Share

Bab 8. Terjangan Embun Menolakku

Bab 8. Terjangan Embun Menolakku

*****

“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.

“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”

“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”

“Kenapa  kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”

“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku!  Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam belati mengiris gendang telinga.

“Sayang, aku aku … sebenarnya, aku dan Sandra, tidak ada hubungan apa-apa. Sumpah, aku –“

“Sudahlah, Mas! Aku juga tidak pernah menanyakannya, kan? Aku enggak masalah kamu berhubungan atau tidak dengannya. Hanya saja, aku kok jijik ya, sama kamu, sekarang. Kalau kemarin, sih, aku masih memikirkan tugas dan kewajibanku sebagai istri. Makanya aku  mau melayanimu. Tapi, sekarang, maaf, aku enggak bisa.”

“Aku tidak pernah melakukan apa-apa dengan Sandra, Embun, kenapa kau curiga?”

“Aku enggak curiga, Mas! Aku memang melihat kenyataannya. Aku lihat bagaimana Mas menikmati bibir  perempuan itu! Aku melihat bagaimana  kalian …. Ah, sudahlah! Aku mual bila mengingatnya!”

“Cukup!  Jangan  ngarang kamu! Kau boleh cemburu, tapi, jangan langsung menuduh seperti itu!” teriakku emosi. Darah rasanya sudah naik ke ubun-ubun, menggelegak bukan karena tersinggung di tuduh seperti itu, tapi emosi kenapa dia tahu peristiwa tadi pagi. Dari mana dia tahu?

“Aku enggak ngarang! Buang waktuku aja, dong,  ngarang tentang kebejatan kamu, tahu enggak! Tapi aku ngeliat sendiri! Jijik!”

“Kapan kau lihat!” teriakku tak sadar.

“Owaaaa … owaaaa ….” Radit terbangun.

“Kurang kencang, Mas, teriaknya! Biar seisi rumah ini terbangun,” ketusnya langsung bangkit, meraih Radit di dalam boxnya yang menangis karena terkejut.

“Lantas darimana kamu tahu tuduhanmu itu, kalau bukan ngarang!” tanyaku masih berteriak, meski tak sekencang tadi. 

Embun tak menjawab, dia sibuk menenangkan Radit yang masih merengek. “Cep, Sayang, cep, ini … minum lagi, ya! Ayo hisap! Iya, pinter, anak Mama!”  bujuknya menempelkan mulut Radit di dadanya.

Aku bangkit, menghenyakkan tubuh di bibir ranjang, tepat di sisinya.

Embun langsung bergeser, dan menghadap ke  arah lain, menghalangi pandanganku ke dadanya. Sikapnya ini sangat menyiksa. Dulu dia tak peduli meski aku melihat dia menyusui Raya dan sekarang Radit. Tapi, kenapa mulai tadi pagi  dia berubah, seolah aku adalah orang asing yang tak boleh melihat tubuhnya. Apa maksudnya?

“Sayang, sebaiknya kita jangan bertengkar, ya! Kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin,” usulku setelah menghela napas pelan. Sepertinya aku harus mengalah, bersikap lunak saja menghadapinya.

“Sebenarnya tak  ada yang perlu dibicarakan, Mas, tidurlah! Aku nidurkan Radit dulu!” jawabnya masih membelakangiku.

Aku enggak enak kamu berperasangka buruk tentang hubunganku dengan Sandra, Sayang. Yang kau tuduhkan itu sama sekali tidak benar,” lirihku memeluk pinggangnya dari belakang. Tubuhku  kini menempel di punggungnya.

“Maaf, Mas. Aku sedang nidurkan Radit, jangan peluk-peluk seperti ini! Tolong  berhenti bahas Sandra. Tidurlah!”

Aku melepas pelukan. Menghentak napas kasar. Embun tak peduli. Percuma memaksakan diri. Sudahlah, sepertinya dia sedang marah meski bibirnya selalu tersenyum. Tak  ada kata-kata kasar terucap, tapi, semakin halus ucapannya, semakin terasa tajamnya.

Beringsut aku ke  tempat semula. Berbaring menatap langit-langit kamar penuh tanya. Esok, pasti akan kuselidiki, dari mana Embun tau hubunganku dengan Sandra. Dari mana dia tahu aku  berciuman dengan sekretaris itu di sofa tadi pagi? Tante Siska? Tidak mungkin dia yang melaporkan? Jangan-jangan Embun punya mata-mata di kantor, tapi siapa? Bukankah sudah teramat sering aku bermesraan dengan Sandra di kantor? Sofa merah di ruanganku sebagai saksi bisu. Tak mungkin sofa itu yang mengadu pada Embun. Selama ini baik-baik saja, Embun juga tak perah curiga. Kenapa sekarang jadi runyam semua? Apakah manager  baru itu? Ya, sepertinya dia sengaja ditugaskan Embun untuk mematai-matai aku.  Besok akan kupastikan ini.

Embun meletakkan Radit kembali ke dalam box. Sepertinya putra tampanku sudah terlelap lagi. Kulihat, dada Embun menyembul sebelah. Air ASI masih menetes dari sana.  Sepertinya Embun lupa menutupnya lagi karena fokus kepada Radit.

Wanita yang sangat menggiurkan itu kini berbaring di sampingku. Aku pura-pura memejam mata agar dia mengira aku telah lelap. Mungkin malam  ini niatku tak bisa terlaksana. Akan kutunggu hingga hatinya dingin. Mungkin esok pagi saja, saat dia telah lupa dengan kemarahannya.

Tetapi, mata ini tak mau diajak kerja sama. Aku melirik kembali ke dada Embun yang masih terbuka. Aaargh  … aku tak tahan lagi. Kepala terasa pening diserang hasrat yang kian membara. Harus  dituntaskan sekarang juga.

Dengan sekali gerakan aku mulai menyerang. Embun tak berdaya dalam rengkuhanku. Sekuat apapun dia menolak, tenagaku tentu jauh lebih kuat. Bibirnya habis kulumat, wanitaku kini pasrah, diam tak bergerak. Namun, tiba-tiba pandanganku gelap, tubuhku terjugkal ke lantai, di sisi tempat tidur. Kepala berat, tak sanggup bergerak untuk sesaat.

Samar kulihat Embun bangkit, membenahi baju tidurnya yang berantakan, merapikan rambutnya yang acak-acakan. Menyeka bibirnya dengan kasar.

“Maaf, aku spontan menerjangmu, Mas. Tapi sebaiknya kamu bersihkan dulu tubuh kotormu itu, baru kau boleh lagi menyentuhku! Aku jijik karena ada bekas Sandra di situ. Mulai sekarang, kita pisah ranjang! Aku tidur di kamar tamu!” ucapnya dengan suara tetap lembut. Kini dia  berjalan ke arah box bayi, meraih Radit, lalu menggendongnya keluar.

Aku masih diam tak bisa bergerak. Sakit di selangkagan membuatku kehilangan tenaga. Untunglah aku masih hidup. Tendangan Embun tepat sasaran. Embun … wanitaku yang lemah lembut, teryata begitu kuat. Embun … diammu ternyata menyimpan dendam.  Darimana kau tahu aku telah berselingkuh? Darimana kau tahu ada bekas Sandra di tubuh ini?  Nalurimukah? Bekas noda lipstick itukah? Atau apa?

Pelan aku bangkit, setelah rasa sakit dan kaget ini hilang. Berjalan terseok menuju kamar tamu. Mengetuk pelan, kupanggil namanya dengan penuh perasaan. Aku harus minta maaf. Aku harus bersimpuh di kakinya. Memohon ampun dan mengaku saja. Sumpah, aku tak mau kehilangannya.  Bukan hanya karena takut kehilangan hartanya, tapi karena memang aku sangat mencintainya.

Tak  ada sahutan. Berkali kuulang, tetap tak ada respon dari dalam. Kugenggam handle pintu, membukanya, berharap tak dikunci. Namun, harapanku zonk. Embun mengunci dari dalam. Terseok, aku kembali menuju kamar.

Kecewa dan sakit ini membuat jiwaku tergoncang. Penolakan Embun membuatku terhina.  Kucoba meminta maaf, tak juga diberi kesempatan. Sakit, ini terlalu sakit. Ok, aku laki-laki. Tak akan kubiarkan dia menginjak harga diriku. Kalau kau menolak, seribu cara bisa kubuat. Tunggu saja, Embun. Jangan kau pikir aku suami yang bodoh! Kedudukanmu sebagai istri, harus nurut apa kata suami. Camkan itu! Tidak hari ini, besok pasti kau kudapat.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status