Share

Part14

"Kok mau sih, jadi istri ke dua? Kamu kan masih muda. Apa nggak kepikiran, pengen nikah sama yang singel gitu?" Wah, kelihatannya, Mas Deni tidak suka berbasa-basi. Orangnya ceplas-ceplos dan tidak memikirkan lawan bicaranya.

Aku diam saja. Bingung harus menjawab apa. Apa mungkin Mas Deni ini sedang menyelidikiku. Dia pasti menganggap kalau aku ini tipe wanita yang suka menggoda suami orang. Mata duitan. Aku hanya tertunduk, merasa malu.

"Maaf, ya. Kalau kamu merasa tersinggung."

"Eh, enggak kok, Mas. Delima baik-baik aja. Soal itu, Delima...."

"Mas tahu kalau ini bukan keinginan kamu. Semua ini permintaannya Silvi, kan? Maksud Mas itu, sebelum menikah, apa kamu nggak punya pacar? Kan kasihan tuh, pacarnya ditinggal nikah." Mas Deni mencoba mencairkan suasana.

"Mana sempat Delima pacaran, Mas. Delima sibuk kerja terus. Kan kasihan nanti kalau Delima punya pacar, tapi nggak ada waktu buat ketemu."

"Tapi yang mau sama kamu banyak, kan?" godanya lagi. Aku hanya tersenyum.

"Mas Deni, kok bisa pagi-pagi nemenin Mama ke rumah. Emang Mas Deni nggak kerja?" Aku balik bertanya. Padahal memang penasaran. 

Saudara sepupu Mas Raka ini selalu saja muncul bersamaan dengan Mama. Seperti yang Mama katakan tadi. Selalu saja mengekor.

"Enggak. Mas pengangguran!" jawabnya singkat. Aku pun hanya tersenyum saja mendengar jawabannya yang entah betulan atau tidak itu.

.

Usai mengantri di Bank, kami pun kembali pulang. Tak lupa kubelikan sekotak camilan, untuk dimakan bersama di rumah. Mbak Silvi tadi memang memberikanku uang untuk tabungan awal. Karena kurasa terlalu banyak, aku menyisakan sebagian untuk membeli keperluanku.

Sesampainya di rumah, kulihat Mbak Silvi sedang mencuci piring. Mungkin bekas mereka makan barusan. Padahal sebelum pergi, semua sudah rapi aku kerjakan.

Aku buru-buru meletakkan kotak camilan di atas meja, lalu mendekati Mbak Silvi.

"Udah, Mbak. Delima aja. Mbak temenin Mama aja di depan." Aku berusaha mengambil alih kerjaannya.

"Nggak apa-apa, Delima. Cuman sedikit aja, kok." Duh, pasti ini salah satu sandiwaranya lagi untuk menarik simpati Mama agar terlihat rajin.

Semakin aneh saja tingkahnya. Padahal kalaupun tidak seperti itu, Mama selalu terlihat sayang pada semua anak dan juga menantunya.

Setelah semuanya selesai, kami berkumpul dan bercengkrama di ruang keluarga sambil menikmati kue yang kami beli tadi dan secangkir teh hangat.

Kami mengobrol banyak. Mama seperti tak membedakan status kami. Memperlakukan aku, sama halnya seperti Mbak Silvi. Hingga tanpa terasa hari telah sore. Mas Raka juga telah pulang, dan ikut berkumpul bersama kami.

Sebelum maghrib, Mama dan Mas Deni pamit pulang. Padahal sudah ditawari untuk menginap. Tapi katanya mau pulang juga.

.

Usai makan malam, aku kembali membereskan dapur. Tentu saja, Mbak Silvi langsung naik ke kamarnya. Tak lagi membantu seperti tadi saat masih ada Mama. Bagiku memang tidak jadi masalah. Bukan pekerjaan berat untukku. Hanya saja, aku menyayangkan sikap Mbak Silvi yang terkesan seperti bermuka dua. Itu membuatku merasa tak nyaman.

Baru saja aku selesai mengelap tangan, tiba-tiba Mas Raka muncul. Membuatku sedikit terkejut.

"Mas Raka butuh sesuatu?" tanyaku. "Biar Delima buatin." Aku menawarkan. Siapa tahu dia mau minum kopi.

"Sudah jadi buku tabungannya?" Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya.

"Sudah, Mas. Ada ATM sama mobile bankingnya juga. Sudah Delima pasang di hape," jawabku menerangkan.

"Baguslah. Besok Mas transfer uang, buat keperluan kamu." Entah kenapa, nada bicaranya terdengar ketus.

"Baik, Mas. Terima kasih." Aku mulai merasa tidak enak.

"Satu lagi ya, Dek."

"Iya, Mas. Ada apa?"

"Lain kali, jangan lagi pergi sama Deni. Nggak boleh seorang istri pergi berduaan dengan laki-laki lain, tanpa ijin suami."

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status