"Kok mau sih, jadi istri ke dua? Kamu kan masih muda. Apa nggak kepikiran, pengen nikah sama yang singel gitu?" Wah, kelihatannya, Mas Deni tidak suka berbasa-basi. Orangnya ceplas-ceplos dan tidak memikirkan lawan bicaranya.Aku diam saja. Bingung harus menjawab apa. Apa mungkin Mas Deni ini sedang menyelidikiku. Dia pasti menganggap kalau aku ini tipe wanita yang suka menggoda suami orang. Mata duitan. Aku hanya tertunduk, merasa malu."Maaf, ya. Kalau kamu merasa tersinggung.""Eh, enggak kok, Mas. Delima baik-baik aja. Soal itu, Delima....""Mas tahu kalau ini bukan keinginan kamu. Semua ini permintaannya Silvi, kan? Maksud Mas itu, sebelum menikah, apa kamu nggak punya pacar? Kan kasihan tuh, pacarnya ditinggal nikah." Mas Deni mencoba mencairkan suasana."Mana sempat Delima pacaran, Mas. Delima sibuk kerja terus. Kan kasihan nanti kalau Delima punya pacar, tapi nggak ada waktu buat ketemu.""Tapi yang mau sama kamu banyak, kan?" godanya lagi. Aku hanya tersenyum."Mas Deni, kok
"Oh, itu, Mas, anu. Maaf." Aku merasa gugup. "Tadi Delima juga udah nolak. Tapi Mama maksa, jadi Delima nggak berani ngebantah." Aku membela diri, meskipun juga merasa bersalah tentang apa yang aku lakukan."Ya, sudah. Lain kali kalau mau ke mana-mana, bilang sama Mas." Dia mulai sedikit melunak, mendengar kata Mama sebagai alasan."Kalau begitu Delima pamit ke kamar dulu ya, Mas." Aku pun pamit dan meninggalkannya.Memangnya kalau aku bilang mau pergi ke mana, dia mau apa? Nganterin? Bisa-bisa mbak Silvi ngamuk lagi. Seharusnya tadi dia bilang saja mau membelikan aku mobil. Dengan begitu aku bisa bebas ke mana saja yang aku mau. Bahkan bisa membawanya ke kampung saat sudah bercerai nanti.*Keesokan harinya aku kembali mengerjakan pekerjaan rumah. Sarapan pagi sudah kuhidangkan di atas meja. Tak lama Mas Raka dan Mbak Silvi muncul dan langsung mengambil tempat duduk.Meskipun aku bekerja seperti asisten rumah tangga di rumah ini, namun Mbak Silvi dan Mas Raka masih menganggapku sebag
"Maaf, Mbak ini siapa?" Aku memberanikan diri bertanya.Jangan-jangan, wanita ini juga salah satu istrinya Mas Raka, selain aku dan Mbak Silvi. Ya, ampun. Ternyata Mas Raka tidak sependiam yang aku kira."Saya Indah. Mantan tunangannya Raka."Mantan tunangan? Jadi belum sempat menikah? "Bisa bicara sebentar?" ujarnya kemudian."Bicara apa, Mbak? Saya buru-buru." Agak sedikit takut juga perasaanku. Bagaimana kalau dia berusaha menculik dan melenyapkanku seperti yang ingin Mbak Silvi juga lakukan.Banyak sekali sih yang memperebutkan Mas Raka. Membuatku jadi tidak sabar ingin cepat-cepat lepas dari mereka."Kamu mau aja yaa, dibodoh-bodohi sama Silvi," ucapnya ketus."Maksud Mbak, apa?""Silvi itu licik. Dia yang merebut Raka dari aku.""Maaf, Mbak. Saya nggak ngerti.""Raka membatalkan pertunangan kami karena digoda oleh dia. Dan akhirnya mereka menikah. Tapi akhirnya mereka dapat karma, kan? Raka jadi nggak punya anak, begitu menikah sama dia."Ternyata wanita ini belum mendengar kab
Akhirnya selesai juga. Asap sayur masih mengepul saat kuhidangkan. Kalau siang, kami hanya makan berdua saja. Karena Mas Raka tidak pernah makan siang di rumah. Katanya kantornya agak jauh. Akan buang-buang waktu kalau pulang saat jam makan siang.Lagi pula, ada aku yang menjaga Mbak Silvi, saat sedang hamil begini. Jadi kelihatannya dia bisa sedikit lebih tenang."Enak nggak, Mbak?" Kulihat Mbak Silvi makan dengan lahap. "Iya, Delima. Masakan kamu enak," pujinya. Entah itu tulus atau tidak, aku tak lagi peduli.Tak lama kulihat matanya mulai memerah. Seperti ada yang menggenang di sana. Apa yang terjadi? Dia seperti hendak menangis. Apa aku telah melakukan kesalahan?"Mbak Silvi kenapa?" Kuberanikan diri untuk bertanya.Dia tak menjawab. Lalu mengusap air yang menetes di sudut matanya."Sayurnya nggak enak ya, Mbak?" Aku merasa bersalah. Dia menggeleng."Atau perut Mbak sakit lagi? Delima telpon Mas Raka ya, biar nganterin Mbak ke rumah sakit. Delima nggak bisa bawa mobil. Atau kita
“Iya, Mas. Masih baru, belum juga satu jam.” Aku kembali merapatkan pintu. “Mas Raka mau minum kopi atau teh? Yang lain pada ngumpul di teras belakang.”“Kalau Mas nggak ada, Deni sering datang, ya?” Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya. Selalu saja seperti itu.“Iya, Mas. Kan nganterin Mama.”“Kalau nanti dia dateng sendiri, jangan diladeni, ya.”“Iya, Mas,” jawabku tanpa mau tahu alasannya. Aku langsung menuju dapur, sedangkan Mas Raka langsung naik ke atas, menuju kamar mereka. Aku kembali ke teras belakang, dengan membawa secangkir teh di atas nampan.“Mas Raka nya mana, Delima?” tanya Mbak Silvi.“Tadi pas Delima ke dapur, Mas Raka ke kamar, Mbak.”“Oh, langsung mandi kali, ya.”“Iya kali, Mbak.”“Kamu ini gimana sih, Delima. Suami mau mandi kok nggak disiapin keperluannya,” timpal Mama. Sepertinya dia tidak suka kalau anaknya tidak dilayani dengan baik.“Punya dua istri kok apa-apa masih sendiri. Ladeni dulu suamimu sana!” perintah Mama.Aku terdiam. Lalu melirik wajah
Lalu obrolan mereka lanjutkan ke hal-hal yang lain. Terutama tentang bisnis dan pekerjaan. Aku yang tak mengerti apa pun hanya menoleh ke sana ke mari saat mendengar mereka bicara. Dan kuperhatikan, tampang Mbak Silvi dan Mas Raka sama kusutnya saat ini.Padahal hari ini hari yang begitu gembira menurutku. Sudah lama aku tak tertawa lepas seperti ini. Mas Deni ternyata sangat lucu orangnya. Padahal baru beberapa kali aku bertemu dengannya. Namun dia tampak akrab dan terkesan tidak menjaga jarak terhadapku.Tadinya kupikir setelah pertanyaannya waktu itu, dia akan menjauh dan tidak suka melihatku. Karena statusku sebagai istri kedua sangat buruk di mata siapa pun. Tapi, Mas Deni tidak begitu. Dia menganggapnya biasa saja. Malah sepertinya, dia terkesan segan, dan lebih menjaga jarak dengan Mbak Silvi. Padahal Mbak Silvi sudah sepuluh tahun menjadi bagian dari keluarga mereka.Untuk hari ini, Mama dan Mas Deni ikut makan malam bersama kami. Setelah itu baru pamit pulang. Rumah Mama dan
Mataku membelalak. Memberanikan diri menatap sesosok tubuh tegap yang kini telah berdiri tanpa jarak dariku. Memikirkan ulang ucapannya. Apa mungkin aku salah dengar.Malam pengantin katanya? Sesuatu yang tiba-tiba saja membuatku merinding. Apa itu artinya dia ingin mengambil haknya sebagai suami?Aku masih diam saja. Lututku gemetaran hingga tak dapat bergerak. Lalu kurasakan wajahnya kini berpindah tepat di hadapanku. Ada yang terasa hangat di kening ini, hingga aku tersadar dan sontak mendorong tubuhnya dengan begitu keras."Kenapa, Dek?" Dia begitu terkejut dengan sikapku."Mas mau apa?" tanyaku sembari mengusap kening bekas kecupannya."Mas mau melaksanakan kewajiban kita, Dek. Kamu lupa, kalau Mas ini suami kamu?" "Enggak! Delima nggak mau.""Apa maksud kamu? Kamu marah, karena selama ini Mas nyuekin kamu?""Bukan. Bukan hal ini yang seharusnya Mas lakukan. Sebaiknya Mas lanjutkan aja niat Mas dari awal." Aku mulai menangis. "Mas nggak ngerti kamu ngomong apa, Dek. Niat apa?"
Berdosakah aku, memikirkan laki-laki lain di saat aku masih sah menjadi istri seseorang? Sungguh aku pun benar-benar tak tahu diri, begitu berani menyukai laki-laki seperti dia. Laki-laki yang lebih pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari pada aku."Ngaku kamu, Dek. Kamu suka sama Deni, kan? Untuk itu kamu meminta cerai dari Mas. Apa selama ini kalian berhubungan? Atau dia meminta kamu untuk segera bercerai?" Sikapnya mulai emosi."Tega Mas nuduh Delima seperti itu. Padahal semua ini sudah Mas rencanakan jauh-jauh hari!" sahutku tak mau kalah."Apa maksud kamu?" Matanya menyipit, memikirkan sesuatu."Delima sudah mendengar apa yang Mas dan Mbak Silvi rencanakan untuk membuang Delima dari kehidupan kalian. Delima tau semuanya!" ucapku tegas.Matanya membelalak kaget. Seketika tangan yang tadi mencengkeramku kini terlepas sudah. Wajah pucatnya memaksa kakinya untuk mundur menjauh dariku."Da_dari mana kamu mendengar hal itu?" Dia tergagap. Dia terlihat begitu syok. "Sejak ka