Malam ini Mama mengintrogasiku akibat ucapan Mas Deni yang entah keceplosan atau memang disengaja. Usai kepulangan Mas Raka tadi siang, Mama kembali syok dan tak lagi mau bicara. Langkahnya kembali gontai sembari berbalik menuju ke arah kamar.Sama persis seperti saat pertama kali membawaku ke rumah ini. Dia pasti membutuhkan sedikit waktu untuk menyendiri, menenangkan diri. Aku yang sudah mulai paham sifat dan kebiasaannya, tak lagi bertanya. Dia akan kembali bicara setelah tenang dan bisa mengendalikan diri lagi.Seperti malam ini. Dia keluar saat makan malam tiba. Dan tentu saja meja makan ini kembali menjadi saksi apa yang terjadi kali ini."Berapa uang yang Silvi berikan untuk kamu sebelum menikah dengan Raka?" Mama masih berbicara dengan tenang sembari mengunyah makanannya."Anu, Ma. Banyak." Aku menelan ludah. Merasa gugup. Bahkan lebih gugup dari saat bertemu dengan pengacara yang mengurus perceraianku tadi pagi.Aku menjelaskan uang mahar yang dia tawarkan. Dan itu pun aku gu
Keponakan? Memangnya keponakan laki-laki Mama ada berapa banyak? Atau jangan-jangan, yang Mama maksud itu adalah Mas Deni? Ingin sekali aku bertanya. Tapi, takut kalau jawaban Mama nanti malah akan membuatku malu sendiri.Tapi, kalau tidak ditanya, malah akan membuatku tak bisa tidur. Tanya, tidak, tanya, tidak. Tiba-tiba saja Mama menyudahi makan malam dan bergerak kembali menuju kamarnya. Aku yang masih dilanda rasa penasaran ikut bangkit dan mengikuti langkah Mama dari belakang.“Ma....”“Mama ngantuk, Delima,” potong Mama yang menyadari keberadaanku. Padahal aku sama sekali belum menanyakan apa pun. Aku pun beringsut menjauh, dan membiarkan Mama berjalan sendiri dengan memandang punggungnya dengan perasaan kecewa.*Usai membantu Bik Inah membereskan sisa makan malam, aku kembali ke kamar. Malam ini aku kembali melakukan video call ke ponsel Sidik untuk mengobrol bersama mereka. Membicarakan perbincangan sehari-hari yang biasa kami lakukan. Menanyakan bagaimana perkembangan keseh
Setidaknya malam ini aku sudah bisa tidur dengan nyenyak. Walau belum tentu Mas Deni mau menerimaku, tapi setidaknya Mama sama sekali tak menganggap rendah diriku. Dan tentu saja dia masih menginginkanku menjadi menantunya, meski hanya dari keponakan. Di mana lagi bisa kucari mertua sebaik mertuaku saat ini.*Siang ini, aku membuka aplikasi google. Mencari tahu tentang proses perceraian. Lama sekali ternyata. Belum lagi harus menjalani masa iddah selama tiga bulan. Apakah selama hampir setahun, aku harus hidup begini-begini saja?Kecuali ada sesuatu yang membuat Mas Raka menjatuhkan talak padaku. Aku akan bisa bebas lebih cepat dari dirinya. Soal akte cerai bisa diurus kapan-kapan. Andai ada sebuah keajaiban, atau mukjizat yang membuat Mas Raka harus rela menceraikan aku.Apa sebaiknya, aku minta izin pada Mama saja untuk bekerja. Mungkin dengan begitu, waktu tidak akan terasa lama saat kujalani. Lagi pula, mengingat soal perjodohan itu, aku jadi malu sendiri bertemu dengan Mas Deni.
"Ada apa, Delima?" tanya Mas Deni kemudian. Aku kembali melirik Mama yang senyum-senyum sendiri. Sepertinya Mama memang sengaja ingin mengerjaiku."Itu, Mas. Anu." "Anu lagi?" Mama menahan tawa mendengar ucapan Mas Deni.Sudah kebiasaan bagiku dan juga sebagian orang mengucapkan kata itu disaat gugup. Mungkin terdengar lucu dan aneh bagi mereka. Tapi yang namanya kebiasaan, memang sulit untuk dihilangkan."Itu, Mas. Delima mau nanya, Pak pengacara ada ngubungin Mas, belum?" Aku sengaja mengalihkan pembicaraanku dengan Mama tadi."Dih, yang udah nggak sabar pengen cerai." Mama lagi-lagi meledekku. Padahal yang mau bercerai itu anaknya sendiri. Bukannya merasa prihatin, malah kelihatan senang sekali."Atau, jangan-jangan Delima pengen ngebatalin, Bulek." Mas Deni ikut-ikutan."Eh, enggak kok, Mas. Delima masih tetap mau lanjut kok." Aku merasa salah tingkah."Beneran?""Iya. Malah kalau bisa lebih cepat.""Bisa kok.""Nggak bisa, Mas. Delima udah periksa google tadi. Banyak sekali pros
Hari ini aku mendapat izin dari Mama untuk pergi bersama Mas Deni melihat toko. Mas Deni katanya ingin memberikanku pekerjaan. Mama sudah tak lagi keberatan. Asal aku berjanji tetap tinggal bersamanya.Mungkin dia juga merasa kesepian. Dua anak perempuannya memilih untuk ikut dengan suami masing-masing. Bahkan Lara, adik bungsu Mas Raka sudah tinggal terpisah sejak sebelum menikah.Kata Bik Inah, dia mendapatkan pekerjaan di luar kota, hingga baru memutuskan berhenti setelah ingin menikah. Untung dia mendapatkan jodoh masih dari kota asalnya, hingga Mama bisa sering-sering berkunjung tanpa harus ke luar kota.Begitu juga dengan Mbak Dian. Setelah berpulangnya Almarhum suami Mama, Mbak Dian lah yang sibuk mengurus perusahaan. Saat itu Mas Raka masih kuliah. Hingga Mbak Dian tak punya banyak waktu lagi di rumah.Untuk itulah aku juga harus memikirkan perasaan Mama. Mama sudah menganggapku seperti anak perempuannya sendiri. Bukan lagi menantu yang sebentar lagi akan bercerai dari putrany
"Aneh-aneh saja sikap Mas Deni ini. Masa begini aja dibilang pekerjaan. Pakai upah segala. Harusnya kalau cuman begini, Delima yang bayarin Mas Deni, karena udah ngajak Delima keliling kota.""Ya udah. Kamu yang bayar. Mana?" tanyanya lagi sambil menjulurkan telapak tangan. Aku tercengang. Padahal aku hanya berbasa-basi. Tapi kalau dia tetap mau dibayar, ya mau bagaimana lagi."Berapa, Mas?"Mas Deni menaikkan bola matanya, memikirkan sesuatu. Untung uang yang diberikan Mas Raka masih banyak. Kemarin saat ingin kukembalikan, dengan keras dia menolaknya. Katanya sudah ikhlas dan memang sudah menjadi hakku sebagai istrinya. Padahal aku sama sekali tak ada melaksanakan kewajibanku sebagai istri."Berapa apanya?""Bayarannya.""Mas nggak mau dibayar pake uang.""Terus? Pake apa?""Temenin Mas makan. Titik. Nggak pake nawar."Lho, terus apa bedanya dengan upah yang mau dia kasi tadi? Makin aneh saja sikapnya hari ini..Kami tiba di restoran yang tak jauh dari toko Mas Deni. Tempatnya juga
Mama kembali cuek, tak ingin melihat wajah Mas Raka. Menyerahkan semua urusan pada Mas Deni. Usai insiden pemukulan yang dilakukan Mas Raka waktu itu, Mas Deni langsung melakukan visum untuk membuat laporan.Mama terpaksa menyetujui cara itu. Mas Raka tak akan mungkin mau di penjara. Selain merusak reputasi, dia juga tak mungkin membiarkan Mbak Silvi ditinggal sendirian dalam keadaan hamil saat ini. Sebenarnya, ini hanya inisiatif dari Mas Deni saja. Tak ada niat untuk memperkarakan hal sekecil itu. Namun, saat itu terlintas ide untuk mengancam Mas Raka. Agar mau tidak mau, Mas Raka harus menuruti apa pun keinginan Mas Deni sebagai syarat agar Mas Deni mencabut laporannya. Dan tentu saja syarat tersebut adalah menjatuhkan talak padaku.Dengan begitu, putuslah sudah ikatan kami sebagai suami istri secara agama. Tak ada kewajiban atau dosaku lagi untuk tak menuruti apa pun keinginannya. "Itu syarat dariku, Ka. Aku akan mencabut laporan asal kamu menceraikan Delima saat ini juga." Mas
Aku segera menunduk. Kini pipiku telah basah oleh air mata menyaksikan semua ini. Aku bahkan tak tahu apa yang membuatku menangis saat ini. Pengakuan Mas Deni, perasaan Mas Raka, ataukah alasan Mbak Silvi sebenarnya kenapa sampai memilihku.Mungkin benar, karena aku hanya orang kampung dengan latar pendidikan yang begitu rendah. Bisa diatur dan dikendalikan sesuka hati. Sama sekali tak bisa melawan karena tak punya apa-apa, dan tak bisa apa-apa.Hanya bisa bergantung pada mereka. Bahkan, hanya untuk membiayai kehidupan keluargaku di kampung, hanya berharap belas kasih dari mereka."Dek, maafin kesalahan Mas selama ini, ya? Mas janji akan berbuat adil dan membahagiakan kamu. Tawaran Mas masih tetap berlaku. Kita cari rumah baru atas nama kamu, dan kita jemput Bue sama Sidik untuk tinggal bersama. Kamu mau kan, Dek?"Aku semakin sesenggukan, lalu menggeleng tanpa bersuara. Tenggorokanku rasa tercekat. Seperti tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun."Dek....""Cukup, Raka." Mama kembali