"Ini Lia gimana sih? Masa ia nggak ngelakuin apa-apa? Udah tahu Ada mertua di rumah. Kok dia teledor sekali nggak nyiapin spa-apa. Astaga! Istri macam apa Lia ini?" "Setiap hari kerjaannnya cuma keluar rumah! Pura-pura cari duit, padahal semuanya masih bergantung sana suami. Ya ampuuun! Di rumah pun kerjaannnya cuma main ponsel mulu!" "Yogaaa!" Omelan beruntun itu berakhir dengan suara teriakan nyaring Bu Lasmi. Yoga yang tengah duduk santai bersama Riana kaget dengan suara teriakan sang ibu. "Bentar ya, Sayang." Yoga meminta izin sembari mengecup kening Riana. Riana menganggukkan kepala.Buru-buru Yoga melangkah ke belakang. Dilihatnya Bu Lasmi tengah panik memeriksa dan mengecek segala sesuatu yang ada di dapur. Bolak balik membuka lemari, dan memeriksa isi toples-toples yang berjejer di tempat penyimpanan. "Ada apa, Bu?" tanya Yoga cepat.Bu Lasmi segera menoleh.
Seperti biasa, di tokonya Lia sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan yang sungguh membuatnya harus bekerja ekstra. Beruntung, toko tersebut cukup besar, jadi Lia bisa menghandle semua kebutuhan Chika dari sana. Sebuah kamar dan dapur yang tidak terlalu besar tapiebih dari cukup untuk sekedar beristirahat dan memasak. Untuk membuat Chika tetap terhibur, Lia juga memfasilitasi toko dengan televisi, kulkas, kipas angin dan peralatan elektronik lainnya. Jadi, meski di toko, Chika bisa merasa betah. Di toko tersebut, Lia juga sekalian membuka toko ofline yang khusus menjual pakaian wanita, membuka grosir dan juga eceran. Tidak sia-sia usahanya selama ini. Kemajuan usaha Lia yang semakin menanjak tentu tak di ketahui oleh Yoga beserta keluarganya. Untuk kebutuhannya dan Chika, syukurlah Lia tidak merasa kekurangan. Semua berkat kerja kerasnya. Ya, wanita pekerja keras tersebut memang pandai menyiasati keadaan,
"Apa beneran yang kamu bilang itu, Mel?" Yoga membulatkan mata."Ya iyalah, Kak. Masa aku bohong. Aku nggak pernah bohong lho sama Kakak." Yoga mengangguk-anggukkan kepala."Kenapa baru bilang sekarang sama Kakak, Mel? Kenapa nggak bilang dari dulu? Biar Kakak bisa segera mencari tahu siapa laki-laki itu?" Yoga menepuk meja. "Maafkan aku, Kak. Dulu aku nggak mau Kakak sama Mbak Lia berantem. Aku nggak tega kalo Mbak Lia sampe didamprat sama Kak Yoga hanya gara-gara aku melaporkan kejadian itu. Makanya dulu aku nggak buru-buru bilang sama Kakak." ujaran adiknya nampak begitu bersungguh-sungguh di mata Yoga. Yoga menghela nafas. Sampai kapanpun, ucapan Melisa adalah suatu kebenaran yang tak terbantahkan di mata Yoga. Salah atau benar, di mata Yoga Melisa tetap benar. "Maafkan aku ya, Kak. Karena dulu sebenarnya aku sayang sama Mbak Lia, tak peduli dia wanita yang gak bisa ngehargain kita." Melisa kembali bersandiwara. Padahal dalam hat
Lia membawa Chika ke kamar dengan segera. Dielusnya rambut halus anak kecil tersebut. Dikecupnya kening Putri tunggalnya yang tak bersalah. Siapapun seorang ibu pasti akan merasakan pedih dan sedih yang luar biasa mendengar ucapan suami seperti Yoga barusan. Berbagai pertanyaan muncul di benak Lia. Apakah mungkin Yoga benar-benar sudah tidak lagi menyayangi Chika? Lalu di mana kasih sayangnya yang dulu sempat terlihat? Dimana nalurinya sebagai seorang ayah? Mengapa pria tersebut tega dan sampai hati berkata demikian? Bahkan kata-kata menyakitkan itu ia ucapkan langsung di hadapan sang putri sendiri. Tak terasa air mata Lia jatuh menetes. Selama ini terlalu susah baginya untuk meneteskan air mata. Akan tetapi apabila hal yang menyakitkan sudah menyangkut kepada anak kecil yang belum tahu apa-apa seperti Chika, maka tak bisa berbohong kalau hati Lia begitu sakit dan pedih. "Ma, Papa kenapa tadi bicaranya bentak-bentak? Kan
"Aku nggak bakal lepasin! Atau bila perlu biar kucekik sekalian leher kamu! Di rumah ini kamu cuma jadi biang masalah buat kami sekeluarga. Sadar Lia? kalau kamu cuma bisa jadi benalu, maka jangan banyak tingkah. Turuti aja apa kata tuan rumah!" "Mas, yang jadi benalu itu siapa? Aku, atau keluarga kamu?" Lia bertanya balik. Sedangkan tangan kekar Yoga masih menempel di lehernya. "Huuuh, kamu selalu saja bikin aku geregetan! Lebih baik kamu enyah dari rumah ini, sekalian bawa anak kamu!" Seiring dengan ucapannnya, cekikan tangan Yoga semakin kuat. "Uhuk!" Lia tersedak menahan sesak. Melihat hal itu, Melisa malah tertawa. Seolah itu adalah adegan lucu yang pernah ia lihat. Sekuat tenaga, Lia mengumpulkan tenaga. Brakh! Dengan gerakan kaki dan bantuan tangan kanannnya, Lia mendorong kuat tubuh kekar Yoga. Huuft! Yoga t
Bu Lasmi melihat Yoga mulai mendekat. Dengan cepat Bu Lasmi menemukan sebuah ide. Bu Lasmi menatap nanar ke arah luar. Tatapannnya seolah kosong. Mukanya memerah dan seperti menahan isak."Ada apa, Bu? Kenapa terlihat begitu murung?""Yoga! Ibu bener-bener nggak betah lagi sama Lia. Sudah beberapa kali Lia mempermalukan ibu di depan orang. Barusan dia bikin malu ibu di depan Bu Likah." Bu Lasmi menyeka buliran bening yang mulai turun tetes demi tetes. "Memang apa yang udah Lia lakuin, Bu? Bilang sama Yoga! Nggak usah di pendem sendiri. Ibu masih punya aku, aku nggak akan ngebiarin siapapun nyakitin Ibu." Yoga memegang pundak ibunya. "Aduh, Ibu nggak tahu harus jelasin apa lagi sama kamu, Nak. Uhukk!" Bu Lasmi terbatuk."Bilang ajah, Bu. Nggak usah ragu.Bu Lasmi kembali mengangkat kepala."Masa tadi Lua tega nagih hutang sama ibu di depan Bu Likah." Bu Lasmi berkata dengan tatap
"Aku benar-benar harus segera menceraikan dia. Udah cukup rasanya selama ini aku bertahan sama sikap Lia yang udah kurang ajar banget sama kita." Bu Lasmi menghela nafas. Ia telah memikirkan soal perceraian itu sejak lama. Otak liciknya telah mempelajari konsekuensi apabila Yoga benar-benar bercerai. Ada alasan tersendiri baginya untuk menunda terlebih dahulu perceraian itu. "Sudah ibu katakan sama kamu, sebaiknya jangan cerain Lia sekarang." tutur Bu Lasmini. "Terus apa yang harus aku lakukan, Bu? Selain dari segera menceraikan wanita itu? Aku nggak bisa terus-terusan hidup bersama wanita yang nggak bisa ngehargain aku dan keluargaku. Aku juga nggak bisa terus-terusan ngelihat dia nyakitin hati ibu! Aku nggak bisa banget melihat ibu nangis kayak gini." tutur Yoga mengutarakan alasan dan suara hatinya. Bu Lasmi berpikir keras, bagaimana ia tak ingin putra tercintanya tersebut menceraikan Lia dengan harus menguras isi kan
Yoga menatap buku kecil yang diserahkan oleh Lia padanya. "Aku tak butuh buku itu, Lia!" ucap Yoga. "Aku sudah bosan menjelaskan sama kamu soal duit dus juta yang kamu kasih setiap bulan. Kamu pikir duit dua juta itu cukup untuk semua kebutuhan? Berulang kali aku jelasin sama kamu tapi kamu kagak ngerti juga. Oleh karena itu, sekarang aku udah males ngomong buat jelasin duitmu yang seuprit. Biar buku itu aja yang jelasin sama kamu, dapat apa sih duit kamu yang dua juta itu? Kalo perlu, sekarang lebih baik kamu gantian kasih ibu kamu dua juta sebulan, terus suruh dia atur semua kebutuhan kalian dalam sebulan. Kamu bisa lihat nantinya duit itu cukup atau enggak." Tanpa menunggu jawaban dari Yoga, usai berkata Lia langsung bergegas meninggalkan rumah dengan mengendarai sepeda motornya. Yoga kembali dibuat kesal dengan tingkah sang istri. Ia melirik jam tangan."Haduuh!" Jam sudah menunjukkan hampir