Share

Bab 6

Bab 6

Mas Yoga sama sekali tak bisa menyembunyikan kegugupannya padaku. Aku menyodorkan air putih ke hadapannya.

"Cuma air putih?" matanya menatap tak suka.

"Ya, cuma ini yang ada. Oh ya, gimana dengan pertanyaanku tadi, Mas?"

Mas Yoga mendelik tak suka melihatku. Ih dia pikir aku takut sana sorot matanya yang sengaja ia pelototi?

"Suami baru pulang bukannya disuguhkan dengan makanan atau minuman yang layak. Malah ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh. Pertanyaan nggak penting. Dari pada banyak tanya, mending kamu hidangkan makan atau minum seger gitu kan. Bukan cuma air putih tok." timpal Mas Yoga. Terlihat sekali jika ia sedang menghindari pertanyaanku tadi.

"Habis mau menyuguhi Mas dengan makanan atau minuman enak, di rumah ini nggak punya keduanya. Jadi tidak ada yang bisa kusuguhkan untuk menyambut kepulangan Mas." jawabku.

"Ucapanmu cuma buat kepalaku semakin pusing. Punya istri seperti gak punya istri."

Mas Yoga beranjak melepas kemejanya, lalu meletakkan kemeja itu begitu saja di atas sofa. Lagi-lagi aku membiarkan tindakan Mas Yoga tanpa ngomel-ngomel seperti biasanya.

Untuk sejenak, aku mengurungkan pertanyaan-pertanyaan di otak yang dari tadi menuntut jawaban.

Kulihat Mas Yoga melangkah ke dapur. Aku beranjak ke depan.

"Lia! Kamu nggak masak juga?" Mas Yoga berteriak dari dapur. Teriakannya bahkan terdengar oleh telingaku yang sedang berada di halaman depan. Berisik. Apa dia tidak malu didengar sama tetangga?

"Aku lapar, Lia! Cepet siapin makanan! Masa iya setiap hari aku harus beli makan di resto?" Mas Yoga menyusulku ke depan.

"Oh, Mas menyuruhku untuk masakin makan siang?"

"Segitu aja masih nanya." balasnya.

"Mas, persediaan bahan-bahan di dapur udah habis. Kamu nggak kasih uang, kan? Jadi aku nggak bisa masakin kamu." aku menjawab.

"Pakai uangmu dulu kenapa?" tandasnya.

"Lho, lho! Kok pakai uangku sih? Bukannya Mas sendiri yang bilang kalau kerjaanku nggak bisa menghasilkan uang gede kayak gaji Mas setiap bulan?" balasku.

Mas Yoga melotot.

"Ya elah, kalau sekedar untuk membeli bahan makanan, kan enggak terlalu menguras kantong, Lia!"

Ih enak saja dia berkata seperti itu.

"Nah, justru karena itu Mas, kan menurut Mas beli bahan dapur enggak menguras kantong, jadi pakai aja uang Mas sendiri. Uang Mas kan banyak. Lagian kemarin Mas habis gajian kan?"

Mas Yoga terdiam.

"Uang gajiku tinggal dikit. Jadi aku udah nggak bisa berboros-boros lagi." Jawabnya.

"Ooh ... karena gaji Mas tinggal sedikit, jadi Mas ingin mengandalkan uangku gitu? Enak bener!" cerocosku.

"Lagian masa gajian baru kemarin, hari ini udah hampir habis. Mas beliin apa aja emangnya? Sampai-sampai beli buat makan sendiri aja nggak bisa." lanjutku.

"Nggak usah terlalu pandai bicara kamu! Uangku kepake buat menutupi kebutuhan ibu sama Melisa."

"Hmm..." aku berdehem.

"Uang Mas habis dipake untuk mencukupi kebutuhan ibu sama Melisa, sedangkan kebutuhan Chika nggak di peduliin. Habis gitu minta makannya sama aku. Aduh kayaknya enggak banget deh Mas. Maaf ya." Aku berkata seraya mengibaskan rambut. Sengaja aku buat Mas Yoga semakin kesal.

"Astaga, Lia! Kamu berkata kasar begini hanya karena aku kasih uang ke Ibu sama adikku? Kamu kenapa sih selalu saja terlihat memusuhi mereka? Padahal kan mereka nggak berbuat salah. Nggak pernah juga jahatin kamu. Aku kasih mereka uang karena mereka adalah tanggung jawabku. Sama sekali aku tak bisa mengabaikan mereka. Sebab mereka hanya punya aku."

Aku memutarkan bola mata. Bersikap cuek.

"Oalah Mas, Mas. Lalu menurut Mas, aku sama Chika ini sebenarnya tanggung jawab siapa?"

Mas Yoga tampak semakin geram.

"Lho, salah siapa juga? Bukannya kamu sendiri yang kemarin menolak uang dua ratus ribu dariku? Seharusnya itu sudah cukup untuk semingguan ini." balasnya.

"Mas, uang dua ratus ribu kau tuntut cukup untuk seminggu? Terus kredit motor kamu sama kredit motor Melissa semua aku yang tanggung? Ya ampuuun, lebih baik kau atur ajah sendiri uangmu, Mas! Aku juga males ngatur duit kamu. Seperti selama ini, udah capek atur ini itu, nutupin ini itu, eh di hargai juga nggak. Uangmu bahkan mengalir ke kantong ibu dan adikmu. Sedangkan aku pontang-panting buat nutupin kebutuhan. Mulai saat ini aku nggak akan mau nutupin semua itu, Mas."

Mas Yoga makin keingungan dengan sikapku. Maklum, sebelumnya aku tidak pernah bersikap seperti ini. Mungkin saja dia kaget. Tapi tak apa, apabila perlu biarkan saja dia lebih terkaget-kaget.

"Menolong orang tua dan saudara itu udah jadi kewajibanku, Lia!"

"Ya, memang. Tapi tak seharuskan mengabaikan tanggung jawab yang lain. Apalagi lagi anak." ujarku

"Soal ibuku, kau tak perlu ikut campur, Lia. Dia ibuku, aku kasih beliau uang juga pake uangku sendiri. Itu sudah tuntutan balas budiku sama beliau." tandas Mas Yoga.

"Jadi orang tua juga nggak semestinya selalu menuntut lebih. Kayak bikin anak cuma buat investasi di hari tua ajah. Padahal aku juga punya orang tua. Tapi orang tuaku nggak pernah minta ini itu, apalagi menuntut."

Aku tahu, Mas Yoga pasti sedikit banyak merasa tak enak dengan ucapanku. Tapi apa boleh buat, orang seperti mereka sesekali memang harus di kasari. Kalau di lembut-lembutkan mah mereka tidak bakalan mengerti.

"Kamu anak hanya anak perempuan, Lia! Anak perempuan emang nggak ada kewajiban untuk memenuhi kebutuhan orang tua. Sedang aku, aku ini laki-laki! Mau sampe kemanapun, ibu tetaplah berada di pundakku! Kamu nggak akan tahu bagaimana besar pengorbanan ibu membesarkan aku. Aku tak mungkin bisa mengabaikan jasa ibu, apalagi cuma demi menuruti istri macam kamu!"

"Hey, kamu pikir hanya orang tuamu saja yang bersusah payah berjuang demi anak? Apa bedanya dengan orang tuaku? Mas, aku kasih tahu kamu ya! Baik anak laki-laki maupun anak perempuan, orang tua sama-sama berjasa, sama-sama berjuang untuk anak-anak mereka."

Mas Yoga terdiam sesaat. Mungkin saja kali ini ia agak susah mematahkan argumenku.

Berdebat siapa takut.

"Lia! Aku tahu, kamu mengungkit-ungkit dan berperilaku seperti ini hanya karena kau menutupi kredit motor Melissa yang tidak seberapa itu kan? Cuma kredit motor Melisa kan yang kamu bayarin? Itu aja pakai uangku yang kuserahkan sama kamu."

Aneh, ucapannya malah berbelok ke topik kredit motor. Melenceng dari pembahasan. Huuh ...! Tapi baiklah, akan kuladeni!

"Uangmu darimananya? Kamu serahkan sama aku cuma dua juta. Bayaran kredit kalian berapa? Kamu tahu nggak, di kota besar seperti ini uangmu yang tersisa dari bayar kredit motor kalian itu cuma cukup buat beli popok bayi doang." aku berkata ketus.

"Lia! Kau nggak menghargai kerja kerasku selama ini? Baru ajah bayar segitu, udah jadi bahan omongan. Kau yang nggak mau introspeksi diri. Kamunya ajah yang nggak pinter memenej keuangan. Makanya jadi istri itu jangan bodoh. Di kasih uang habis nggak menentu. Udah uangnya habis, malah nyalah-nyalahin ibu sama adikku. Salah apa mereka sama kamu? Kenapa sih kamu nggak bisa belajar sedikit saja buat menghargai mertua sama ipar?" tutur Mas Yoga.

Pintar sekali dia bicara, memutar balikkan fakta dan mencari pembelaan.

"Siapa bilang aku nggak bisa menghargai seseorang? Itu bukan hal susah, asalkan mereka juga bisa menghargai kita."

Mas Yoga menatapku tajam.

"Jaga mulutmu, Lia! Selama ini ibu dan adikku telah bersikap cukup baik sama kamu! Kau saja yang tidak bisa mengambil hati mereka. Apa kau ingin mereka bersujud di kakimu agar kamu bisa sedikit bersikap lebih baik? Haa? Tidak, Lia! Mereka tidak akan tunduk di kakimu! Begitu juga aku! Aku tidak akan tunduk sama kamu." emosi Mas Yoga semakin menggebu.

"Aku tidak pernah menuntut kalian untuk bersujud!" balasku.

"Aku bilang diam ...!" bentak Mas Yoga. Beruntung Chika tengah tidur, jadi ia tidak terganggu dengan teriakan kasar papanya.

"Kamu ingin aku selalu diam? Sedangkan kamu sendiri berteriak." aku balas menatapnya tajam.

"Keterlaluan kamu. Rupanya kamu ingin merasakan ini."

Mas Yoga mengangkat tangan. Aku segera sadar akan keadaan yang sepertinya semakin memburuk. Mas Yoga benar-benar akan berlaku kasar. Ini tidak biasa kubiarkan. Aku segera tanggap.

Haph!

Secepat kilat aku menangkap tangannya yang hampir saja mendarat di pipiku. Karena tindakanku tersebut, tangan Mas Yoga tertekuk keras.

Mas Yoga tertegun. Ia spontan mengaduh

Kulihat ia masih saja meringis menahan sakit. Lumayan untuk mengajarinya agar tak sembarang main kasar.

Ini baru sedikit, Mas!

To be continued

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
lh kayak si lia pun bodoh...klw emang itu rumah mu..uda usir aja laki model gtu.laki modelan gtu kok msih di perthankan..si lianya aja pun hobi bertengkar gua tengok
goodnovel comment avatar
Viona Manurung
bagus lia lawan kata2 nya biar tau rasa
goodnovel comment avatar
Anna Karmila
uh.... mampu silia, laki" egois
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status