Share

Part13

Keesokan harinya aku pamit pada Mbak Silvi untuk keluar sebentar. Hari ini aku akan pergi ke Bank untuk membuka tabungan seperti yang diperintahkan oleh Mas Raka. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Tak ada alasan untuk menunda-nunda.

Waktuku tak banyak berada di sini. Begitu Mbak Silvi mulai sehat, dia pasti akan segera menendangku dari rumah ini. Aku sengaja mengerjakan semuanya pagi-pagi sekali. Agar tidak terburu-buru, dan kebutuhan Mbak Silvi sudah kupenuhi.

Aku tak lebih dari asisten rumah tangga, dan juga perawat pribadi baginya. Tapi tak mengapa. Aku sudah terbiasa hidup seperti ini. Pekerjaan ini bahkan jauh lebih mudah dari pada yang kujalani di kampung sebagai buruh cuci di berbagai tempat.

"Delima janji akan pulang cepat, Mbak. Begitu selesai, Delima langsung pulang." Aku pamit pada Mbak Silvi yang sedang bersantai di ruang tivi. 

"Iya, Delima. Mbak bisa sendiri, kok." Sikap Mbak Silvi masih sama baik di hadapanku.

Padahal tadi malam aku dengar sendiri kalau mereka ribut lagi, perihal ponsel dan juga buku tabungan. Akhir-akhir ini aku lebih sering menjadi detektif. Sengaja menguping, untuk mencuri dengar apa saja yang mereka rencanakan ke depannya tentang aku.

Aneh saja. Belakangan Mas Raka sudah sering membantah omongan Mbak Silvi. Bahkan enggan membahas masalah tentang perceraian. Terserahlah. Itu urusan mereka. Selama mereka masih bersikap baik di depanku, aku pasti akan menghormati mereka.

Belum lagi aku meninggalkan Mbak Silvi, suara bel berbunyi.

"Siapa itu pagi-pagi ya, Delima?" tanya Mbak Silvi heran. 

"Sebentar ya, Mbak. Biar Delima bukakan." Aku berjalan ke depan.

"Mama?" Aku langsung mencium punggung tangannya, setelah melihat siapa yang datang.

Lagi-lagi aku bertemu kembali dengan Mas Deni. Rajin sekali dia menjadi supir pribadi mertuaku ini. Aku tersenyum ramah menyapanya. Dia pun membalasnya juga dengan sebuah senyuman, disertai anggukan.

Aku pun mempersilakan mereka masuk. Mbak Silvi muncul setelah mendengar siapa yang datang. Ternyata ucapan Mas Raka benar. Istrinya itu terlihat sangat menghormati mertuanya.

Langsung bergegas menyambut, begitu tahu wanita yang ditinggal mati suaminya itu baru saja datang.

"Mama sama Mas Deni duduk dulu, ya. Biar Delima buatkan minum." Aku menawari.

"Biar Mbak aja, Delima. Nanti kamu kesiangan. Jam dua belas nanti tutup lho." Mbak Silvi mencoba mengambil hati. Padahal kalau tidak ada mereka, air putihnya pun ia minta padaku.

"Lho, kamu mau ke mana Delima?" tanya Mama.

"Delima mau ke Bank, Ma. Silvi menyuruhnya untuk bikin tabungan sendiri. Biar Mas Raka bisa berbuat adil." Mbak Silvi langsung menyela, sebelum aku sempat menjawabnya.

Ya, ampun. Pandai sekali wanita ini mengarang cerita untuk mengambil hati mertuanya. Aku hanya bisa diam, dan membenarkan saja apa yang dia ucapkan. 

"Oh, baguslah kalau begitu. Kalau begitu minta antar sama Deni saja," perintah Mama. Kelihatannya dia percaya saja dengan ucapan menantunya itu.

"Nggak usah, Ma. Delima naik ojek saja. Nanti ngerepotin. Mas Deni kan baru nyampe." Aku merasa tidak enak.

"Enggak kok. Masih pagi juga. Ayo, Delima." Mas Deni ikut menimpali. Membuatku jadi serba salah.

"Tuh, Deninya aja mau. Deni ini, selama belum punya istri, ngekorin Mama terus. Dia lebih suka nganterin Oma-oma, ketimbang nganterin anak gadis," seloroh Mama. 

"Ngeledek terusss...." timpal Mas Deni. Kami pun tertawa dibuatnya.

*

"Umur kamu berapa, Delima?" Mas Deni bertanya sembari mengemudikan mobilnya.

"Oh, anu, itu, dua puluh dua, Mas." Aku menjawab gugup. Masih merasa canggung.

"Oh. Kok baru sekarang buat buku tabungan? Sebelumnya belum pernah?" Mas Deni berbicara dengan sangat santai. Seperti sudah akrab saja gaya bicaranya.

"Boro-boro nabung, Mas. Bisa nyimpen buat makan besok saja sudah sukur," sahutku berterus terang. Karena memang seperti itulah keadaannya.

Uang yang kuhasilkan dari kerja serabutan, hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah Sidik. Tak ada kesempatan untuk ditabung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status