadi suamiku ini terkejut sekaligus terpana melihat penampilan dan bentuk tubuhku kali ini. Terbaca dari matanya yang membulat menelusuri tiap jengkal tubuh yang berbalut busana cesual nan modis.

Tentu, suamiku terkejut. Pasti dia nggak menyangka dietku berhasil hanya dalam waktu beberapa Minggu saja. Walau belum turun seperti keinginanku, namun cukup menghilang kan lemak yang bertumpuk dibeberapa bagian. Bagaimana ia tahu aku sibuk olah raga dan mengatur pola makan selama ini, karena sudah dua bulan lamanya kami pisah kamar. la pergi pagi dan pulang di malam hari. Hanya sesekali terserobok di meja makan, namun aku yakin ia tidak memperhatikan bentuk tubuhku kala itu karena jika di rumah aku lebih memilih memakai baju daster saja.

Belum sempat ia membuat alasan, suara Sintya yang mendayu-dayu terdengar dari dalam kamar.

"Mas, cepetan dong. Landasan sudah siap nih," panggil sahabatku sambil mengintip keluar kamar, menutupi tubuhnya dengan selimut.

Sama dengan Ryan, kedua netra sahabatku ini membulat dengan mulut menganga melihat aku yang berdiri dengan senyum tertarik ke atas. Kalau saja saat ia mangap ada lalat lewat sudah pasti si lalat mengira itu terowongan dan masuk kedalamnya. Wajah keduanya terlihat pucat pasi seperti mayat.

Aku makin tersulut untuk membuat keduanya semakin support jantung. Sungguh aku belum merasa puas melihat keterkejutan mereka. Aku masih ingin bermain-main dengan kedua cicunguk yang ada di hadapanku ini.

"Alexa...." gumam Sintya juga.

Ryan maju selangkah ke arahku. Aku tersenyum kecil dengan mata menyipit. Sungguh, aku penasaran dengan apa yang dikatakannya setelah ini.

"I_ini semua salah paham. Jangan salah paham, aku bisa jelaskan semua. Kami di sini untuk sebuah pertemuan. Kami sedang ada rapat disini," tuturnya gelagapan.

Dipikirnya aku bodoh atau buta kali ya! Jelas- jelas mereka mencoba berkilah. Masa' rapat di dalam kamar dan pakai buka baju segala, rapat apaan, rapat di atas ranjang. Itu mah rapat berdua, dasar manusia picik. Itulah kata-kata yang ada di kepalaku saat ini.

Aku tersenyum dengan bibir sebelah tertarik keatas.

"Wah! Melihat dengan mata kepala sendiri rasanya sangat luar biasa," ujarku melihat ke arah suamiku dan selingkuhannya bergantian. Terus mencoba tersenyum meski sakit hati karena luka yang tak berdarah.

"Alexa, please dengarkan aku dulu," pinta Ryan dengan wajah memelas.

"Aku sudah punya semua bukti. Jadi jangan berkelit dan katakan semua dengan jelas! Dan kamu! Apa kamu nggak punya harga diri, ku angkat derajat kalian, tapi malah bermain di belakangku. Apa nggak ada laki-laki lain selain suamiku," ungkap ku pada keduanya dan seolah mengajukan pertanyaan ku pada Sintya yang masih diam terpaku dengan tubuh berbalut selimut di balik pintu.

Dengan tidak tahu malunya, suamiku malah menutupi keadaan Sintya dengan menjadikan tubuhnya sebagai tameng perempuan b*nal itu.

Aku mendesis.

"Kenapa berselingkuh seperti seorang bajingan seperti ini? Serendah inikah level wanitamu?" tanyaku lagi mengintimidasinya.

Kini suamiku itu terlihat menarik napas panjang. Aku tahu ia sedang berpikir akan apa yang akan ia ucapkan padaku.

"Karena perasaanku sudah berubah, apalagi saat tubuhmu yang seperti karung beras dan tak lagi pernah berdandan. Walau sekarang kau sudah kembali cantik aku sudah merasa nyaman bersamanya," ungkapnya dengan tidak tahu malu.

Sungguh kedua manusia tak tahu malu itu membuat aku muak.

"Jadi, itu alasannya kamu berselingkuh dengan orang yang levelnya seperti dia," tutur ku menatap tajam ke arah Sintya yang merupakan sahabatku.

"Alexa, aku ingin kalian..."

Plak

Ku singkirkan tubuh suamiku yang diam mematung. Tak ku biarkan perempuan itu menyebut namaku.

"Jangan berani-berani memanggil namaku dengan mulut kotormu itu!." Aku mendengus kesal menatap tajam ke arah Sintya yang diam terpaku.

Tangannya langsung mengelus pipinya yang memerah, sedangkan telapak tanganku ikut terasa panas setelah kulit wajahnya bersentuhan dengan telapak tanganku.

Nada suaraku naik satu oktaf dengan tatapan mata yang menyala-nyala.

"Yang namanya sampah, selamanya akan tetap berbau sampah dan baunya tidak akan bisa di tutupi." Cerca ku lagi dengan mata melotot.

Keributan kecil yang kami buat ternyata mengganggu tamu hotel yang kamarnya berdekatan dengan kamar sewa suamiku. Dimana aku berdiri di lorongnya. Tamu hotel menjadikan pertengkaran kami bagai tontonan gratis buat mereka.

Aku menarik napas panjang menahan emosi diri.

"Satu jam lagi kita rapat, ku tunggu kalian di kantor!." Ucapku menatap tajam ke netra suamiku dan beralih ke netra Sintya.

Meninggalkan mereka yang masih terlihat shock dan sepertinya agak susah bernapas.

Sesaat mereka seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat beberapa menit lalu, saling beradu pandang dan seakan terhipnotis akan hadirnya aku dihadapan mereka.

Aku tau, jantung para pengkhianat itu sedang tidak sehat saat ini. Tapi ya sudahlah, bukan urusanku juga kan!.

"Aku duluan, cepat pakai bajumu! Ku tunggu di bawah," titah Ryan pada Sintya yang ku dengar sepintas, di iringi derap langkah kakinya yang ku yakin akan mengejarku.

Namun ia terlambat, karena pintu lift sudah tertutup lebih dulu sebelum ia sampai di pintu lift di mana aku sudah berada di dalamnya.

Aku tersenyum smirk, membayangkan mereka yang nggak jadi eksekusi karena support jantung. Berbanding terbalik dengan jantungku yang berdetak lebih teratur karena berhasil menguasai emosi diri.

***

Di ruang rapat, Om Wijaya sudah mempersiapkan semua yang ku pinta. Dengan anggun aku melangkah masuk dan duduk di kursi utama. Kursi yang sempat ku percayakan pada suami pengkhianatku.

Semua staf sudah berkumpul, hanya Ryan dan Sintya yang ku yakin sebentar lagi juga akan menyusul.

Tanpa basa basi setelah acara di buka dan waktu untukku tiba membuka suara. Tidak banyak yang ingin ku sampaikan, aku mengumumkan hal yang nggak pernah disangka oleh Ryan suamiku.

Sebuah keputusan yang seharusnya sejak lama aku ambil. Tapi baru terealisasi setelah ia ketahuan berkhianat dan menyalahgunakan kepercayaan ku selama ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status