Share

Bab 7. Kejutan Dari Embun

Bab 7. Kejutan Dari Embun

******

“Tante yang akan bicara dengan Embun masalah itu. Tugasmu adalah buat dia hamil lagi!”

“Maksud Tante? Jangan ngawur, Tan! Kemarin aja, Raya masih umur setahun, dia sudah hamil si Radit, sekarang radit masih enam bulan, Tan, mau di suruh hamil lagi?”

“Enggak ada cara lain. Kalau Dia hamil, dia akan sibuk dengan kehamilannya, mabuklah, ngidamlah, melahirkan, nah, di situ kita  lancarkan tujuan kita.”

“Ok, Tante, aku ngerti.”

“Awas kalau gagal lagi! Kamu kerja yang bagus, cari selah agar Mas Rahmad tak ragu menyerahkan jabatannya padamu! Tante akan menemui Embun sekarang.”

Wanita itu berlalu.  Aku harus menyusun rencana agar bisa menghabiskan malam bersama Embun. Supaya perempuan itu segera hamil lagi.

***

Pukul lima tepat, aku sudah berada di depan gerbang. Aku harus berubah mulai sekarang, tak akan membunyikan klakson mobil seperti biasanya. Agar Embun tak kelelahan berlari lari membukakan pintu gerbang seperti biasanya. Semoga dengan begini dia bersimpati dan tak susah untuk kuajak nanti malam.

Tetapi, tanpa kuklakson pun ternyata pintu gerbang  ada yang membukakan. Siapa perempuan setengah baya ini?

Bergegas aku masuk ke dalam rumah. Tidak ada suara tangis Radit dan rengekan Raya seperti biasa. Yang ada justru tawa cekikan putri kecilku sedang bermain dengan seorang perempuan berseragam. Sementara Radit sedang disuapi bubur oleh seorang baby sitter yang satunya. Mereka mengangguk hormat saat melihat aku masuk.

Kupindai seluruh ruangan rumah besarku. Terlihat bersih, rapi dan wangi.

“Papa … ini ada Tak Yika  cama Tak Yana, ayo calim, duyu!” Raya menarik lenganku. Terpaksa kusalam kedua babysitter itu.

“Bapak sudah pulang? Kalau mau mandi pakai air hangat, akan saya sediakan.” Seorang perempuan setengah  baya  menyapaku. Bukan yang membuka gerbang tadi.

Kenapa keempat perempuan ini masih berada di rumahku? Bukankah Tante Siska sudah berjanji, akan mengusir mereka hari ini juga? Apakah Tante gagal? Wah, gawat  kalau begini. Jalan satu-satunya hanyalah rencana kedua. Membuat Embun segera hamil. Tak bisa ditunda lagi.

Aku melangkah menuju  kamar.  Namun, perempuan itu tak kutemukan.  Ke mana dia.

“Raya!” teriakku memanggil.

Putri kecilku berlari memenuhi panggilan diiringi pengasuhnya.

“Mana Mama?” tanyaku  begitu dia muncul di hadapan.

“Mama cayon,” jawab Raya dengan mulut membulat. “Mama cayoon,” ulangnya sekali lagi.

“Ibu pergi ke luar, Pak. Katanya mau ke salon,” pengasuhnya membantu menjawab.

“Salon?” teriakku kaget.

Embun, istriku yang lugu,  yang enggak kenal make up, hari ini ke salon?  Kenapa dia  ke salon? Ada apa dengan dia sebenarnya? Huh, panas dingin rasanya tubuh ini sekarang.

“Sudah, main lagi sana!” ucapku mengusir mereka.

Kulemparkan tubuh ke atas Kasur.  Sakit kepala ini memikirkannya. Bayangan kemiskinan menari di pelupuk mata. Bagaimana kalau aku gagal menguasai perusahaan?   Bagimana kalau Embun mendepak aku? Gawat! Tetapi Embun tak mungkin melakukannya, bukan? Tak ada alasan dia mendepakku. Embun istri yang penurut, selalu tersenyum, dan tak pernah membantah. Iya, istriku belum berubah, tak akan pernah berubah.

***

“Udah pulang, Mas? Maaf, aku telat, antri tadi di salon.” Embun meraih tanganku, lalu menciumnya seperti biasa.

“Kamu dari mana? Salon?” sergahku menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ke mana daster lusuhnya, rambut yang biasa digelung itu kini terurai cantik menghiasi kepala dan wajah. Aroma wangi lembut menguar dari tubuh semampai.   Cantik sempurna. Iggatanku melayang ke masa tiga tahun silam, saat pertama kali aku jatuh hati padanya. Ternyata istri cantikku ini telah kembali.

“Iya, Mas. Aku tadi ambil paket khusus. Perawatan tubuh, wajah dan kulit. Udah tiga tahun, enggak pernah lagi, kan? Sekarang tubuhku rasanya fres banget.  Untung salon langgananku itu masih mengenaliku. Namaku juga belum dicoret dari daftar pelanggan.

“Kamu bayar salon pakai apa?” tanyaku  mengingat jatah bulanan yang kuberikan padanya tak akan cukup membayar biaya salon.

“Tenang, aku enggak akan meminta pada Mas.” Perempuan itu membuka lemari pakaian, mengeluarkan sehelai baju tidur, lalu masuk ke kamar mandi.

Aku semakin takjub saat dia keluar telah bertukar pakaian. Baju tidur berwarna pink soft  melekat di tubuh,  sumpah membuat naluri liarku mengawang.

“Tadi Mama ke sini,” ucapnya sambil mematut diri di depan cermin rias.

“O, ya. Ngapain?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Masa dia memaksa aku memulangkan semua asisten itu, kutolaklah,” jawabnya melirikku dari pantulan cermin.

Aku bergeming, bingung harus berkomentar apa sekarang.

“Darimana, ya, Mama tahu aku ambil asisten?”

“Oh, eng …  enggak ngerti juga.”

“Kirain, Mas  yang lapor.”

Aku menelan saliva.

Pintu kamar di ketuk. Embun bangkit, seorang babysitter mengantarkan Radit.

“Sebenarnya setelah Ibu susui, dia bisa tidur  di kamar kami. Jadi, tidur Ibu tidak terganggu,” kata perempuan itu.

“Tidak usah, sekarang saya mulai beraktivitas di luar rumah bila siang hari. Biarlah  dia bersama saya di malam hari. Tolong urus Raya saja, ya!” jawab Embun ramah.

“Baik, Bu, permisi!”  Embun kembali menutup pintu.

“Minum dulu, ya, Sayang! Setelah itu bobok,” ucapnya sambil membuka kancing baju tidurnya beberapa buah bagian atas. Menempelkan mulut mungil Radit di dada montok itu.

Dengan sabar aku menunggu giliran. Setelah Radit puas menyusu, rencana akan kujalankan.

Tak menunggu lama, Radit tertidur. Embun meletakkannya di dalam box. Lalu membaringkan tubuh indahnya di sampingku.

“Mas enggak keluar malam ini?” tanyanya menatapku sekilas, lalu meraih ponselnya di atas nakas. 

“Untuk apa aku keluar?” tanyaku  mulai memeluk pinggangnya.

“Kasihan Sandra nungguin,” lirihnya sembari memainkan benda pipih di tangannya.

“Sandra?” Aku terkejut, kutatap lekat bola matanya.

“Iya, Sandra. Kenapa terkejut?” balasnya menatapku.

“Aku enggak ngerti ucapanmu, Sayang. Tapi sudahlah!  Tak usah dibahas, aku mau kamu memenuhi janjimu tadi malam,” tuturku mulai mengelus bibir ranum dan menantang itu.

“Janjiku tadi malam? Bukankah sudah dituntaskan oleh Sandra?” sergahnya menahan elusan jemariku.

Embun membuatku  terperangah. Ucapannya seperti bom yang meledak dasyat. Bom yang sebenarnya telah lama ada, aku sendiri yang menciptakannya. Sungguh tak disangka, remot control justru berada di tangannya. Suka hatinya kapanpun  meledakkannya. Wajah cantik itu terlihat masih semringah, senyum tak lekang di bibir yang kian menggoda.

“Apa maksud perkataanmu? Kenapa dari tadi kamu nyebut nama Sandra?” tanyaku pura-pura tersinggung. Padahal sesungguhnya ketakutan  semakin mendera.

“Jangan emosi, dong, Mas! Aku nyebut nama Sandra, karena memang nama itulah yang ada di hatimu, iya, kan? Oh, iya, gimana tadi di kantor?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan Embun! Kita bahas sekarang, kenapa kau sering menyebut nama Sandra?”

“Kan udah aku jawab. Karena hanya nama itu yang selalu melintas di otakmu, Mas. Sampai-sampai saat bekerja pun kamu enggak bisa lepas dari dia. Gimana serangan Sandra di sofa merah ruangan Mas tadi pagi?”

Aku tercekat.  Kupandangi wajah yang tetap tersenyum itu. Apa maksudnya dengan serangan Sandra di sofa merah tadi pagi? Apakah dia tahu kalau aku dan Sandra tadi pagi …?

******

Mohon dukungannya untuk memberi ulasan agar bintangnya nyala, ya. Mohon sumbangannya gemnya, juga. terima kasih.

Komen (17)
goodnovel comment avatar
Sunni Sakari
aku suka cara embun
goodnovel comment avatar
Maya
Kaget gak tuh
goodnovel comment avatar
Devy Joice
asyik mantap baru taurasa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status