Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Maya terduduk di tepi ranjang, pandangannya kosong menatap lantai. Air mata yang sejak tadi mengalir perlahan mengering. Pertengkaran dengan Bima mengenai keluarganya, selalu berakhir tanpa ujung. Menyisakan Maya sebagai pihak yang terluka.
Pintu kamar berderit pelan, suara langkah Bima terdengar mendekat. Maya tidak beranjak, tetap terdiam. Dia terlalu lelah untuk bicara.
“Maya … ” Suara Bima terdengar lembut, penuh kehati-hatian. Dia mendekati istrinya, duduk di tepi ranjang. Namun tidak langsung menyentuh Maya.
Maya tetap diam. Dia menolak menatap Bima.
Bima menarik napas panjang. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku tahu aku seharusnya membelamu tadi. Tapi aku bingung, Maya. Papa, Mama, keluargaku, mereka punya ekspektasi tinggi terhadap aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat semua orang bahagia,”
Maya akhirnya menoleh, menatap Bima dengan mata yang masih merah. “Semua orang bahagia? Siapa yang kamu maksud? Aku? Atau keluargamu?”
Bima terdiam sejenak. Dia menggeser tubuhnya lebih dekat ke Maya, menggapai tangan istrinya.
“Kamu tahu aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kita bisa melalui semua ini bersama-sama. Aku butuh kamu,” ucap Bima.
Maya menggelengkan kepala. “Kamu bilang butuh aku, tapi kamu bahkan tidak mendengarkanku. Kamu membiarkan mereka menghina aku, Bima. Kamu membuat aku merasa sendirian,”
Bima menunduk. “Aku tahu,” gumamnya. “Aku tahu aku salah. Aku egois. Aku terlalu memikirkan bisnis dan keluarga tanpa mempertimbangkan perasaanmu. Tapi aku tidak mau kehilangan kamu, Maya. Kamu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku,”
Kata-kata itu. Meski terdengar sederhana, menyentuh sesuatu yang dalam di hati Maya. Dia menatap Bima, mencari kejujuran dalam mata suaminya. Untuk pertama kali malam itu, Maya melihat penyesalan di wajah Bima.
“Aku lelah. Aku lelah selalu berusaha, tapi tetap merasa tidak cukup,” Maya berbisik, suaranya bergetar.
Bima menarik tubuh Maya ke dalam dekapannya. “Aku janji, aku akan berusaha lebih baik. Aku akan lebih mendengarkan kamu. Aku akan melindungi kamu, seperti seharusnya aku lakukan. Beri aku kesempatan,”
Maya terdiam. Sebagian dari dirinya ingin percaya, ingin memberi kesempatan seperti yang diminta suaminya. Tapi di sudut lain hatinya, ada luka yang masih menganga.
Maya akhirnya menghela napas panjang. “Kita lihat nanti, Bima. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Kamu harus membuktikan kalau aku benar-benar penting buat kamu,”
Bima mengangguk. Dia memeluk Maya, membiarkan kehangatan tubuhnya mencoba menyembuhkan luka di hati Maya.
***
“Kamu sering sekali ke sini, Bim. Maya mana?” tegur Sulastri saat melihat Bima masuk ke dalam rumahnya.
Bima menghela napas lalu merebahkan tubuh di sofa panjang di depan televisi. “Dia sibuk,”
“Sibuk apa? Dia kan cuma di rumah saja,” Sulastri mencibir.
“Maya lagi di kafe, Ma. Dia sedang menyelesaikan proyek desainnya,”
Sulastri makin mencibir dengan pandangan tak lepas dari layar televisi. “Proyek desain? Hah!” Sulastri mendengus, meletakkan cangkir teh di meja dengan sedikit kasar. “Apa gunanya itu semua? Bukannya uang hasil kerja kerasmu selama ini yang dia pakai untuk modal ‘main-main’ itu?”
“Ma, Maya juga punya hak untuk melakukan apa yang dia suka,” jawab Bima, meskipun nadanya mulai lelah.
Sulastri tidak menyerah. “Kalau dia punya hak, kamu juga punya kewajiban untuk memastikan keluargamu tidak jatuh miskin! Kita ini dalam situasi sulit, Bima. Dan perempuan itu—” Dia menunjuk dengan nada meremehkan. “—malah sibuk sendiri, bukannya bantu keluargamu yang sudah susah payah membesarkan kamu!”
“Cukup, Ma,” sela Harjono, meski tidak untuk membela Bima atau Maya. Dia hanya terganggu dengan suara keras istrinya. “Bima, apa kamu sudah bicara dengan Maya? Apa dia sudah setuju untuk menjual aset itu?”
Bima terdiam. Dia merasa seperti sedang dihakimi dari segala arah. Dia tahu aset yang dimaksud ayahnya—sebuah tanah di kawasan sentral yang nilainya luar biasa tinggi. Tanah itu adalah peninggalan orang tua Maya, sesuatu yang sangat berarti bagi Maya.
“Bima, kita tidak punya banyak waktu. Perusahaanmu sudah di ujung tanduk. Kalau tanah itu dijual, kita bisa menyelamatkan bisnis ini. Kamu hanya perlu membujuk Maya. Dia istrimu, dia pasti akan menuruti permintaanmu,”
Sulastri mengangguk setuju. “Benar. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan berpikir dua kali. Tapi kalau dia masih keras kepala … ” Sulastri mengangkat bahu dengan dramatis. “Aku tidak tahu lagi, Bima. Mungkin dia memang cuma memikirkan dirinya sendiri,”
Bima menggosok wajahnya dengan kedua tangan, frustrasi. Dia tahu tekanan ini tidak akan berhenti sampai dia memberikan jawaban yang memuaskan.
“Aku sudah bicara, Pa, Ma. Tapi Maya belum yakin. Aku tidak bisa memaksa dia begitu saja. Itu aset yang sangat dia jaga,” jawab Bima.
Harjono mengerutkan dahi. “Kamu ini laki-laki atau bukan? Maya itu istrimu. Tugasmu adalah meyakinkan dia kalau ini demi masa depan kalian bersama. Kalau dia benar-benar peduli pada keluarga, dia akan mengerti,”
“Benar,” tambah Sulastri. “Apa kamu mau kehilangan perusahaanmu, Bima? Lihat betapa kerasnya papamu bekerja untuk memastikan semuanya tetap bertahan. Sekarang giliran kamu membuktikan dirimu!”
Tekanan dari kedua orang tuanya membuat Bima merasa seperti dipojokkan. Di satu sisi, dia tahu apa yang mereka katakan ada benarnya.
“Baiklah,” Bima akhirnya menjawab dengan suara pelan. “Aku akan bicara lagi dengan Maya. Tapi aku tidak janji dia akan setuju,”
“Pastikan dia setuju, Bima,” ujar Harjono dengan nada ancaman. “Kalau tidak, kamu sendiri yang akan kehilangan segalanya,”
***
Maya pulang dari kafe. Saat membuka pintu rumah, keheningan menyambutnya. Biasanya Bima akan terdengar menonton televisi atau bekerja di ruangannya, tetapi malam ini suasana terasa sunyi.
Lampu ruang tamu menyala redup dan pemandangan di depannya membuat Maya terkejut. Tubuh Bima tergeletak di lantai, dengan beberapa botol minuman keras berserakan di sekitarnya. Maya tertegun, tubuhnya membeku di tempat.
“Bima!” Maya memekik, berlari menghampiri suaminya. Dia berlutut di samping tubuh Bima yang lunglai, mengguncang bahu Bima dengan panik. “Bima, bangun! Apa yang terjadi?”
Bima membuka matanya yang sayu, napasnya mengeluarkan aroma alkohol yang kuat. “Maya … ” Suaranya serak, hampir seperti bisikan. Dia mencoba duduk, tetapi tubuhnya terlalu lemah.
“Apa yang kamu lakukan?” Maya bertanya. Separuh marah, separuh khawatir. Dia membantu Bima duduk bersandar pada sofa. Lalu memeriksa wajah dan tubuh Bima untuk memastikan tidak ada luka atau cedera.
Bima menatap Maya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak kuat lagi, May … ” katanya lirih. Air matanya mulai mengalir, membasahi pipinya yang memerah.
Maya terkejut melihat Bima, yang selama ini dikenal sebagai pria tegar dan ambisius, tiba-tiba hancur seperti ini. “Apa maksudmu? Beban apa, Bim? Ceritakan padaku,” pintanya.
Bima menundukkan kepala. Tangannya gemetar saat mencoba mengusap wajah. “Perusahaan ... Perusahaanku akan bangkrut,”
Abi demam tinggi malam itu. Tubuh mungilnya menggigil meski sudah diselimuti rapat-rapat. Bima panik. Ia mondar-mandir di kamar, tak tahu harus melakukan apa. Tangan gemetar saat menyentuh kening Abi yang panas membara. Nafas anak itu terdengar berat, diselingi isakan kecil yang membuat dada Bima seperti diremas."Abi... bangun, Nak..." suara Bima bergetar, mencoba membangunkan Abi yang matanya terpejam namun gelisah. Tak ada jawaban. Panik sepenuhnya menguasainya.Tanpa pikir panjang, Bima menggendong Abi dan berlari menuju mobil. Tengah malam, hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Tapi dia tak peduli. Hanya ada satu hal dalam pikirannya: selamatkan Abi.Sesampainya di rumah sakit, Bima nyaris menjatuhkan kunci mobil saat turun. Suster langsung menyambut dan membawa Abi ke ruang observasi. Bima mengejar, tak peduli dengan prosedur atau administrasi.Waktu terasa begitu lambat. Dia duduk di ruang tunggu dengan tangan mencengkeram ujung kursi. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya, dia be
Langit mendung menggantung rendah ketika Maya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dingin. Bau logam dan lembab menyambutnya, seolah penjara itu tidak hanya mengurung tubuh manusia, tetapi juga menyimpan semua sisa dosa yang tak pernah sempat ditebus. Petugas mengantar Maya tanpa banyak kata. Di wajah wanita itu tak ada senyum, hanya ekspresi datar—dingin seperti batu nisan.Di balik dinding kaca dan jeruji, Nina duduk membungkuk, tubuhnya tampak lebih kecil daripada terakhir kali Maya melihatnya. Wajahnya pucat dengan luka memar masih membekas di pelipis. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, tapi berubah tegang saat menyadari siapa yang berdiri di seberang kaca.Maya duduk perlahan. Ia tidak mengucapkan salam. Tidak menanyakan kabar. Hanya menatap Nina seperti seseorang memandangi bangkai hewan di pinggir jalan—penuh jijik, tapi tidak cukup penting untuk ditangisi.“Kau kelihatan seperti bayangan dirimu sendiri,” ucap Maya akhirnya, suaranya tenang namun penuh ironi.Nina
Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk
Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.