Beranda / Romansa / Ketika Istriku Minta Talak / Bab 8. Terjangan Embun Menolakku

Share

Bab 8. Terjangan Embun Menolakku

last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-19 07:12:31

Bab 8. Terjangan Embun Menolakku

*****

“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.

“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”

“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”

“Kenapa  kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”

“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku!  Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam belati mengiris gendang telinga.

“Sayang, aku aku … sebenarnya, aku dan Sandra, tidak ada hubungan apa-apa. Sumpah, aku –“

“Sudahlah, Mas! Aku juga tidak pernah menanyakannya, kan? Aku enggak masalah kamu berhubungan atau tidak dengannya. Hanya saja, aku kok jijik ya, sama kamu, sekarang. Kalau kemarin, sih, aku masih memikirkan tugas dan kewajibanku sebagai istri. Makanya aku  mau melayanimu. Tapi, sekarang, maaf, aku enggak bisa.”

“Aku tidak pernah melakukan apa-apa dengan Sandra, Embun, kenapa kau curiga?”

“Aku enggak curiga, Mas! Aku memang melihat kenyataannya. Aku lihat bagaimana Mas menikmati bibir  perempuan itu! Aku melihat bagaimana  kalian …. Ah, sudahlah! Aku mual bila mengingatnya!”

“Cukup!  Jangan  ngarang kamu! Kau boleh cemburu, tapi, jangan langsung menuduh seperti itu!” teriakku emosi. Darah rasanya sudah naik ke ubun-ubun, menggelegak bukan karena tersinggung di tuduh seperti itu, tapi emosi kenapa dia tahu peristiwa tadi pagi. Dari mana dia tahu?

“Aku enggak ngarang! Buang waktuku aja, dong,  ngarang tentang kebejatan kamu, tahu enggak! Tapi aku ngeliat sendiri! Jijik!”

“Kapan kau lihat!” teriakku tak sadar.

“Owaaaa … owaaaa ….” Radit terbangun.

“Kurang kencang, Mas, teriaknya! Biar seisi rumah ini terbangun,” ketusnya langsung bangkit, meraih Radit di dalam boxnya yang menangis karena terkejut.

“Lantas darimana kamu tahu tuduhanmu itu, kalau bukan ngarang!” tanyaku masih berteriak, meski tak sekencang tadi. 

Embun tak menjawab, dia sibuk menenangkan Radit yang masih merengek. “Cep, Sayang, cep, ini … minum lagi, ya! Ayo hisap! Iya, pinter, anak Mama!”  bujuknya menempelkan mulut Radit di dadanya.

Aku bangkit, menghenyakkan tubuh di bibir ranjang, tepat di sisinya.

Embun langsung bergeser, dan menghadap ke  arah lain, menghalangi pandanganku ke dadanya. Sikapnya ini sangat menyiksa. Dulu dia tak peduli meski aku melihat dia menyusui Raya dan sekarang Radit. Tapi, kenapa mulai tadi pagi  dia berubah, seolah aku adalah orang asing yang tak boleh melihat tubuhnya. Apa maksudnya?

“Sayang, sebaiknya kita jangan bertengkar, ya! Kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin,” usulku setelah menghela napas pelan. Sepertinya aku harus mengalah, bersikap lunak saja menghadapinya.

“Sebenarnya tak  ada yang perlu dibicarakan, Mas, tidurlah! Aku nidurkan Radit dulu!” jawabnya masih membelakangiku.

Aku enggak enak kamu berperasangka buruk tentang hubunganku dengan Sandra, Sayang. Yang kau tuduhkan itu sama sekali tidak benar,” lirihku memeluk pinggangnya dari belakang. Tubuhku  kini menempel di punggungnya.

“Maaf, Mas. Aku sedang nidurkan Radit, jangan peluk-peluk seperti ini! Tolong  berhenti bahas Sandra. Tidurlah!”

Aku melepas pelukan. Menghentak napas kasar. Embun tak peduli. Percuma memaksakan diri. Sudahlah, sepertinya dia sedang marah meski bibirnya selalu tersenyum. Tak  ada kata-kata kasar terucap, tapi, semakin halus ucapannya, semakin terasa tajamnya.

Beringsut aku ke  tempat semula. Berbaring menatap langit-langit kamar penuh tanya. Esok, pasti akan kuselidiki, dari mana Embun tau hubunganku dengan Sandra. Dari mana dia tahu aku  berciuman dengan sekretaris itu di sofa tadi pagi? Tante Siska? Tidak mungkin dia yang melaporkan? Jangan-jangan Embun punya mata-mata di kantor, tapi siapa? Bukankah sudah teramat sering aku bermesraan dengan Sandra di kantor? Sofa merah di ruanganku sebagai saksi bisu. Tak mungkin sofa itu yang mengadu pada Embun. Selama ini baik-baik saja, Embun juga tak perah curiga. Kenapa sekarang jadi runyam semua? Apakah manager  baru itu? Ya, sepertinya dia sengaja ditugaskan Embun untuk mematai-matai aku.  Besok akan kupastikan ini.

Embun meletakkan Radit kembali ke dalam box. Sepertinya putra tampanku sudah terlelap lagi. Kulihat, dada Embun menyembul sebelah. Air ASI masih menetes dari sana.  Sepertinya Embun lupa menutupnya lagi karena fokus kepada Radit.

Wanita yang sangat menggiurkan itu kini berbaring di sampingku. Aku pura-pura memejam mata agar dia mengira aku telah lelap. Mungkin malam  ini niatku tak bisa terlaksana. Akan kutunggu hingga hatinya dingin. Mungkin esok pagi saja, saat dia telah lupa dengan kemarahannya.

Tetapi, mata ini tak mau diajak kerja sama. Aku melirik kembali ke dada Embun yang masih terbuka. Aaargh  … aku tak tahan lagi. Kepala terasa pening diserang hasrat yang kian membara. Harus  dituntaskan sekarang juga.

Dengan sekali gerakan aku mulai menyerang. Embun tak berdaya dalam rengkuhanku. Sekuat apapun dia menolak, tenagaku tentu jauh lebih kuat. Bibirnya habis kulumat, wanitaku kini pasrah, diam tak bergerak. Namun, tiba-tiba pandanganku gelap, tubuhku terjugkal ke lantai, di sisi tempat tidur. Kepala berat, tak sanggup bergerak untuk sesaat.

Samar kulihat Embun bangkit, membenahi baju tidurnya yang berantakan, merapikan rambutnya yang acak-acakan. Menyeka bibirnya dengan kasar.

“Maaf, aku spontan menerjangmu, Mas. Tapi sebaiknya kamu bersihkan dulu tubuh kotormu itu, baru kau boleh lagi menyentuhku! Aku jijik karena ada bekas Sandra di situ. Mulai sekarang, kita pisah ranjang! Aku tidur di kamar tamu!” ucapnya dengan suara tetap lembut. Kini dia  berjalan ke arah box bayi, meraih Radit, lalu menggendongnya keluar.

Aku masih diam tak bisa bergerak. Sakit di selangkagan membuatku kehilangan tenaga. Untunglah aku masih hidup. Tendangan Embun tepat sasaran. Embun … wanitaku yang lemah lembut, teryata begitu kuat. Embun … diammu ternyata menyimpan dendam.  Darimana kau tahu aku telah berselingkuh? Darimana kau tahu ada bekas Sandra di tubuh ini?  Nalurimukah? Bekas noda lipstick itukah? Atau apa?

Pelan aku bangkit, setelah rasa sakit dan kaget ini hilang. Berjalan terseok menuju kamar tamu. Mengetuk pelan, kupanggil namanya dengan penuh perasaan. Aku harus minta maaf. Aku harus bersimpuh di kakinya. Memohon ampun dan mengaku saja. Sumpah, aku tak mau kehilangannya.  Bukan hanya karena takut kehilangan hartanya, tapi karena memang aku sangat mencintainya.

Tak  ada sahutan. Berkali kuulang, tetap tak ada respon dari dalam. Kugenggam handle pintu, membukanya, berharap tak dikunci. Namun, harapanku zonk. Embun mengunci dari dalam. Terseok, aku kembali menuju kamar.

Kecewa dan sakit ini membuat jiwaku tergoncang. Penolakan Embun membuatku terhina.  Kucoba meminta maaf, tak juga diberi kesempatan. Sakit, ini terlalu sakit. Ok, aku laki-laki. Tak akan kubiarkan dia menginjak harga diriku. Kalau kau menolak, seribu cara bisa kubuat. Tunggu saja, Embun. Jangan kau pikir aku suami yang bodoh! Kedudukanmu sebagai istri, harus nurut apa kata suami. Camkan itu! Tidak hari ini, besok pasti kau kudapat.

*****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 206. Tamat

    Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 204. Kunjungan Suami Pertamaku

    Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 204. Sambutan Calon Mertua Layla

    Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara Bahagia

    Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)

    Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa

    Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 200. Rencana Lamaran Papa

    Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 199. Embun Hamil?

    Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a

  • Ketika Istriku Minta Talak   Bab 198. Asmara Di Dalam Mobil

    Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status