"Maafin Delima ya, Ma. Delima udah bikin kecewa semua orang," jawabku."Enggak, Delima. Bukannya dari awal kita sudah membahas hal ini? Kamu lihat sendiri, bahkan Raka tidak sampai hati marah sama kamu. Apalagi sampai membenci kamu. Jadi, kenapa kamu harus kembali merasa bersalah? Semuanya akan membaik seperti sedia kala.""Mama nggak marah sama Delima?" "Kenapa Mama harus marah?""Nggak tau kenapa, Delima udah merasa nggak layak lagi tinggal di sini. Delima....""Kamu masih tetap anak Mama, Delima!" sela Mama. Air mataku kembali mengalir. Lalu Mama menarikku dalam pelukan."Mama mengerti apa yang kamu rasakan saat ini, Delima. Terlepas bagaimanapun perasaan kamu pada Raka, tetap kamu pasti akan merasa kehilangan pasca perceraian. Merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri kamu. Benar, kan?" Aku mengangguk."Itu yang membuat Mama sayang sama kamu. Kamu masih punya hati untuk tak langsung melupakan anak Mama begitu saja. Tak langsung berpaling pada laki-laki lain hanya karena sudah mer
Aku jadi gugup mendengar pertanyaannya. Tak menyangka kalau Mas Deni masih ada di rumah saat ini. Rona wajahnya tampak bahagia menyambut kedatangan kami."Eh, Mas Deni di rumah," sapa Bik Inah. "Bibik mau beres-beres, Mas. Mbak Delima juga mau ikut katanya.""Oh, iya, Bik. Masuk aja, Bik."Bik Inah segera masuk, aku sedikit menunduk memberi hormat pada empunya rumah, lalu mengikuti langkah Bik Inah untuk masuk ke dalam."Hem, Delima!" Langkahku terhenti sebelum melewati Mas Deni yang masih berdiri di ambang pintu."Iya, Mas?" jawabku semakin gugup."Gimana kabar kamu?" Dia bertanya seperti kami tinggal berjauhan saja."Delima baik-baik aja, Mas.""Udah lebih tenang?""Iya, Mas. Makasih ya, atas perhatiannya.""Iya, Mas jadi khawatir karena kamu ngurung diri terus.""Iya, maaf. Udah buat Mas khawatir.""Oh, iya. Kamu ke sini untuk...." Mas Deni menggantung ucapannya."Delima mau bantuin Bik Inah, Mas. Nggak boleh, ya?""Eh, bukan, bukan. Boleh, kok. Mau datang kapan aja boleh. Mas mal
"Seperti yang kamu lihat. Mas Selalu sendiri, kan? Mas nggak punya pacar.""Iya, tapi kan Delima nggak pantes buat Mas Deni. Delima cuman orang kampung yang nggak punya pendidikan apa-apa.""Buktinya kamu pantes buat Raka. Memang apa bedanya Mas, sama Raka?"Aku terdiam. Ucapan Mas Deni benar. Mas Deni dan Mas Raka sama-sama orang kaya. Bahkan mereka satu keluarga. Lalu apa bedanya? Aku bisa menikah sama Mas Raka. Kenapa tidak mungkin dengan Mas Deni?"Anu, Mas. Itu. Delima....""Anu lagi, anu lagi." Mas Deni kembali mengusap tengkuknya. Aku tertawa kecil melihatnya dengan kegugupanku sendiri."Kalau Mas Deni suka sama Delima, terus mau apa?" tanyaku tanpa sadar. Ya, ampun. Aku langsung menutup mulut. Kenapa sekarang aku yang terlihat agresif?"Ya jadi pacarlah. Calon istri. Kamu mau nggak nikah sama Mas?"Duh, belum seminggu berpisah, Mas Deni sudah melamarku? Rasanya sangat berbeda pada saat Mbak Silvi yang melakukannya. Ada rasa bahagia di hatiku. Merasa benar-benar dihargai dan in
Aku begitu terkejut mendengar ucapan Mama. Tiba-tiba saja timbul rasa bersalah di hatiku. Aku tak dapat lagi menahan air mata, membayangkan bagaimana perasaan Mbak Silvi saat ini. Apa lagi yang sedang terjadi pada mereka?Terakhir kali saat masuk rumah sakit, Mbak Silvi dan Mas Raka bertengkar hebat. Apa kali ini terjadi lagi? Atau jangan-jangan Mas Raka masih menyalahkan Mbak Silvi atas perceraian kami? Atau malah membahas lagi soal utang piutang itu?Aku langsung masuk dan bersiap-siap. Rasanya baru saja aku ingin mulai menenangkan diri dari semua masalah. Baru sebentar saja aku dapat merasakan kebahagiaan bersama laki-laki yang aku sukai. Tapi tiba-tiba saja mendapatkan berita duka seperti ini. Wajah Mama tampak pucat. Mama juga pasti merasa sangat terpukul. Meski anak Mbak Silvi bukanlah cucu pertama yang paling dinanti, tapi hati Mama juga pasti merasa sangat sakit. Terlepas dari hal-hal yang sudah membuatnya marah, namun tampak jelas bahwa dia begitu menyayangi menantu wanita s
Bukannya aku tak punya perasaan, hanya saja aku lebih mementingkan pekerjaan dan menjaga Bue saja. Saat laki-laki itu berpaling, dan memacari wanita lain, aku cemburu. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Marah pun tidak boleh. Takut ditertawakan karena merasa aku bukan siapa-siapanya. Begitu juga dengan Mas Raka. Sempat merasa cemburu dan perih di hati ini saat melihat dia bermesraan dengan Mbak Silvi. Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan menahan perasaan seorang diri."Cemburu sama siapa? Sama Raka?" Mas Deni langsung menebak. Mukanya kembali cemberut."Bukan, bukan." Sanggahku cepat."Terus? Emang kamu pernah cemburu sama laki-laki lain?" Aku mengangguk. Dia semakin merengut."Siapa?""Anu, itu.""Kan, anu-anuan lagi.""Anu, Mas. Itu. Wanita cantik yang jagain tokonya Mas Deni. Suka curi-curi pandang sama Mas Deni. Mas Deni pacaran sama dia, ya?"Akhirnya bisa juga kuutarakan perasaanku padanya. Saat aku diajak ke kantornya waktu itu, ada seorang gadis yang terus memandang ke arah kami. Ak
"Mbak. Delima mau jujur sama Mbak. Sekali pun, Delima belum pernah tidur dengan Mas Raka." Aku berucap tegas. Mbak Silvi tampak terkejut."Jangan bohong, Delima. Mbak nggak akan marah atau merasa cemburu lagi sama kamu. Saat Mbak nyuruh Mas Raka untuk tidur di kamar kamu, Mbak ikhlas. Karena itu hak kalian sebagai suami istri. Dan kamu lihat sendiri, setiap malam Mas Raka tidur di kamar kamu.""Enggak, Mbak. Mas Raka tidur di ruang tamu.""Di ruang tamu?" Mbak Silvi menatapku tak percaya. "Kenapa?"Ingin sekali rasanya aku menceritakan tentang kejadian waktu itu. Namun aku tak mau Mbak Silvi semakin sedih dan frustasi karena sudah jauh-jauh hari aku mengetahui rencana jahatnya waktu itu. Juga tentang pengakuan Mas Raka bahwa dia sudah jatuh cinta padaku."Delima nggak sanggup menghianati Mbak Silvi." Hanya itu yang bisa kujawab atas keraguannya."Tidak, Delima. Kamu pasti bohong hanya untuk menyenangkan hati Mbak aja, kan? Nggak mungkin kalian tidur terpisah. Dan nggak mungkin Mas Rak
Tapi begitu usulan itu diucapkan Mama, Mbak Silvi menolak. Tak ingin berpisah dari Mas Raka, meski hanya sementara. Akhirnya Mama mengalah, asal ada yang menemani Mbak Silvi.Aku juga menceritakan tentang ketakutan Mbak Silvi yang tidak masuk akal tadi. Itu mungkin hanya halusinasinya saja. Mana mungkin wanita bernama Indah itu tega membunuh suaminya sendiri, apa lagi sampai membuat Mbak Silvi keguguran."Apa mungkin sekarang Mbak Silvi mengalami gangguan mental ya, Mas?" tanyaku pada Mas Deni, saat mobil sedang melaju."Ya, mungkin aja. Sejak awal menyuruh suaminya untuk menikah lagi pun, Mas pikir bukan hal yang wajar.""Iya, benar. Seperti terburu-buru dan memaksakan. Aneh ya, Mas?""Lebih aneh lagi yang nerima lamaran. Mau aja dijadiin istri kedua," sindirnya."Dih, Mas Deni. Kan waktu itu Delima nggak punya pilihan.""Makanya kalau butuh uang bilang sama Mas. Mas kalau nolong nggak minta pamrih.""Kita kan belum kenal, Mas.""Oh, iya juga ya.""Ish. Mas Deni. Delima lagi serius j
Aku membaringkan diri di kamar. Usai mengantarku, Mas Deni langsung pulang. Aku pun belum jadi mengatakan bahwasanya aku masih gadis, seperti wanita yang belum menikah. Lain kali saja kutanyakan pada Bik Inah bagaimana cara memulainya.Baru saja mataku akan terlelap, ponselku berdering lagi. Padahal baru selesai ngobrol dengan Mas Deni. Apa mungkin dia ingin menyambung obrolan tadi? Aku meraih ponsel di atas nakas. Lalu menatap nama siapa yang ada di sana.Mas Raka? Malam-malam begini? Mau apa dia? Kalau terjadi apa-apa pada Mbak Silvi, bukankah sudah ada Mama di sana. Karena penasaran aku pun menjawab panggilannya."Dek?" Mas Raka cepat menyapa saat aku menggeser layar menerima panggilan."I-iya, Mas. Ada apa?" Terus terang aku masih gugup jika berbicara dengannya."Kamu belum tidur?""Ini baru mau tidur, Mas.""Ini sudah hampir tengah malam, Dek. Kenapa hape kamu dari tadi online terus?"Eh, rupanya Mas Raka juga memperhatikan profil akun whatsappku. "Oh, iya, Mas. Delima habis nel