Share

Bab 5

Bab 5

Keesokan harinya, ketika hari masih begitu pagi, kulihat sebuah status dari kontak Melisa.

[Emang enak ya, punya kakak seorang pejabat gede. Jadi kalo pengen apa-apa ya tinggal bilang. Thanks kakak tersayang.] status itu di iringi oleh Melisa yang pamer tas dan high hills baru. Kutaksir harganya tak terlalu mahal, tapi memang cukup menguras kantong untuk ukuran masyarakat kelas menengah.

Aku cuma melengos. Baru segitu ajah noraknya minta ampun. Terlihat benar mereka seperti lagak orang kaya baru. Apa-apa di upload. Oh ya, aku baru ingat, kemarin kan Mas Yoga habis gajian. Pantasan.

Baru saja aku meletakkan ponsel, sebuah pesan dari Melisa muncul di layar ponselku.

[Mbak, tolong masakin kami kari ayam dong! Katanya ibu lagi selera sama tuh lauk. Sebentar lagi kami otewe ke rumah Kak Yoga. Jangan lupa ya, Mbak. Nih perut udah laper. Mau masak sendiri udah nggak sempet.]

Huuh... Enak saja menyuruhku memasak buat mereka. Kalau seumpama lapar, kenapa juga tidak masak sendiri.

[Maaf, nggak bisa, Mel. Aku lagi nggak ada uang buat beli bahan kari ayam] balasku cepat.

Sebentar kemudian, kembali gadis itu membalas.

[Ah masa? Nggak punya duit apanya? Kemarin kan Kak Yoga gajian.] balasnya.

[Kalo gitu minta beliin ajah sama Mas Yoga. Yang gajian kan dia, bukan aku] balasku kembali.

Biasanya aku memang masak banyak ketika mereka akan berkunjung ke rumah. Tapi kali ini rasanya ogah. Kuabaikan saja pesan-pesan Melisa setelahnya. Malas meladenin dia.

Boro-noro ingin memikirkan urusan perut mereka, aku saja belum sarapan. Lebih baik aku mengutamakan anakku terlebih dahulu daripada mereka. Aku mengajak Chika, putri semata wayangku ke restoran yang tak terlalu jauh dari rumah.

Kubeli dua porsi nasi goreng spesial dan dua potong ayam krispi. Cukuplah untuk sarapanku dan Chika. Kan gampang.

Soal sarapan buat Melisa dan mertua, toh mereka bisa beli sendiri. Kan Mas Yoga sudah memberi jatah untuk mereka.

Baru saja sepeda motorku kembali memasuki area rumah. Dua orang telah menanti di teras depan. Dua orang yang tidak asing.

"Ini dia udah dateng, Mel." mertuaku nampak semangat.

"Mbak udah masak kari ayam permintaan ibu?" tanya Melisa tanpa berbasa-basi.

"Belum."

"Apa? Ck... Ck... Ck...! Yang bener ajah?" Melisa berdecak.

"Ya bener, belum! Masa bohong." jawabku.

"Jadi? Astaga, disuruh masak malah ngeluyur. Emangnya kamu darimana pagi-pagi udah ngeloyor?" tanya mertua.

"Dari restoran." jawabku pendek.

"Ngapain?"

"Beli nasi goreng buat sarapan." balasku.

"Ooh, syukurlah kalau begitu. Ayo, Mel kita masuk! Mbakmu sudah membeli sarapan buat kita!" Bu Lasmi menggaet tangan Melisa.

Aneh, siapa juga yang membeli sarapan untuk mereka. Pede amat jadi orang mah. Muka mertua yang tadi berkerut marah, sekarang terlihat lebih terang.

Kubiarkan saja keduanya tertawa cekikikan. Lalu dengan tanpa rasa bersalah, keduanya duduk menghadap ke meja makan.

Aku membuka bingkisan yang kubawa. Mengambil dua piring dan dua gelas. Dua gelas kuisi air putih lalu kuletakkan ke atas meja kembali.

"Nah gitu kan bagus. Mertua sama ipar dilayanin. Meski tak jadi makan kari, tapi ya sudahlah. Tak apa-apa. Nasi goreng pun lumayan. Kalau kamu bisa terus melayani mertua kayak gini, makan mertua di ambilin, di layanin, aku bisa ajah sedikit bangga sama kamu. Meski bukan pegawai kantor, tapi pelayanan seperti ini sama mertua bisa di bilang bagus." celoteh Bu Lasmi.

Masih tak kuhiraukan mereka. Emang mereka pikir aku sedang menyiapkan menu makan buat mereka? Oh tidak.

Aku meletakkan seporsi nasi goreng di hadapan anakku dan satunya lagi untukku sendiri. Kulihat Bu Lasmi agak heran. Peduli amat. Aku memang sengaja ingin melihatnya terkejut.

"Mana bagianku sama Melisa?"

"Nggak ada, Bu. Tadi aku cuma beli dua porsi ajah. Buatku sama Chika." jawabku singkat.

"Lho, lho! Kok gitu?" ia semakin kaget.

"Ya begitulah!" Aku menyuapkan nasi ke mulut dengan santainya.

"Makan yang banyak ya, Nak!" ucapku sama Chika. Chika mengangguk. Anak itu memang sudah kuajarkan untuk makan sendiri. Meski terkadang aku harus kerepotan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan. Jiwa mandiri memang harus ditanamka sejak dini.

"Jadi nasi goreng itu bukan buat kami? Kamu cuma beli buatmu dan anakmu ajah gitu?" Melisa menganga.

"Tentu saja!" jawabku.

"Aduh! Nggak bisa kayak gini, Mbak! Aku lapar, beliin kita juga dong. Ini hari udah keburu siang." Melisa nampak tak sabar.

"Cepet belikan dua porsi lagi! Yang spesial nasgornya! Masa jatah buat mertua sama ipar nggak dibeliin." lanjut gadis remaja tersebut.

"Salah siapa nggak nyiapin sarapan sendiri. Kalau mau beli, ya beliin sendiri lah. Kan kalian udah di kasih jatah sama Mas Yoga. Masa masih nggak malu minta jatah makan kemari." aku berucap ketus.

"Astaga! Jauh-jauh kami kemari mau sarapan, tapi ternyata nggak disiapin sedikitpun. Aku tak percaya kalau ada menantu yang sebegini tega sama keluarga suami. Padahal, suamimu itu adalah putraku. Aku yang telah berjasa membesarkan dan membiyayai hidupnya. Oleh karena itu seharusnya kamu tahu bagaimana cara membalas budi!" lagi-lagi Bu Lasmi mengungkit.

Sudah bosan rasanya aku sudah mendengar kata-kata kebanggaan mereka terhadap Mas Yoga. Sedikit-sedikit pasti mengarahkan pembicaraan ke arah sana. Seperti tidak ada topik lain saja.

"Bu, memang ibu yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan Mas Yoga. Itu yang selalu ibu katakan. Oleh karena itu minta ajah semua balas budi yang ibu harapkan itu sama Mas Yoga. Nggak usah minta timbal balik sama aku. Yang Ibu lahirin dan besarin itu kan Mas Yoga, bukan aku." tanggapku.

"Apa? Kamu berani menjawab ibuku?" Melisa ikut nimbrung.

"Ya, siapa dulu yang mencercaku." balasku.

"Jangan keterlaluan kamu, Mbak! Mertua sama ipar dateng malah di giniin. Tidak berterimamasih kamu sama kakakku, ya!" cerca Melisa.

"Menurutmu apa hal yang mengharuskan aku untuk berterimakasih sama Yoga?"

"Hey kamu! Bener-bener nggak nyadar. Mulutmu itu bisa makan dari mana kalau bukan dari duit kakakku?" Melisa menunjuk mukaku.

"Kamu salah, Mel. Justru Kakakmu itu yang selama ini numpang makan sama aku."

"Ha.. Ha.. Emang Mbak dapet duit dari mana?" Melisa tertawa seolah ada yang lucu.

"Kerja lah. Masa ngganggur. Inget ya, kalau mau punya duit sendiri, itu kita harus kerja! Bukan cuma minta ajah bisanya." jawabku.

"Mbak menyindirku?" mata Melisa melotot.

"Kalau kamu merasa kesindir ya udah. Berarti ucapanku emas bener."

"Lia! Tutup mulutmu! Jangan macem-macem sama putriku! Dia ini adalah adiknya Yoga. Darah daging Yoga. Ikatan di antara mereka jauh lebih erat di banding ikatan Yoga sama kamu!" Bu Lasmi berkata kasar.

"Ya, Bu! Aku tahu betul jika Melisa adalah adik kandungnya Yoga, saudara sedarah dan satu rahim. Dan ikatan di antara aku dan Melisa terhadap Yoga emang sudah tentu beda dong. Aku sebagai istri, dan Melisa sebagai adik." jawabku

"Jelas! Tapi ikatan untuk seorang adik, saudara sedarah daging itu lebih kuat daripada ikatanmu sebagai istri. Kamu nggak akan pernah bisa nyamain posisimu sama Melisa di hati Yoga." balas mertua.

"Hmm... Emang Melisa mau di samain kedudukannya sama aku? Ngelonin Yoga tidur, cuciin pakaian sama mengurus kebutuhan Yoga? Kalo mau ya monggo ajah. Aku nggak melarang, kok!"

"Astaga ya Tuhaaan... Ayo Nak! Kita pergi dari hadapan perempuan sampah ini. Nanti biar ibu bicarakan sama Yoga. Kalau Yoga tahu bagaimana perlakuan Lia sama kita, pasti Yoga akan mengusir perempuan kotor ini dari sini! Biar dia jadi gelandangan!" Bu Lasmi tampak emosi.

"Bener, Bu. Kita aduin ajah sama Mas Yoga. Biar lekas diusir!"

Aduh! Mereka pikir uang siapa yang melekat di rumah ini sehingga mereka kira Yoga akan bisa bebas mengusirku?

Tidak akan semudah itu, Bu Lasmi!

***

kudengar sepeda motor Mas Yoga berhenti di depan rumah. Aku membukakan pintu. Tidak seperti kemarin kemarin. Hari ini aku berusaha untuk belum menunjukkan kemarahanku padanya.

Mas Yoga nampak heran dengan perubahan sikapku. Biasanya, jika ia terlambat pulang, maka aku akan bersikap jutek. Kali ini tidak.

"Baru pulang, Mas?" tanyaku.

"Ya." jawabnya pendek.

"Hmm ... Kenapa semalem gak pulang?" aku bertanya kembali.

Sejenak kulihat Mas Yoga berpikir. Mungkin sedang mencari-cari alasan kali. Seperti lirik lagu Sultan di era 90-an. Hehe.

Kubiarkan dulu dia berpikir. Kali ini aku ingin lihat, dia akan jujur atau tidak. Terlebih lagi soal wanita yang kemarin tengah bersamanya.

Awas saja kau, Mas! Berani bohong, maka harus berani tanggung resiko!

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status