Mobil Yoga menderu memasuki pekarangan rumah ibunya. Mendengar suara mobil Yoga, seorang ibu paruh baya keluar dari dalam rumah lalu menyambut sang anak dengan senyum manis. "Wah anak Ibu sudah pulang rupanya. Gimana reaksi Lia ketika tadi kamu bawain itu mobil ke sana? Dia kaget nggak?" Bu Lasmi nampak penasaran. Yoga tersenyum sinis mendengar pertanyaan ibunya. "Tentu saja wanita kampungan itu kaget, Bu." jawab Yoga sumringah. "Bahkan dia seperti gak percaya kalo kita habis beli mobil baru. Bahkan tadi udah pengen nyoba-nyoba naik ke mobilku." Yoga nyengir. "Terus kamu izinin, nggak?" "Ya nggaklah. Kukunciin ajah itu pintu mobilnya." sahut Yoga.Nu Lasmi terkekeh mendengarnya. "Baguslah kalo gitu. Biar tahu rasa dia. Biarin dia tahu kalo kamu jauh bisa sukses tanpa andil dari istri kayak dia. Ya udah, sekarang kamu sarapan sana! Ibu udah nyiapin saraoan lezat nuat kamu."
Lia sibuk menata barang di toko. Sedangkan Chika sibuk dengan ponsel ibunya. Sesekali, Lia memang mengizinkan anak itu untuk memainkan benda pipih tersebut, asalkan dengan waktu yang tak terlalu lama. Yoga tidak pernah tahu jikalau Lia sudah berhasil membeli sebuah toko baru. Yang Yoga ketahui, Lia hanyalah seorang penjual online yang hilir mudik mengatur pesanan yang menurut Yoga tidak seberapa besar nilai penghasilannya. Pendek kata, Yoga tidak pernah mengetahui sejauh mana sepak terjang sang istri. "Maaa! Coba Mama lihat ini!" tiba-tiba Chika berteriak. "Ya, ada apa, Nak?" Lia mendekati Chika. Cepat-cepat Chika menunjukkan beberapa foto dan siaran langsung dari akun media sosial yang amat Lia kenal. Sedikit jantung Lia berdetak kencang melihat postingan dan siaran langsung di skun Melisa tersebut. Dengan jelas terlihat Melisa sedang memposting kebersamaan antara dia, Bu Lasmi, Yoga, dan ju
Lia sedang sibuk menata barang-barang di toko ketika telepon genggamnya berdering. Lia melirik layar ponsel. Wajah si ibu mertua terpampang di sana. "Ibu? Untuk apa lagi dia menghubungiku?" Lia merasa heran. Namun mengingat setiap menelepon, Bu Lasmi tidak pernah mengatakan hal-hal penting kecuali umpatan dan celaan, akhirnya Lia memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut. Lia berfikir jika mengangkat telepon dari wanita paruh baya itu, maka pasti hanya akan mengundang perselisihan belaka. Seperti tak bosan-bosannya menghubungi, panggilan dari Bu Lasmi selalu saja berulang-ulang. Namun berulang-ulang pula Lia mengabaikannya. "Terserah dia mau apa. Aku sudah malas meladeni beliau bicara, tidak lain dan tidak bukan hanya akan bikin sakit hati aja." batin Lia. Lia sibuk kembali dengan packing-an packing-an pelanggannya. Menata barang dan mengecek mana barang stoknya mulai menipis. Di beberapa platfor
"Mbak Lia! Hati-hati kalo ngomong!" Melisa berujar kasar. "Sebaiknya peringatan itu berbalik sama kamu, Mel. Kamu yang seharusnya tahu cara berbicara yang baik kepada sama ipar." "Enak ajah! Nggak! Aku gak akan bisa menghormati kakak ipar seperti kamu!" Melisa menolak mentah-mentah ucapan Lia. "Kalau begitu, sama halnya sama aku. Aku juga gak akan bisa menghormati adik ipar kayak kamu." Melisa mengepalkan tangan. Tingkah Lia benar-benar menguji adrenalin. Selama ini jarang-jarang ada yang mau meladeninya. Tapi sekarang Melisa merasa mendapatkan perlawanan. Sepertinya ia sedang diuji oleh ipar sendiri. "Keluar kamu dari rumah ini, Mbak! Sudah cukup aku sabar telah membiarkan kakakku memelihara wanita sialan kayak Mbak. Mbak di sini cuma numpang di rumah kakakku saja! Jadi kami pengen Mbak segera tinggalin nih rumah! Kalau tidak, maka telapak tangan ini akan melayang ke wajah kamu! Dan aku sendiri yang akan men
(Maaf pembacaku, koinnya agak mahal, hehe.. Tapi ini karena babnya panjang, ya. 2000kwords lebih )"Lia! Katakan sama aku apa yang udah kamu lakuin sama Melisa kemarin?" Yoga membanting pintu. Padahal laki-laki tersebut baru saja datang. "Tanya aja sama adik kamu apa yang udah aku lakuin sama dia. Jadi kamu gak perlu emosi tanya-tanya kemari." Lia menjawab ketus. Yoga nampak menggeram kesal dengan sikap istrinya yang menurutnya semakin menjadi-jadi. "Kamu nggak usah keterlaluan selalu nyakitin keluarga aku, Lia. Sudah cukup selama ini aku, Ibu dan Melisa bersabar sama tingkah kamu. Kamu bisa mikir enggak sih? Mereka itu ibu dan adik aku sekaligus mertua dan adik ipar kamu juga yang harus kamu sayangi." Yoga mengambil posisi tempat duduk di hadapan Lia. Mendengar penuturan sang suami, Lia hanya nyengir kuda. "Yang seharusnya berpikir itu kalian, Mas. Selama ini yang terlalu bersabar dan terlalu mengalah menghadapi
Yoga kembali menelan ludah. Baru saja ia merasa lega, namun tanggapan Lia kembali membuatnya lemas. "Bener-bener nggak ada gunanya aku ngomong sama kamu." Yoga merasa kesal. "Dilembut-lembutin kamu kagak ngerti juga, dikerasin malah tambah menjadi-jadi. Rupa-rupanya emang gak ada niat baik lagi kamu sama aku. Semua percuma! Ya, percuma pengorbanan yang aku lakukan selama ini." Yoga berkata lemas. "Pengorbanan? Emangnya pengorbanan apa sih yang udah kamu lakuin sama aku?" Lia menanggapi santai. "Sudahlah, Lia! Kagak usah ngejawab terus! Kamu gak usah terus-terusan deh menguras kesabaran aku. Barusan aku udah berusaha untuk bicara baik-baik. Tapi ya emang dasar kamunya ajah yang kagak bisa diajak buat kerjasama." Yoga menatap langit-langit. "Kapan kamu mau ajak aku kerja sama? Setahuku, kerjasama itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak, Mas. Masing-masing harus mendengarkan pendapat satu sama lain.
Menjelang malam, Lia dikejutkan oleh kedatangan Yoga. Kontan saja yang Lia merasa heran. Sebab, tidak biasanya laki-laki itu datang pada saat menjelang magrib seperti ini. Namun Lia acuh saja dengan kemunculan suaminya kala itu. Tetapi sedikit banyak kedatangan Yoga kali ini mampu membuat Lia tersenyum. Ada sesuatu yang ingin ia lakukan terhadap kedatangan pria tersebut. Lia mencari kesempatan yang tepat. Matanya tak lepas mengawasi apa yang dilakukan oleh Yoga. Ketika lelaki tersebut memasuki ruang kamar, Lia mengembangkan senyum. "Kita tunggu saja!" Lia tertawa tipis. Cukup lama lelaki itu di dalam sana. . Setelah sekian puluh menit, belum terlihat pria itu keluar. Lia memasuki kamar Chika, mengunci pintu, dan meraih sebuah laptop yang telah terhubung dengan cctv di kamar mereka. Ya, itu adalah sebuah laptop yang di hadiahi oleh orangtua Lia ketika ulang tahunnya beberapa hari
Menjelang siang, Lia dikejutkan oleh kedatangan Bu Lasmi sekeluarga. Sontak membuat Lia terkejut. "Ada apa mereka rame-rame datang kemari?" batin Lia bertanya. Terlihat Yoga menurunkan dua buah koper besar dari dalam mobil. "Pake bawain koper lagi, kayak mau ngungsi ajah." pikir Lia kembali. Bu Lasmi melangkah paling depan. Seperti biasa, langkah kaki itu terlihat angkuh dan sombong. "Ayo silakan masuk, Nak Riana! Anggap saja rumah sendiri." Bu Lasmi menarik tangan Riana agar lekas ikut masuk. Tanpa ba bi bu, Bu Lasmi membawa dua koper tersebut ke kamar depan. Tidak berapa lama, Bu Lasmi kembali muncul. Di sofa ruang keluarga, wanita paruh baya tersebut menghempaskan tubuh. "Lia! Tolong ambilkan minum! Ibu haus nih." Bu Lasmi memerintah seraya mengelap keringat di dahinya. Sepertinya wanita itu kelelahan. "Aku juga, Mbak. Aku pengen jus jeruk." ti